Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font size=2 color=#CC0000>Penembakan Papua</font><br />Peluru dari Mana

Papua masih mencekam. Penembak gelap belum terungkap.

27 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JALAN utama dari Tembagapura ke pusat tambang PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, kini seperti jalan buntu. Hingga Jumat pekan lalu, suara dentam peluru pe nembak gelap masih mengharu-biru.

Kejadiannya berawal pada Sabtu su buh tiga pekan lalu. Lukan John Biggs, karyawan Freeport asal Australia, bersama istrinya Lia Madandan, berkenda raan mening galkan perumahan karya wan di Mile 68 Tembagapura, menuju Padang Golf Rimba Papua, di Kota Kuala Kencana. Mereka ditemani Drew Nicholas Grant, warga Australia yang bekerja di Freeport, dan Maju Panjaitan.

Lukan mengemudi didampingi istrinya. Grant dan Panjaitan duduk di belakang. Di sebuah tikungan tajam, memasuki Mile 51-52, Lukan mengurangi kecepatan. Tiba-tiba terdengar tembakan. Sejurus kemudian Panjaitan berteriak, ”Tubuh Grant berdarah!”

Pria 38 tahun itu tewas di perjalanan. ”Mereka dise rang kelompok bersenjata,” kata Kepala Kepolisian Daerah Papua, Inspektur Jenderal Bagus Ekodanto. Anehnya, sebelum polisi meng olah tempat kejadian, sejumlah orang datang menaiki dua mobil. Setelah merekam dan memotret lokasi, mereka pergi.

Polisi menemukan tiga se longsong peluru jenis DJ 564, kaliber 5,56, dan tiga proyektil di mobil Polsek Tembagapura yang sudah beberapa hari mogok ditikungan tempat Grant ditembak. ”Pelurunya standar TNI/Polri,” kata Ekodanto.

Grant diperkirakan ditembak dari jarak 25 meter dalam situasi gelap ber kabut. Hanya penembak profesional yang mampu melakukannya. Selain menemukan selongsong peluru, polisi menemukan kotak bekas nasi bungkus tak jauh dari lokasi. ”Kemungkinan milik pelaku,” kata Ekodanto.

Sumber di Tentara Nasional Indonesia menduga pelaku merupakan anggota Organisasi Papua Merdeka. Tapi polisi tak mau berspekulasi. ”Kita selidiki dulu,” kata Ekodanto. Pada Rabu dua pekan lalu, gerombolan bersenjata kembali menyerang di Mile 54. Lima polisi terluka.

Empat hari kemudian, pasukan Brigade Mobil yang hendak mengamankan lokasi penembakan Grant dihujani timah panas. Dua mobil satpam, dalam perjalanan mengantar kasur untuk pasukan, ikut diberondong. Satpam Freeport, Markus Rante Allo, tewas. Rekannya Edy Piter Bunga dan Dedy Jawaru terluka. ”Mereka diserang di Mile 51,” kata Ekodanto.

Malam harinya, anggota Provost Polda Papua, Bripda Marson Patipulohi, hi lang dan baru ditemukan esoknya dalam keadaan tewas. Rabu dua pekan la lu, lima polisi kembali ditembaki di Mile 54. Mereka sedang menyapu jalur yang hendak dilalui Sekretaris Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Ke amanan, Letnan Jenderal Roberto Ro mulo, menuju Timika. Kelimanya terluka.

Diduga, perusuh merupakan kelompok yang mengincar Papua sebagai lahan bisnis kekuasaan dan pengaruh. Lainnya menuding kelompok ini berambisi mendapatkan dana pengamanan besar dari Freeport.

Informasi lain menghu bungkan teror ini dengan tokoh kultural Kelly Kwalik. Nama Kelly berkibar ketika terjadi pemberontakan Mapenduma pada 1996. Ada juga yang menyatakan teror ini dipicu tuntutan kelompok adat terkait dana bagi hasil satu persen tambang Freeport.

Dua kompi pasukan Brimob yang mendarat di Bandara Mosez Kilangin, Timika, Jumat dua pekan lalu, tak menggentarkan perusuh. Rabu pekan lalu, iring-iringan bus Freeport yang membawa pasukan gabung an TNI/Polri dihadang ge rombolan bersenjata di dekat lokasi tertembaknya Grant.

Terus meruyaknya serangan gelap membuat upaya pengungkapan pelaku penembakan Grant semakin kabur. Polisi berbalik menangkapi warga sipil. Senin pekan lalu, tujuh warga Mimika diciduk polisi dari rumah mereka. ”Kami tak berani tidur malam, takut ditangkap,” kata Yohanes, warga Kwam ki Baru.

Penangkapan warga sipil menyulut reaksi tokoh yang tergabung dalam Lembaga Musyawarah Adat Suku Amung me, Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro, dan elemen lain. ”Pe nangkapan warga sipil itu upaya pengaburan pelaku penembakan,” kata Fide lis Zonggonao, tokoh masyarakat Moni.

Fidelis, yang menjabat Kepala Desa Kampung Banti saat pelaksanaan Da erah Operasi Militer Papua, mempertanyakan asal peluru tajam produksi Pindad yang di pembungkusnya tertulis TNI-AD. ”Perang suku pakai panah, pelakunya mudah ditangkap,” katanya. ”Tapi pelaku penembakan tak pernah tertangkap. Dari mana peluru-peluru itu?”

Dwidjo U. Maksum, Tjahjono Ep (Timika)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus