SETELAH penertiban hakim, sekarang giliran penyidangan dan
penyelesaian perkara pidana dibenahi trio penegak hukum. Ketua
Mahkamah Agung Mudjono, Menteri Kehakiman Ali Said dan Jaksa
Agung lsmail Saleh, Senin pekan lalu di hadapan para peserta
raker Departemen Kehakiman, menandatangani sebuah instruksi
bersama untuk menertibkan perkara pidana.
Sasaran utama, kata Menteri Ali Said, adalah perkara-perkara
pidana, karena "tanpa mengurangi kepentingan perdata, perkara
pidana paling berkaitan dengan kepentingan umum dan hak-hak
asasi manusia."
Kalau suatu kasus perkara pidana terkatung-katung dapat berarti
nasib tersangka dalam tahanan juga tak menentu. Apalagi kalau
tersangkanya kemudian terbukti tidak bersalah dan dibebaskan
hakim. "Dalam perkara perdata tidak ada yang ditahan, damai pun
bisa," ujar Ali Said.
Yang menarik dari instruksi bersama itu antara lain penetapan
sidang-sidang pengadilan perkara pidana harus dimulai pada jam
09.00 pagi. Begitu pula, penyidangan perkara jenis ini memakan
waktu 4 hari kerja dalam seminggu, Senin sampai dengan Kamis
sedang sisanya, Jumat dan Sabtu, untuk perkara-perkara perdata.
Di Jakarta, misalnya, selama ini, hampir sidang pidana baru bisa
dimulai di atas jam 10 siang setelah sidang perdata.
Ketiga pejabat hukum itu melihat berbagai alasan penundaan
penyelesaian sidang-sidang pidana seperti yang biasa terjadi
selama ini tidak bisa dibenarkan lagi. Penundaan sidang yang
selama ini biasanya seminggu, dalam instruksi tadi juga
dibatasi hanya 3 x 24 jam.
Untuk itu antara Ketua Pengadilan Negeri, Kepala Kejaksaan
Negeri dan Kepala Lembaga Pemasyarkatan sebulan sekali harus
mengadakan pertemuan konsultasi. Hakim maupun jaksa yang
melanggar ketentuan instruksi tadi dapat dikenai hukuman
administratif.
Namun dengan instruksi itu, tidak berarti perkara-perkara pidana
diprioritaskan. "Semata-mata karena instruksi itu menyertakan
Jaksa Agung," kata Ketua MA, Mudjono, "sebab kalau hanya perkara
perdata cukup saya sendiri." Sambil menyulut rokoknya, Mudjono,
tetap menganggap perkara perdata dan pidana sama. Begitu pula,
"tidak ada lagi hakim pidana atau perdata, semuanya sama," ujar
Mudjono. Di tingkat paling tinggi, juga para hakim agung,
ditugasi menyelesaikan tunggakan perkara perdata dan perkara
pidana sekaligus.
Hambatan
Dan memang rupanya selama ini pengurusan perkara pidana dan
perdata tak banyak berbeda. Di Bali, misalnya. "Selama ini
perkara perdata dan pidana berjalan sama-sama, tidak ada yang
diprioritaskan," kata Made Tara, Humas Pengadilan Negeri
Denpasar. Atau seperti dikatakan Wakil Ketua Pengadilan Jakarta
Selatan, Mangatas Nasution, "perkara perdata juga menyangkut hak
asasi manusia." Umpamanya, tambah Mangatas, kalau seseorang yang
menunggu putusan rumahnya yang diserobot.
Mangatas memperkirakan, hambatan yang mungkin muncul dalam
pelaksanaan instruksi tadi adalah keharusan menyidangkan perkara
pukul 9.00 pagi. Selama ini, misalnya, jaksa yang menjemput
tersangka di LP Cipinang (Jakarta), memakan waktu yang lama
juga. Karena surat panggilan harus melalui dua pejabat LP, baru
kemudian tersangkanya dicari di antara sekian banyak narapidana
dan tahanan. Sebab itu, Mangatas melihat beban berat akan
dipikul kejaksaan kalau instruksi itu dilaksanakan. "Jaksa harus
memberitahu LP sehari sebelum tersangka dihadapkan," katanya.
Chabib Syarbini, Ketua Pengadilan Negeri Medan, melihat hambatan
penanganan perkara pidana karena berbagai instansi, seperti
kejaksaan dan lembaga pemasyarakatan. Misalnya seorang saksi
yang harus didengar dalam kasus pidana, tambah Chabib,
pemanggilannya melalui jaksa, polisi, camat dan lurah. Karena
itu ia belum bisa menjamin penundaan sidang hanya dalam waktu 3
x 24 jam dapat terlaksana. "Tetapi sebelum instruksi itu keluar,
penegak hukum di Medan sudah membuat konsensus 17 Februari yang
lalu, untuk mempercepat penyelesaian perkara pidan," ujar
Chabib lagi.
Seperti juga Chabib, Sutomo Ha(l idimyati, Hakim Pengadilan
Negeri Bantul (Yogyakarta), mengaku sebelum instruksi keluar,
Pengadilan Bantul sudah melaksanakan hal-hal yang diatur oleh
instruksi itu. "Justru di sini, perkara pidana lebih cepat
selesainya," katanya. Menurut Ketua Pengadilan Bantul, Sam'ani
Soedjono, selama 1980, di Pengadilan Bantul hanya masuk 40
perkara pidana biasa, 29 di antaranya sudah diselesaikan.
Di Jakarta, selain banyak perkara, hambatan penyelesaian perkara
juga menonjol. Terutama dalam pengambilan tersangka di LP
Cipinang, dan pemanggilan saksi-saksi. Belum lagi halangan lain,
seperti permintaan penundaan sidang oleh instansi di luar
pengadilan. "Biasa, suatu sidang pidana terpaksa ditunda karena
adanya permintaan dari instansi lain, misalnya karena ada tamu
negara," kata seorang hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Atau, seperti kata Asisten Operasi Kejaksaan Tinggi DKI, "kalau
tidak ada hambatan, tidak mungkin Jaksa Agung ikut
menandatangani instruksi itu." Rupanya memang tidak gampang
menegakkan hak asasi manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini