Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ekstradisi Paulus Tannos, Tersangka Korupsi e-KTP, Terancam Gagal

Pemulangan Paulus Tannos masih menunggu proses ekstradisi pemerintah Singapura. Bisa bebas karena masalah prosedur.

9 Februari 2025 | 08.30 WIB

Paulus Tannos di Singapura, Juli 2012. Tempo/Setri Yasra
Perbesar
Paulus Tannos di Singapura, Juli 2012. Tempo/Setri Yasra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Proses ekstradisi Paulus Tannos dari Singapura akan kedaluwarsa pada 3 Maret 2025.

  • Tersangka korupsi e-KTP ini melawan proses ekstradisi.

  • Ia tengah berseteru dengan perusahaan milik anak taipan Tomy Winata.

SUDAH tiga pekan tersangka kasus kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP, Paulus Tannos, menjalani penahanan di Singapura. Ia ditangkap pada Jumat, 17 Januari 2025. Rencana ekstradisi Direktur Umum PT Sandipala Arthaputra itu tak kunjung terlihat tanda-tandanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Proses pemenuhan syarat administratif untuk pemulangannya hingga kini belum selesai. “Sampai hari ini permohonan ekstradisi belum diajukan pemerintah Indonesia,” kata Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Suryopratomo, Jumat, 7 Februari 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Paulus kini mendekam di Changi Prison. Ia adalah buron Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang melarikan diri sejak 19 Oktober 2021. Kasus e-KTP merugikan negara Rp 2,3 triliun.

Kesaksian kunci Paulus telah menyeret sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan pengusaha anggota konsorsium proyek dalam kasus tersebut. Sesuai dengan perjanjian ekstradisi RI-Singapura, masa penahanan sementara (provisional arrest request) terhadap seorang buron hanya berlaku selama 45 hari.

Pemerintah Singapura baru akan menyerahkan Paulus jika Indonesia menyetorkan sejumlah syarat administrasi sebelum tenggat. Pasal 6 perjanjian ekstradisi menyebutkan pemulangan buron bisa dilakukan setelah Menteri Hukum menyerahkan sejumlah dokumen. Di antaranya penjelasan tentang identitas buron, keterlibatan buron dalam suatu perkara, dasar hukum yang digunakan, serta penjelasan tertulis dari Jaksa Agung (written confirmation).

Written confirmation merupakan dokumen yang menyatakan komitmen pemerintah Indonesia untuk menuntut buron yang ditangkap dalam forum persidangan. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan dokumen tersebut belum bisa dikeluarkan Jaksa Agung lantaran masih menunggu kelengkapan dokumen dari KPK. “Kami hanya perantara administrasi, karena penanganan perkara ini ada di KPK,” ucapnya.

Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, mengatakan lembaganya sudah menyerahkan sebagian dokumen kepada Jaksa Agung. Di antaranya berkas berisi profil Paulus serta ringkasan fakta dan keterangan saksi yang mengungkap dugaan keterlibatannya dalam perkara e-KTP. Sementara itu, beberapa dokumen lain masih dalam proses penerjemahan ke bahasa asing, seperti dokumen Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. “Pekan depan bisa selesai,” ujarnya.

KPK meyakini Paulus punya andil besar dalam kasus tersebut. Kesaksian dalam persidangan pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong dan mantan Direktur Utama PT Quadra Solutions, Anang Sugiana Sudihardjo, menyebutkan Paulus mengetahui skenario penentuan perusahaan pemenangan lelang. Ia juga hadir dalam beberapa pertemuan yang membahas skema pembagian fee proyek kepada sejumlah pejabat di Kementerian Dalam Negeri dan anggota DPR.

Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap, mengatakan Paulus berpotensi lolos jika KPK dan Jaksa Agung tak segera melengkapi administrasi. Sebab, masa penahanan tersebut akan berakhir pada 3 Maret 2025. Paulus bisa saja dilepaskan pemerintah Singapura jika dokumen yang disetor pemerintah melampaui tenggat. “Waktunya sudah makin singkat,” katanya.

Lewat pengacaranya, Paulus mengajukan gugatan yang meminta pengadilan Singapura menganulir status penahanannya. Paulus berdalih penangkapan itu tak punya dasar hukum lantaran ia sudah beralih status menjadi warga negara Guinea-Bissau, negara di Afrika barat yang bersebelahan dengan Senegal.

Persidangan di Singapura tak melibatkan pemerintah Indonesia. Menurut Duta Besar Suryopratomo, mekanisme pengujian perkara itu hanya memproses gugatan Paulus atas tindakan penahanan oleh Singapura. Namun gugatan Paulus kandas. “Permintaan untuk dilepaskan dengan membayar jaminan dan meminta kekebalan diplomatik atas alasan pemegang paspor diplomatik Guinea-Bissau sudah ditolak pengadilan setempat,” tuturnya.

Kuasa hukum Paulus Tannos, Paulus Sinatra, belum bisa dimintai konfirmasi atas penahanan kliennya. Surat elektronik yang dikirim tak berbalas. Sementara itu, alamat kantor firma hukum miliknya yang tertera dalam Pangkalan Data Konsultan Kekayaan Intelektual, Jalan Perjuangan Blok D-6, Kebon Jeruk, tak ditemukan. Seorang petugas keamanan mengaku tak pernah mengetahui keberadaan kantor tersebut. “Kantor itu sudah lama kosong,” ujarnya merujuk pada alamat tersebut.

Paulus Tannos tak hanya menjadi buron KPK. Ia juga bersengketa dengan Andi Winata, putra taipan Tomy Winata, dan pengusaha Jack Budiman. Keduanya melaporkan Paulus atas tuduhan penipuan dan penggelapan dana. Berkas penyidikan kasus itu ditangani lewat dua laporan di Badan Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Setelah dilaporkan, Paulus melarikan diri ke Singapura. Polisi menetapkan status buron terhadap Paulus pada 6 Juni 2012.

Direktur PT Sandipala Arthaputra, Paulus Tannos, memberikan kesaksian secara telekonferensi dalam sidang lanjutan korupsi pengadaan e-KTP di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, 18 Mei 2017. Dok. Tempo/Eko Siswono Toyudho

Kasus ini bermula setelah Paulus meminta Jack membantu pencairan kredit dari bank milik Tomy Winata, Bank Artha Graha. Dana itu digunakan untuk membayar uang muka penyelesaian proyek e-KTP bersama empat perusahaan lain yang tergabung dalam konsorsium Perusahaan Umum Percetakan Negara Republik Indonesia. Konsorsium ini mendapat tugas pembuatan 172 juta e-KTP senilai Rp 5,8 triliun. Paulus mengandalkan bantuan Jack karena menganggap dia memiliki kedekatan dengan Tomy Winata.

Gayung bersambut. Atas bantuan Jack, Paulus beberapa kali dipertemukan dengan petinggi Grup Artha Graha. Ia meminta bank tersebut menerbitkan bank guarantee atau jaminan bank senilai Rp 700 miliar dengan provisi 7 persen. Artha Graha setuju. Belakangan, kesepakatan bisnis tersebut gagal karena konsorsium menolak permintaan petinggi Artha Graha agar uang tak dicairkan. Tapi tidak dengan PT Sandipala Arthaputra milik Paulus. Ia tetap menikmati kredit Rp 200 miliar lewat perusahaan milik Jack.

Selain mengurus kredit, Paulus menjajaki kongsi bisnis dengan perusahaan milik Andi Winata, PT Oxel System Ltd. Perusahaan ini merupakan agen tunggal keeping chip ST-Micro di Indonesia. Teknologi ST-Micro sebelumnya digunakan Kepolisian RI untuk pembuatan surat izin mengemudi. Paulus menyanggupi permintaan Andi agar proyek e-KTP menggunakan keeping chip tersebut. Komitmen itu belakangan buyar lantaran ST-Micro dianggap tak cocok. “Masalah Paulus bukan dengan Andi, tapi dengan PT Oxel System,” kata Tomy Winata kepada Tempo pada 2012.

Paulus dituduh mengalami wanprestasi karena bisnis itu merugikan PT Oxel System Ltd. Sementara itu, PT Oxel kadung membeli 100 juta keeping chip dengan harga satuan US$ 0,6. Andi juga mengalami kerugian lantaran sudah membayar uang muka US$ 1,2 juta atau seperlima dari komitmen nilai proyek. Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho tak memberikan konfirmasi ketika ditanyai ihwal kelanjutan penanganan perkara ini.

Tomy Winata diketahui pernah turun tangan mendamaikan perseteruan tersebut. Kepada Tempo yang mewawancarainya pada 2012, Paulus mengatakan Tomy mengusulkan konsorsium tetap menggunakan ST-Micro tapi dengan harga lebih murah menjadi US$ 0,55. Jumlahnya pun diturunkan menjadi 80 juta keeping chip. Kabar mengenai pertemuan di Hotel Conrad, Hong Kong, pada 4 Februari 2012 itu dibenarkan Jack Budiman. “Itu rapat rahasia,” tuturnya saat itu.

Mohammad Khory Alfarizi berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Surat Jaksa Penentu Ekstradisi

Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus