KECAMATAN Cikalong, Jawa Barat sudah dikenal aman tenteram. Tapi sejak pertengahan 1983 tiba-tiba timbul kegelisahan di kalangan penduduk. Bukan hanya karena sejak saat itu sudah tercatat 22 orang terbunuh di daerah pesisir selatan itu - sekitar 80 km dari Tasikmalaya. Yang menyebabkan penduduk tak tenang justru cara pembunuhan korban-korban itu: disiksa habis-habisan, diseret, diinjak-injak sampai mati - lalu dilemparkan ke Sungai Ciwulan. "Mereka dibunuh dengan tuduhan tukang teluh. Padahal, banyak yang bermotif balas dendam atau mencari keuntungan pribadi," tutur seorang perwira menengah di Polres Tasikmalaya. Dari beberapa kecamatan di kabupaten ini, sejak medio 1983 lalu, diketahui 50 lebih pembunuhan semacam itu. Yang terbanyak memang di Kecamatan Cikalong. Dalam operasi yang dilancarkan sejak dua pekan lalu, Polsek Cikalong sudah menangkap 33 tersangka pelaku pembunuhan itu. Penangkapan kelihatannya akan lebih banyak lagi, karena seorang korban umumnya dibunuh secara keroyokam "Saya betul-betul terkejut dan kewalahan. Di Cikalong selama ini angka kriminalitas rendah sekali, dan tak pernah ada laporan kasus pembunuhan," komentar kepala Polsek Cikalong, Calon Perwira Abas Markuli. Abas mulai mengaduk-aduk Cikalong setelah minggu pertama Mei lalu mendapat informasi agak Icngkap tentang terbunuhnya Kosih, 55. Penduduk Kampung Cipari, Desa Panyiaran, yang dikenal cukup berada itu dibunuh awal Februari lalu, setelah diculik tujuh laki-laki. Mayatnya dibuang ke Sungai Ciwulan yang mengalir di dekat Cikalong, dan sampai kini tak pernah ditemukan. Karena pembunuhan itu, istri dan enam anaknya serta menantu dan cucu mengungsi ke Tasikmalaya. "Kami merasa takut dan terpojok. Semua orang di kampung, ketika itu, seolah memusuhi kami," ujar Naedin, 27, anak sulung Kosih. Nasib yang dialami keluarga Kosih memang tragis. Itu bermula Juli tahun lalu, saat Kosih kedatangan Dayat, 35. Lelaki yang tak punya kerja tetap itu memperlihatkan selembar kertas, yang dikatakannya daftar tukang teluh yang mesti dihabisi. Meski bukan tukang teluh, Kosih merasa ketakutan karena namanya tercantum dalam daftar itu. Dayat bersedia menyclamatkan Kosih asalkan ia dikawinkan dengan Enok Mariam, 17, anak Kosih yang ketiga. Dengan berat hati Kosih menurut. Padahal, dia tahu persis, lelaki yang tinggal satu desa dengannya itu sudah kawin delapan kali dan punya enam anak. Meski dengan hati memberontak, Enok pun akhirnya menurut. Pernikahan dilangsungkan November 1983. Ternyata, bukan perkawinan itu benar yang dimaui Dayat. Ia mempunyai target lebih besar - seperti yang kemudian terungkap ketika ia diperiksa polisi - yaitu menguasai pabrik tapioka dan beberapa hektar sawah dan tanah milik mertuanya. Setelah rencana dinilai matang, awal Februari lalu, Dayat mengontak konco-konconya untuk bertindak. Pada tengah malam Kosih diculik saat bersembunyi di langit-langit rumah anak sulungnya, Naedin, oleh tujuh lelaki. Ia digelandang, ditendang dan dihajar dengan kayu sebelum di lempar ke Sungai Ciwulan. Naedin curiga bahwa Dayat terlibat. Sebab, ketika pagi harinya ia hendak melaporkan ke polisi dicegah menantu Kosih itu. "Biar saya yang melapor," kata Dayat ketika itu. Ternyata, setelah beberapa hari dinanti polisi tak kunjung datang. Malahan, kata Naedin, Dayat mengancam akan mmbunuh siapa saja keluarga Kosih yang berani menghubungi polisi. Scbab itulah Naedin mengajak ibu dan semua saudaranya mengungsi ke Tasikmalaya. Tak tahan melihat penderitaan itu, salah seorang kcrabat Kosih lalu menghubungi dua wartawan di Bandung. Dari laporan mereka, Polsek Cikalong segera turun tangan. Dayat dan tujuh konconya akhirnya ditangkap dua pekan lalu tanpa sempat melawan. Bahkan dari kasus itu polisi berhasil mengungkap kasuskasus lain di Clkalong, dan menangkapi tersanka. seperti Emi, Misad, dan Misan. "Sebelumnya,keluarga korban takut melapor karena diancam hendak dibunuh," kata Abas. Ketua Tim Penanggulangan Kerawanan llmu Hitam, Mayor CPM Adang, terkejut juga melihat kenyataan banyaknya pembunuhan itu. "Yang terbunuh itu belum tentu tukang teluh. Kalaupun terbukti mempunyai ilmu hitam, bukan harus dibunuh, cukup diserahkan ke polisi," ujarnya. Kepada TEMPO, Dayat, yang kini mendekam di tahanan Polsek Cikalong, meman tak tahu persis apa betul Kosih tukang teluh. "Hanya dengar-dengar saja," ujar lelaki tegap berjenggot panjang itu dengan nada dingin. Tim yang dipimpin Adang itu dibentuk bupati Tasikmalaya November 1983, beranggotakan unsur ABRI, kejaksaan, Departemen Agama, dan Departemen Penerangan. Tugasnya, antara lain, mencegah tindakan mam hakim sendiri terhadap mereka yang diduga tukang teluh. Sinyalemen Adang barangkali ada benanya. Berdasarkan laporan keluarga korban dan pemeriksaan terhadap para tersangka diperoleh data cukup menarik. Korban ratarata berusia di atas 40 tahun dan dikenal sebagai tokoh masyarakat yang cukup berada. Mereka umumnya rajin ke pengajian dan belajar tarekat. Kosih, misalnya, sering mengajar di madrasah dan sering menjadi imam di masjid. "Dosa" mereka, kata sumber TEMPO, tak lain karena agak senang menyendiri. Pembunuhan itu sendiri umumnya dilakukan sekelompok orang beranggota 3-7 orang, dan di antara mereka selalu ada petugas Hansip terlibat. Mereka menjalankan aksi lewat pukul 22.00, dengan cara menlemput korban dari rumahnya. Namun, beberapa korban, seperti Sudarman, Sapin, Hundri, Mihanda Saud, dan Misan, dicegat di tengah jalan saat pulang dari mengikuti ceramah yang, diselenggarakan tiap Kamis malam di kampung tetangga . Yahya Nurudin 65, pun tak kalah prihatin dibandingkan Adang. Ia menduga, pembunuhan itu terjadi karena kepercayaan penduduk kepada dukun masih tebal. Bila ada keluarga jatuh sakit, mereka kontan menuduh akibat ulah tukang teluh. Emi, misalnya, terus terang menuduh Hundri sebagai pembunuh anaknya, Suhartini, 4. Sebab, kata ayah empat anak itu kepada TEMPO di tahanan pekan lalu, anaknya itu mendadak sakit panas dan sekujur badannya membiru setelah pulang bermain di rumah Hundri tetangganya. Ia mengaku, tak membawa anaknya itu berobat ke dokter atau puskesmas, hingga tak tertolong lagi. Barangkali karena ia sudah telanjur percaya, anaknya itu kena teluh. "Saya memang tidak punya bukti, tapi saya yakin itu perbuatan Hundri," katanya. Maka, begitu mendengar ada yang berniat menghabisi Hundri, Emi pun ikut bergabung. "Karena sudah membunuh, tukang teluh itu juga harus dibunuh," kata Emi, 41, tanpa rasa bersalah. Padahal, pada 1950, kata tokoh Yahya Nurudin, dokter pernah datang ke sana. Ketika itu diketahui bahwa penyebab sakit bukan ilmu hitam. Penduduk banyak yang mengidap gondok, kanker lambung, dan kurang gizi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini