SABTU pekan lalu, genap 100 hari Djadjuli, 21, pergi ke alam baka. Pria itu terbunuh di rumah Haji Sadeli, saudagar ternak, dengan 28 luka bacokan. Tiga bacokan di antaranya menebas leher hingga hampir putus. Peristiwa itu sampai kini masih membuat penduduk Desa Bendung, Kecamatan Kasemen, Serang, bertanya-tanya. Apalagi karena sebelum persoalannya jelas betul, Sadeli, 50, mendapat piagam penghargaan dan hadiah sebuah lampu tekan dari Kodim 0602 Serang, Jawa Barat. Penghargaan itu diberikan hanya dua hari setelah peristiwa terjadi (16 Februari 1984), karena Sadeli dianggap cukup berjasa turut memberantas kejahatan dengan membunuh Djadjuli. Menurut laporan yang diterima pihak Kodim, saudagar ternak yang cukup beken di Kecamatan Kasemen itu telah membunuh perampok yang mencoba masuk ke dalam rumahnya. "Penghargaan dimaksudkan agar lebih merangsang masyarakat, terutama dalam menjalankan siskamling," tutur seorang perwira menengah Kadim Serang. Tapi sebenarnya kasus itu masih samar. Kepala Desa Bendung, Mas'ud, misalnya, tak yakin bahwa Djadjuli, yang sehari-hari berdagang itu, hendak merampok rumah Sadeli. "Saya tahu persis, dia anak baik dan berbudi," katanya. Rekan-rekan dan penduduk desa itu pada umumnya juga menilai, pria kerempeng berkulit putih itu berperangai terpuji "Dia itu santri, pendiam, dan tidak pernah berbuat macam-macam," ujar seorang penduduk. Maka, penduduk Bendung, khususnya di Kampung Cibomo tempat Djadjuli tinggal - tak habis pikir bila ia dituduh hendak merampok. Peristiwa tragis yang menimpa Djadjuli itu terjadi 16 Februari lalu. Lepas maghrib, menurut penuturan Marsad, 22, ia diajak Djadjuli ke rumah Sadeli Seperti yang dijanjikan siang harinya, saudagar ternak itu hendak memberikan uang Rp 60.000 di rumahnya. Uang itu merupakan piutang ayah Djadjuli. Ceritanya, pada September 8, ayah Djadjuli, Daiman, meminjamkan seekor kerbau dan 40 gram emas kepada Somat, kepala desa Bayoyong. Awal Februari lalu, Somat berniat mengembalikan pinjamannya. Tapi, ketika itu ia baru mempunyai uang Rp 100.000. Uang diintipkan kepada Sadeh, karena ia ingin mengembalikan kerbau yang dulu dipinjam dengan kerbau juga. Untuk sementara - selagi uang yang disetorkan belum mencukupi kerbau belum diberikan. Rupanya, ketika itu Diadiuli - yang istrinya sedang hamil muda - butuh uang. Maka, ia meminta saja uang tiapan itu pada Sadeli. Pagi harinya diberikan Rp 40.000 dan sisanya hendak diambilnya malam itu. Tiba dekat rumah Sadeli yang berhalaman luas berpagar tembok, Marsad tak ikut masuk. Ia mampir di rumah seorang kenalan, tak berapa jauh dari situ. Begitu sebatang rokok yang disedotnya habis, katanya, "Saya mendengar suara jerit kesakitan dari arah rumah Sadeli." Marsad memastikan, itu suara Djadjuli. Maka, ia dan beberapa penduduk Kademangan, Desa Tarumbu, berdatangan. Hanya, mereka tak berani masuk ke dalam. Soalnya, selain kaya, saudagar ternak itu sangat berpengaruh dan rumahnya selalu dijaga ketat oleh anak-anak serta anak buahnya yang dikenal jago silat. Marsad lalu melaporkan kejadian itu kepada orang-orang di kampungnya. Sekitar pukul 20.00 orangtua Djadjuli beserta Sahi, ketua RT, dan beberapa orang lain menuju Kademangan. Tiba di sana, Djadjuli tak bisa ditemui karena Kademangan sudah dipenuhi petugas polisi dan Koramil setempat. "Ada perampokan," begitu yang didengar Sahi dan Daiman, ayah Djadjuli. Suasana kampung yang belum menikmati aliran listrik itu pun terasa mencekam. Esok harinya, barulah rombongan Daiman bisa masuk ke rumah Sadeli. Disaksikan Darman, ketua RT di situ, mereka mendapati Djadjuli telah menjadi mayat. "Badannya kaku, penuh luka bacokan," ujar Sahi pekan lalu kepada TIMIO. Mayat Djadjuli terkapar di teritisan rumah Sadeli, tepat di bawah pancuran air. Kebetulan, semalam suntuk hujan cukup lebat, hingga mayat tadi boleh dibilang sudah berslh dari darah yang mengalir. Siang harinya, jenazah dikuburkan. Ketika itulah datang petugas polisi dari Polsek Kasemen, yang dipimpin Calon Perwira Daniwa, membawa anjing pelacak. Mereka melakukan penggeledahan di Cibomo, karena mendapat informasi bahwa kawan perampok semalam lari ke situ. Mereka tak membawa hasil, karena, kata Mas'ud, "Di sini memang tidak ada perampok, yang ada adalah Marsad yang menemani Djadjuli. Tapi anjing pelacak tak mencurigai Marsad sebagai orang yang dicari." Marsad merasa terancam dan lari mengaduke Markas Kopassandha Grup di Kramat, sekitar 40 kilomcter dari Cibomo. Djadjuli memang sering mengajaknya ke situ, membawa dagangan berupa ayam dan hasil bumi. Pihak Kopassandha tentu tak percaya begitu saja pada laporan Marsad. Maka, Marsad pun diserahkan ke Polsek Kasemen agar diusut. Setelah dua hari diperiksa, ia dibebaskan karena tak ada indikasi sedikit pun bahwa malam 16 Februari lalu ia beserta Djadjuli hendak merampok. Yang membuat Marsad tak enak ialah ia dipesan agar tak usah banyak bercerita kepada siapa pun tentang kejadian itu. Tapi diam-diam, petugas Kopassandha yang sudah mengenal baik Djadjui juga menyelidiki. Ia berkesimpulan bahwa Djadjuli memang tak berniat merampok. "Pembunuhan paling tidak dilakukan lima orang," kata petugas yang tak mau disebutkan namanya itu. Salah satunya bisa jadi Bawus - seorang jagoan yang dikenal sebagai pembunuh bayaran - yang malam ltu diketahui berada di rumah Sadeli. Kini Bawus menghilang. Sadeli sendiri kepada TEMPO menyatakan, ia mengira yang datang malam itu perampok. Sebab, dua malam sebelumnya ia mendapat kabar burung bahwa rumahnya akan dirampok. "Karena itu saya bersiap-siap," kata ayah 11 anak dan kakek 10 cucu itu. Hanya, apakah betul ia tidak tahu yang datang malam itu Djadjuli, dan mengapa mayatnya tergeletak sampai pagi di rumahnya ia tak mau bicara. Dengan begitu, sulit dipastikan apakah yang menimpa Djadjuli itu suatu kasus kecelakaan atau suatu pembunuhan berencana. Pihak Kodim yang dihubungi tak mau berkomentar tentang penghargaan yang diberikan kepada Sadeli. Polres Kasemen pun mengelak ketika ditanya mengapa "kasus Djadjuli" itu tak pernah diusut tuntas. Hanya, kata Mas'ud, semestinya polisi mengusut perkara itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini