Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Greenpeace Indonesia: Mustahil Pagar Laut di Desa Kohod 2022-2023 Daratan

Melihat tren peningkatan muka air laut di Indonesia, mustahil kawasan pagar laut di Tangerang adalah daratan 2-3 tahun lalu

29 Januari 2025 | 08.43 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pagar laut di Pantai Anom, Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia menyatakan mustahil kawasan pemasangan pagar laut di perairan di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten, merupakan daratan pada 2-3 tahun lalu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Urban Justice Campaigner Greenpeace Indonesia, Jeanny Sirait, menjelaskan rata-rata peningkatan muka air laut di Indonesia, yakni 0,8 - 1,2 sentimeter per tahun. Sedangkan penurunan muka tanah rata-rata di kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) 7,5 sentimeter per tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Tidak mungkin (lokasi pagar laut di Desa Kohod) pada 2022-2023 bentuknya masih daratan, kecuali jika pada masa tersebut ada bencana alam besar, seperti tsunami," kata Jeanny kepada Tempo, pada Senin malam, 27 Januari 2025.

Dia menjelaskan musnahnya daratan akibat abrasi memiliki waktu variatif. Sebab, peristiwa alam itu dipengaruhi oleh kecepatan air dan angin, keras batuan atau daratan di pantai, jumlah material yang diangkut, land subsidence, dan peningkatan muka air laut yang ada di wilayah tersebut akibat krisis iklim.

Jeanny berujar berdasarkan pengamatan citra satelit yang ditarik dari tahun paling jauh, yakni 1985, perairan di Desa Kohod tersebut berbentuk laut sehingga seharusnya tidak dapat di keluarkan sertifikat tanah, baik sertifikat Hak Milik (SHM) maupun sertifikat hak guna bangunan (SHGB).

Badan Pertanahan Nasional atau BPN berdalih penerbitan SHM dan SHGB di kawasan pagar laut Tangerang pada 2023 didasarkan pada girik tahun 1982. Menurut Jeanny, dalam setiap penerbitan sertifikat wajib dilakukan pengukuran yang harus dituangkan dalam berita acara. Artinya, seharusnya bisa diketahui bahwa lokasi tersebut adalah laut, bukan daratan. Ia pun mempertanyakan mengapa BPN tetap mengeluarkan sertifikat tanah, yakni SHGB dan SHM.

Di sisi lain, pembangunan pagar laut dapat mempercepat sedimentasi dan merusak ekosistem perairan. Sebab, pesisir pantai punya fungsi nursery ground atau fungsi untuk menjadi wilayah penjagaan/asuhan organisme biota laut yang masih kecil atau muda. Apabila laut dipagari atau dialihkan, maka fungsi ini menjadi hilang sehingga biota laut yang masih kecil atau muda tadi tidak dapat bertumbuh. Dalam jangka panjang ekosistem laut seperti terumbu karang dan padang lamun menjadi rusak.

Selain itu, pemagaran laut membuat nelayan kesulitan dalam mencari ikan sehingga mempengaruhi perekonomian mereka. Bahkan Jeanny menduga ada tindak pidana korupsi dan kolusi dalam penerbitan sertifikat di sana. Sanksi administratif pencabutan sertifikat, kata dia, tidak bisa menghilangkan tanggung jawab pidana pelaku penerbit sertifikat. Maka, penting bagi kepolisian untuk mengusut potensi tindak pidana dalam perkara ini.

Mutia Yuantisya

Mutia Yuantisya

Alumnus Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang ini memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2022. Ia mengawalinya dengan menulis isu ekonomi bisnis, politik nasional, perkotaan, dan saat ini menulis isu hukum dan kriminal.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus