Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Gigi Mundur Remisi Koruptor

Pemerintah berencana memperlonggar aturan remisi, termasuk untuk terpidana korupsi. Komisi antikorupsi masih menentang.

15 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANCAMAN tim Komisi Pemberantasan Korupsi untuk meninggalkan ruangan mengakhiri rapat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada Senin siang pekan lalu. Pertemuan selama dua jam yang juga dihadiri perwakilan Kepolisian RI, Badan Narkotika Nasional, dan Kejaksaan Agung itu bubar tanpa kesepakatan.

Agenda utama rapat hari itu adalah membahas Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Draf itu antara lain mengatur pelonggaran syarat pemberian remisi, termasuk untuk terpidana kasus korupsi. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan kecewa terhadap sikap Kementerian Hukum. "Koruptor jangan ada remisi. Kami ingin beri efek jera," ujar Agus pada Rabu pekan lalu.

Adu argumen bermula ketika tim Kementerian Hukum melontarkan gagasan bahwa pemberian remisi seharusnya menjadi kewenangan penuh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Menurut mereka, pengurangan masa hukuman penjara, termasuk kasus korupsi, tak perlu mendapat persetujuan lembaga penegak hukum lain. Tim Kementerian Hukum juga menjelaskan, untuk mendapat remisi, terpidana tak harus menjadi justice collaborator-bekerja sama dengan aparat mengungkap kejahatan.

Perwakilan KPK yang hadir kontan menyanggah gagasan tersebut. Menurut tim KPK, syarat pemberian remisi harus diperketat, bukannya malah dipermudah. Mereka, misalnya, menyinggung kebiasaan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam memproses permohonan remisi. Direktorat ini memang selalu mengirim surat kepada KPK untuk menanyakan apakah terpidana sudah memenuhi syarat sebagai justice collaborator dan melunasi denda serta uang pengganti. Namun KPK hanya diberi waktu 12 hari untuk menjawab. Bila lewat tenggat, KPK dianggap menyetujui pemberian remisi. "Yang kami inginkan polanya dibalik. Kalau tidak menjawab, berarti KPK menolak," kata seorang pejabat KPK yang mengetahui pertemuan itu.

Rancangan peraturan yang disiapkan Kementerian Hukum kali ini senada dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Menurut peraturan tersebut, narapidana bisa mendapat remisi setelah menjalani sepertiga masa hukuman, tak peduli mereka itu terpidana korupsi, narkotik, atau terorisme. Syarat lain: cukup berkelakuan baik.

Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, ketentuan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat diperketat lewat Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012. Menurut ketentuan itu, narapidana kejahatan luar biasa seperti korupsi, narkotik, dan terorisme harus memenuhi persyaratan berlapis jika masa hukumannya ingin dipangkas. Antara lain, mereka harus menjadi justice collaborator dan melunasi uang pengganti kerugian negara. Khusus pidana terorisme, mereka mesti mengikuti program deradikalisasi.

Denny Indrayana, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM yang menjadi koordinator penyusunan Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, mengatakan pengetatan remisi bertujuan memerangi kejahatan kerah putih. Menurut dia, tak adil kalau pencuri karena kelaparan disamakan dengan koruptor, bandar narkotik, dan teroris. "Itu yang bikin marah narapidana kerah putih," ujar Denny.

Ketika pertama kali berlaku, aturan pengetatan remisi memang mendapat reaksi keras dari narapidana korupsi. Melalui Priyo Budi Santoso-Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat kala itu-sembilan terpidana korupsi meminta Presiden Yudhoyono membatalkan aturan tersebut. Mereka yang menitip pesan lewat Priyo antara lain bekas Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno dan bekas Gubernur Bengkulu Agusrin M. Najamuddin. Dalam surat yang dikirim kepada Presiden Yudhoyono pada 22 Mei 2013, Priyo melampirkan tanda tangan 106 narapidana korupsi.

Penghuni Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta, Medan, juga pernah mengamuk. Pada 11 Juli 2013, mereka membakar kantor sipir dan menjebol gerbang utama penjara. Akibatnya, 212 narapidana kabur. Ketika berdialog dengan Menteri Hukum Amir Syamsuddin, penghuni penjara menuntut peraturan pemerintah tadi direvisi. Padahal pengetatan remisi tak berlaku untuk terpidana kejahatan biasa-seperti kebanyakan penghuni Tanjung Gusta.

Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum Karjono membenarkan syarat remisi dalam rancangan peraturan pemerintah terakhir memang lebih longgar. Dia beralasan aturan pengetatan remisi yang sebelumnya berlaku dibuat secara emosional. Penyusun peraturan itu, kata dia, "Seperti orang yang lagi balas dendam."

Menurut Karjono, rancangan peraturan pemerintah yang baru juga mengakomodasi keluhan dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan bahwa semua penjara telah kelebihan penghuni. Data terbaru, semua penjara Indonesia berisi 198.132 orang. Padahal daya tampungnya hanya 118.969 orang.

Karjono menambahkan, pemberatan hukuman-dalam hal ini pengetatan remisi-semestinya tak membebani Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Ia merujuk pada surat edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 yang menyebutkan penetapan terpidana sebagai justice collaborator berproses di persidangan. Pertengahan tahun lalu, menurut dia, KPK di bawah kepemimpinan Taufiequrrachman Ruki pun pernah mengirim surat kepada Kementerian Hukum. Surat itu menyebutkan, penentuan justice collaborator berada di tahap tuntutan dan putusan. "Bukan setelah orang jadi terpidana," ujar Karjono.

Gagasan pelonggaran remisi ternyata senada dengan suara Senayan. Anggota Komisi Hukum DPR, Arsul Sani, mengatakan usulan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 muncul pertengahan tahun lalu, dalam rapat dengar pendapat DPR dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly. "Mayoritas fraksi setuju wacana itu," kata Arsul. "Tapi kami minta pemerintah tak tergesa-gesa."

Komisi Hukum DPR, menurut Arsul, menilai Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 mengandung banyak kelemahan. Pertama, DPR menilai peraturan itu menabrak Undang-Undang Pemasyarakatan. Undang-undang menyebutkan narapidana berhak mendapatkan remisi sepanjang memenuhi syarat berkelakuan baik tanpa membedakan jenis pidananya. Kedua, menurut DPR, peraturan tersebut membuka ruang diskriminasi dalam pemberian remisi kepada narapidana. Terakhir, DPR menilai peraturan itu "main hantam kromo" terhadap semua terpidana tanpa membedakan peran mereka dalam kejahatan. "Padahal banyak terpidana korupsi yang dihukum karena apes saja," tutur Arsul.

Soal ini, Denny Indrayana mengingatkan Kementerian Hukum dan DPR. Menurut dia, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 telah beberapa kali diuji materi ke Mahkamah Agung. Faktanya, Mahkamah Agung selalu menyatakan peraturan pemerintah itu tak bertentangan dengan undang-undang. "Artinya, peraturan tersebut punya kekuatan hukum," ujar Denny.

Terlepas dari siapa penggagasnya, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief menilai rencana melonggarkan syarat dan prosedur remisi merupakan kemunduran dalam pemberantasan korupsi. Jika rancangan peraturan baru itu disahkan, menurut dia, kewenangan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dalam pemberian remisi menjadi sangat besar. "Itu bisa membuka peluang korupsi," ujar Laode. Karena itu, pimpinan KPK akan berembuk lagi dengan Menteri Hukum. Bila perlu, kata Laode, KPK akan mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo.

Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Lalola Easther Kaban, juga menilai rancangan peraturan pemerintah terakhir itu menguntungkan koruptor. Selain melonggarkan syarat remisi, menurut dia, rancangan itu memberikan banyak celah bagi terpidana korupsi untuk keluar dari penjara. Mereka bisa memanfaatkan cuti mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas, dan cuti bersyarat yang bisa sampai empat bulan. Rancangan ini juga mengatur program asimilasi bagi koruptor lewat kerja sosial di luar penjara. "Kami khawatir ada penumpang gelap di balik rancangan ini," kata Easther. LINDA TRIANITA, DANANG FIRMANTO

Diperketat Lalu Diperlonggar

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012

Remisi

Pasal 34A

Syarat pemberian remisi bagi narapidana korupsi:

1. Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator).

2. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

Asimilasi

Pasal 36

Syaratnya:

1. Berkelakuan baik.

2. Aktif mengikuti program pembinaan dengan baik.

3. Telah menjalani 2/3 masa pidana.

Rancangan Peraturan Pemerintah

Remisi

Pasal 32

Syarat pemberian remisi bagi narapidana korupsi:

1. Berkelakuan baik.

2. Telah menjalani 1/3 masa pidana.

3. Selain persyaratan di atas, napi korupsi yang telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

Asimilasi

Pasal 43

Syaratnya:

1. Berkelakuan baik selama 9 bulan terakhir.

2. Aktif mengikuti program pembinaan dengan baik.

3. Telah menjalani 2/3 masa pidana.

4. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus