KAYU hitam, yang langka dan berharga mahal di Sulawesi Tengah, agaknya bisa menyandung siapa saja, juga gubernur. Pekan-pekan ini Gubernur Sulawesi Tengah Azis Lamadjido, 58 tahun, digugat seorang pengusaha eboni, Abdullah Haddade, karena secara tidak sah menyita dan menahan 2.110 ton eboni milik pengusaha itu. Melalui Pengacara Budiman Sagaia dan Suhana Natawilwana, Abdullah menuntut Gubernur agar segera mengembalikan kayu hitam miliknya itu, dan membayar ganti rugi -- tak tanggung-tanggung -- Rp 7,7 milyar. Hebatnya lagi, bos perusahaan kayu hitam CV Sinar Alam Tropical Timbers Trading (SAT3) Coy dan PT Triumph Trading (T2) Coy itu juga menuntut agar Pengadilan Negeri Palu menjatuhkan sita jaminan terhadap kantor gubernuran yang notabene barang milik negara dan menyangkut kepentingan umum. Pada mulanya, dalam gugatan Abdullah, CV SAT3 adalah pemegang izin pengolahan kayu hitam di kawasan hutan Sibayu-Sibualong, Donggala, Sulawesi Tengah. Pada 1974, perusahaan itu kelebihan hasil penebangan kayu hitam sebanyak 2.000 ton. Maka, CV SAT3 terpaksa membayar kompensasi pungutan hasil hutan (KPHH), berikut tunggakannya, sekitar Rp 30,8 juta, kepada Dinas Kehutanan Sul-Teng. Sanksi KPHH ini juga sudah disetujui DPRD setempat. Belakangan, sebanyak 1.353 dolok (sekitar 845 ton atau setara dengan 850 m3) dari eboni yang masih ditahan Pemda itu ternyata dicuri komplotan Yusuf dan Andras. Sebanyak 546 dolok (sekitar 341 ton) dari barang curian itu kemudian dijual si pencuri seharga Rp 74,8 juta uang pembayaran kayu itu di BNI 1946 Palu sempat diblokir. Sementara itu, sisa hasil curian itu di pantai Sibualong disita pengadilan untuk kasus Yusuf. Sampai tingkat kasasi, pada September 1984, Yusuf dan Andras divonis masing-masing 1 tahun 6 bulan penjara. Hanya saja, Pemda tetap tak mau menyerahkan kembali kayu hitam CV SAT3 itu termasuk barang bukti dalam kasus Yusuf -- kepada Abdullah. Pemda, kata Budiman Sagala, selalu berdalih bahwa hal itu sesuai dengan amar putusan perkara Yusuf, yang menetapkan barang bukti tersebut diserahkan ke Pemda. Padahal, kata Budiman, dalam pertimban~an keputusan perkara itu jelas-jelas dikatakan: pihak-pihak yang merasa berhak dapat mengajukan permintaan ke Pemda, atau me:alui gugatan perdata. Hal ini juga belakangan ditegaskan kembali oleh Mahkamah Agung dan Menteri Dalam Negeri. Belum tuntas masalah itu, pada September 1987 Abdullah kembali kena "getah" kayu hitam. Itu gara-gara Pemda menyita 110 ton kayu hitam di tempat penumpukan kayu hitam PT T2 di AusaSausu, Donggala. Alasannya, PT T2 dianggap telah melanggar PP No. 28/1985 tentang Perlindungan Hutan. Belakangan, setelah kasus 110 ton kayu hitam itu diperiksa polisi, instansi penyidik ini tak menemukan bukti-bukti tuduhan itu, dan menerbitkan SP3 (Surat Pen~hentian Penyidikan Perkara). Toh seperti juga nasib 2.000 ton ebonitadi, hingga kini Abdullah tak kunjung bisa memperoleh kembali "berlian hitam" SulTeng miliknya itu. "Dengan adanya keputusan Mahkamah Agung dan penghentian penyidikan, persoalannya kan jelas sederhana. Tapi entah kenapa, Gubernur bersikeras menahan kayu itu, bahkan sampai bertahun-tahun," kata Budiman Sagala. Karena itu, Abdullah terpaksa menyelesaikan masalah itu ke meja hijau. Sementara itu, Gubernur Azis Lamadjido tetap berpendapat bahwa eboni itu, sebagaimana diputuskan MA, memang diserahkan ke Pemda. Tapi bukankah eboni itu nyata-nyata milik Abdullah? Azis, yang bekas kepala kejaksaan tinggi daerah itu, cuma menjawab, "Biarlah itu menjadi urusan pengadilan." Gubernur juga enggan menjelaskan bagaimana persisnya masalah kayu hitam tersebut. "Pokoknya, sesuai dengan program kami, eboni akan kami jadikan barang-barang jadi (finished product). Supaya ada lapangan kerja, punya nilai tambah, dan devisa tinggi," kata Azis, yang panggilan akrabnya Toma Riri itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini