Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Gara-gara <font color=#CC0000>Macan Buram</font>

Sepuluh anak penyemir sepatu diadili dengan tuduhan berjudi. Komisi Perlindungan Anak Indonesia meminta persidangan dihentikan dan para bocah itu dibebaskan.

27 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELUH bocah berusia sebelas tahun itu bercucuran. Terik mentari yang baru sepenggalah itu tak menyurutkan Dadan bukan nama sebenarnya—melambungkan layang-layangnya ke angkasa.

Mestinya, pada jam-jam seperti ini, siswa kelas dua sekolah dasar itu ber kutat dengan pelajaran di ke las. Tapi, lantaran tertangkap ba sah berma in judi putar koin, macan buram, war ga Desa Rawa Rengas, Tangerang, Ban ten itu enggan berse kolah. ”Saya sering diledek,” katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. ”Katanya, kecil-kecil sudah main judi,” ujarnya menirukan ejekan kawannya.

Dua hari sebelumnya, bersama sembilan temannya yang berusia 8 hingga 14 tahun, Dadan menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Tangerang. Sidang yang diketuai hakim Retno Pudyaningtyas itu tak seperti sidang pada umumnya. Hakim Retno dan jaksa Rezki Diniarti tak mengenakan seragam. Selain para orang tua, hadir pula petugas dari Badan Pemasyarakatan, yang memantau jalannya sidang. Sidang selama setengah jam itu juga berlangsung tertutup.

Suasana sidang yang berbeda ini memang khusus digelar untuk peradilan anak. Di situ Dadan bersama sembilan rekannya didakwa berjudi dan melanggar Pasal 303 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang perjudian. Ancaman hukumannya lima tahun penjara.

Semua ini berawal pada akhir Mei lalu. Ketika itu Dadan dan sembilan temannya, setelah bekerja sebagai penye mir sepatu di Bandara Soekarno-Hatta, beristirahat di Terminal 1 B. Di situ lah sepuluh bocah itu lalu bermain macan buram. Koin Rp 500 diputar dan mereka bertaruh gambar apa yang bakal muncul. Tatkala asyik bermain macan buram itu muncul polisi. Sepuluh anak itu digelandang ke kantor Kepolisian Resor Khusus Bandara Soe karno-Hatta. Setelah beberapa hari dita han di kantor polisi, mereka dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Anak Tangerang. Hampir satu bulan mereka mendekam di sana, sampai tidak dapat mengikuti ujian nasional. Atas desakan masyarakat, pada 26 Juni lalu mereka dibebaskan dan dikembalikan ke rumah orang tua masing-masing.

Rekan Dadan, Rozi (juga bukan nama sebenarnya) menyatakan tak ada niat sama sekali bermain judi. ”Kami ini hanya iseng,” ujarnya. Sejak kasus ini bergulir ke meja hijau, Dadan dan Rozi, yang biasa mendapat penghasilan Rp 20 ribu untuk jajan dan membeli buku dari menyemir sepatu, harus kehilangan pekerjaannya. Mereka tak lagi ke Bandara. ”Saya kapok dan takut,” kata Rozi.

Kendati telah dipulangkan, bukan berarti kasus yang membelit bocah itu berhenti. Kejaksaan kemudian melimpahkan kasus ini ke pengadilan. Sidang perdana kasus ini sudah bergulir pada 13 Juli lalu. ”Barang bukti dan saksi sudah cukup,” kata Kepala Kejaksaan Negeri Tangerang, Suyono.

Peradilan sepuluh bocah itu menuai protes dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Ketua Komisi, Hadi Supeno, meminta pengadilan menghentikan proses persidangan dan membebaskan anak-anak itu. Menurut Hadi, dakwaan jaksa kepada anak-anak itu tidak tepat. ”Mereka melakukan judi koin semata-mata karena hiburan,” katanya. Sedangkan pasal 303 KUHP, ujar Hadi, menyebutkan judi yang dimaksud dalam hal ini adalah untuk mencari nafkah.

Hadi juga menunjuk penangkap an kesepuluh bocah itu tak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut undang-undang ini, ujarnya, penang kapan, penahanan, dan pemidana an pada anak merupakan upaya yang terakhir. ”Mestinya dilakukan peng alihan hukuman terlebih dahulu,” ujarnya. ”Misalnya dengan memberikan penjelasan kepada anak dan orang tua.” Berdasarkan catatan Komisi Perlindungan Anak, setiap tahun terdapat sekitar 6.000 anak yang berhadapan dengan hukum. Dari jumlah itu, lebih dari separuhnya dijebloskan ke lembaga pemasyarakatan.

Harapan serupa disampaikan ayah Dadan, Salim, 65 tahun, yang sehari-hari bekerja sebagai buruh kasar. Salim berharap anaknya segera dibebaskan. ”Sidang ini membuat kami kewalahan,” ujar pria yang mengaku sehari hanya berpenghasilan Rp 6.000 itu. Menurut Salim, selain kasus ini membuat anaknya murung, ia harus berutang setiap mengikuti persidangan Dadan. ”Untuk ongkos ke pengadilan,” ujarnya.

Hakim Retno tak mau mengomentari suara-suara yang meminta kasus ini dihentikan. Ia memilih menutup mulut. Adapun juru bicara Pengadilan Negeri Tangerang, Arthur Hangewa, menegaskan sidang akan terus berjalan. ”Tidak bisa tiba-tiba langsung berhenti,” katanya.

Seperti Arthur, Rezki, jaksa yang menangani kasus ini, juga mengatakan proses persidangan tidak dapat dihentikan. ”Kalau saya berhentikan, saya bisa disalahkan,” ujarnya. Menurut dia, apa yang dilakukan jaksa sudah sesuai dengan prosedur, tidak menyalahi undang-undang.

Mengenai penggunaan pasal 303 KUHP dalam dakwaan, menurut Rezki, itu sudah tepat. Pasal tersebut, ujarnya, bisa diterapkan karena tidak menyebut usia pelaku. ”Tapi, kalau anak-anak, ancaman hukumannya menjadi separuhnya,” katanya.

Berbeda dengan jaksa, Christine Tambunan, pengacara sepuluh bocah itu, menegaskan bahwa anak-anak penyemir itu tidak melawan hukum. Christine mengaku sudah menyiapkan amunisi untuk menangkal tuntut an jaksa yang akan dibacakan pekan ini. ”Ini murni permainan anak-anak,” katanya. Menurut Christine, motif per mainan ini untuk mendapatkan kese nangan semata. ”Mereka tidak peduli berapa uang yang akan didapat,” ujarnya. ”Yang penting dianggap lebih hebat dari temannya.”

Kendati sidang tak dapat disetop, Christine berharap prosesnya akan berlangsung cepat. ”Kami ingin sidang maraton,” ujarnya. Dia juga optimistis hakim akan memutuskan bebas murni untuk sepuluh anak itu. ”Kalau tidak, kami banding,” ujarnya. ”Kami tak ingin mereka menyandang predikat narapidana sampai tua.”

Praktisi hukum pidana Bambang Widjojanto menilai tuduhan berjudi kepada anak-anak itu memang terlalu berlebihan. ”Sementara judi yang sebenarnya tidak diberantas,” katanya. Bambang mengatakan, memang tidak ada landasan hukum yang dapat menghentikan proses persidangan. ”Apa dasarnya tiba-tiba dihentikan?” tanya nya. Jalan tengahnya, kata dia, adalah mempercepat proses sidang.

Bambang menambahkan, mestinya kasus ini tidak perlu sampai ke pengadilan. ”Polisi dan jaksa punya kewenangan untuk tidak melanjutkan kasus ini,” katanya. Sebagai penyidik, ujarnya, polisi dapat mengetahui ada tindak pidana atau tidak dalam perkara ini. Adapun jaksa mencari apakah kenakalan anak semacam ini memenuhi unsur hukum pidana. Karena itulah Bambang menyatakan keheranannya kasus ini bisa bergulir ke pengadilan. ”Masih banyak kasus besar lainnya yang harusnya diurus kepolisian dan kejaksaan,” ujarnya.

Dadan dan kawan-kawannya kini berencana mengirim surat ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Mereka minta supaya dibebaskan dari dakwaan bermain judi itu. ”Kami ini tidak pernah bermain judi, hanya tebak-tebakan,” kata Dadan.

Rini Kustiani, Joniansyah, Ayu Cipta (Tangerang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus