RUMAH itu terletak di sudut salah satu jalan di Kota Lawang,
Malang. Pekarangannya luas. Pelataran belakangnya saja, ada
seluas 3.000 mÿFD. Pemiliknya, Atmo Kolopaking, menghabiskan
sebagian besar waktunya di pekarangan rumah itu, atau di salah
satu ruangan yang dijadikannya labortorium.
Tidak ada tempat yang tidak dimanfaatkannya di lingkungan
rumah itu. Ada deretan pohon anggrek. Ada parapara tempat pot
kecil, setengah besar, besar -- berderet, ratusan jumlahnya. Di
sudut yang lain, puluhan botol bertumpuk, menanti untuk
disterilkan.
Itmo Kolopaking, adalah salah seorang dari cuma beberapa
gelintir penyilang anggrek di Indonesia. Dia bahkan bisa
digolongkan penyilang paling tekun. Lahir di Kebumen (Ja-Teng)
sekitar setengah abad yang lalu, sejak SMP, dia ingin jadi
insinyur pertanian. Tapi orang tuanya ingin agar Atmo jadi
dokter. Walhasil, dia tidak jadi dua-duanya.
Namun hobi yang ditekuninya kini, tak banyak berbeda dengan
pekerjaan seorang insinyur pertanian atau ahli botani lainnya.
Sebab, selain dia mengusahakan toko bahan bangunan di Lawang dan
Malang, Atmo lebih dikenal sebagai penyilang anggrek sejak
tahun 1950-an. "Anggrek apa saja saya silang," ujar Atmo.
Kini, lebih dari 1000 persilangan telah dikerjakannya. Yang
berhasil, ada sekitar 200-an. "Dan yang telah mendapat
pengesahan dari London, sekitar 120 jenis anggrek," ujar Atmo.
Dan dia memang satu-satunya orang Indonesia yang mendapat
sertifikat The Internasional Authority for the Registration of
Orchid Hybrids, satu-satunya badan resmi per-anggrek-an dunia
yang berpusat di London.
Proses mendapat sertifikat resmi itu, sebetulnya tidak sulit.
Atmo mengetahui hal ini pada 1968, ketika salah seorang temannya
di Jakarta mengajarkan bagaimana posedurnya. Caranya ialah
catatan lengkap yang memuat data-data mulai dari penyilangan
sampai setelah hasil penyilangan itu berbunga, foto berwarnanya,
siapa ayah dan ibu si anggrek hasil dari perkawinan tersebut.
Semua data itu dikirim ke London.
"Waktu pertama kali saya kirim ke London," cerita Atmo, "saya
bangga sekali. Karena langsung mendapat pengesahan". Dia tidak
menyebutkan, siapa "orangtua" si anak yang kemudian bernama
Phalaenopsis Budiardjo itu. Phalaenopsis (Ph), adalah jenis yang
biasa disebut anggrek bulan.
Nama Atmo cukup populer di kalangan penggemar anggrek
internasional. Bahkan banyak pengunjung dari luar negeri khusus
datang ke Malang untuk melihat kebun anggrek Atmo di Lawang.
"Sekitar 25% dari hasil penyilangan yang saya kirim ke London,
ditolak," ujarnya lagi. Penolakan biasanya karena penyilangan
serupa telah dilakukan orang lain sebelumnya. Setiap tahun,
pusat registrasi di London ini membuat daftar panjang entang
nama-nama anggrek yang berhasil disilang.
Tahun 1970, Atmo mengawinkan Denrobium Meta Sari Mustika dan
Denrobium Anosmum. Eddy Jaya Remaja seorang penggemar anggrek
juga, kemudian membelinya satu juta rupiah. Maklum, anggrek
tersebut bernama Denrobium Eddy Jaya Remaja. "Ini memang bibit
termahal yang pernah saya jual," kata Atmo, "dan ternyata,
bunganya luar biasa indahnya." Lima lembar dari Denrobium itu
berwarna putih, sedangkan hanya selembar -- yang merupakan
lidah -- berwarna merah. Bunganya pun cukup banyak.
Belakangan, Atrno mendengar bahwa Denrobium Eddy Jaya Remaja
itu telah dibeli Nyonya Imelda Marcos. Tentu dengan harga yang
lebih mahal.
"Siapa saja boleh minta namanya diabadikan," tukas Atmo, "tidak
perlu bayar." Sekarang sebanyak 12 orang sedang menunggu giliran
agar namanya diabadikan sebagai nama suatu anggrek hasil
penyilangan. Kebanyakan, memang nama-nama terkenal. Atau
tokoh-tokoh penggemar anggrek. Antara lain yang telah berhasil
adalah Ph. Sri Rejeki Bardosono, istri bekas Ketua PSSI.
Jenis dari keluarga anggrek bulan ini kemudian diabadikan dalam
perangko Rp 40. Ketika diikutkan dalam pameran anggrek di
Singapura, jenis ini keluar sebagai salah satu pemenang.
Dalam upacara kecil awal Maret lalu anggrek hasil silangan Atmo
terbaru Ph. Egnie Soegiyono telah diserahkan kepada yang
empunya nama. Egnie adalah istri Walikota Malang, yang pernah
menjuarai turnamen golf memperebutkan piala Tien Suharto pada
1977 dan 1980. "Nama ini atas usul PAI Malang," katanya. PAI
ialah singkatan dari Persatuan Anggrek Indonesia. "Tapi saya
tidak hanya memberi nama orang-orang terkenal saja," tambah
Atmo. Karena ayah dari tiga orang anak ini pernah mendaftarkan
silangannya dengan nama Ph. Joko Timbul, nama seorang
karyawan kantor agraria Pasuruan.
Ph Egnie adalah hasil perkawinan Ph Doc Charles dari AS dan
Ph Raka Sumiehan dari Indonesia. Perkawinan itu berlangsung
19 Maret, 1977. Dua tahun kemudian menghasilkan bunga kuning
kemerah-merahan. Pada 30 ApriI 1980 Atmo mengirimkannya ke
London. Tahun berikutnya 15 Januari, baru disahkan oleh lembaga
berwenang itu.
Di kebunnya, ratusan botol penuh pohon anggrek cilik. Tiap botol
yang berisi kira-kira 200 pohon kecil itu dijualnya dengan harga
antara Rp 2.000 sampai Rp 5.000, menurut jenisnya. Kesehatan
pohon-pohon kecil itu harus selalu dipelihara.
"Juga harus diperhitungkan, kekhususan apa yang ingin dicapai
dari suatu penyilangan," tambah Soeyatna SH yang mempunyai
kebun anggrek di Ragunan, Pasar Minggu Jakarta. Beberapa hari
setelah serbuk sari ditempelkan, kelopak bunga penerima menjadi
layu. Ini berarti pembuahan telah berhasil. Setiap jenis
anggrek memiliki jangka waktu berbuah yang berlainan. Biji
denrobium dianggap cukup masak kalau sudah berusia 3-4
bulan. Vanda sekitar 6 bulan dan jenis Cattaleya, 9 bulan.
Biji tcrsebut kemudian disemai ke dalam botol yang telah bebas
hama (steril). Sebelumnya, botol tadi diisi agar-agar yang
telah dicampur dengan zat kimia tertentu. Anggrek memang pohon
yang manja dan mahal. Karena itu kalau botol tidak bersih,
bibit akan mati.
Tanda kalau pertumbuhan itu berhasil ialah bila permukaan
agar-agar kemudian menghijau. Enam bulan kemudian, warna hijau
itu berubah menjadi biji-biji kecil menyerupai kacang hijau.
Lama-lama berwujud seperti rumput dan ganggang. Baru setelah
dianggap kuat, pohon cilik tadi dipindahkan ke pot kecil.
"Tetapi sekali semai, bisa menghasilkan 10 sampai 15 ribu
pohon," ujar Soeyatna.
Istana Hashimoto
Soeyatna SH adalah penyilang yang bergaul dengan anggrek sejak
ia berusia 13 tahun. Dia mulai belajar menyilang pada 1960.
"Tetapi selama ini, saya menyilang untuk sekedar tahu saja,"
ujarnya, "karena waktu untuk itu terbatas." Ia adalah seorang
advokat, sehingga ia juga belum sempat mengirim hasil
penyilangannya ke London.
Sabar dan tekun, itulah resepnya, yang utama. "Coba saja," kata
Soeyatna, "untuk menanti bunga silangan cattleya, diperlukan
waktu 10 tahun. Karena baru setelah waktu tersebut, cattleya
berbunga."
"Ah, tapi ada juga cattleya yang berbunga setelah 3-4 tahun,"
ujar Haji Abdullah, yang mempunyai areal di pusat anggrek Slipi,
Jakarta. Jenis vanda, katanya, bahkan sudah berkembang setelah
2 tahun.
Abdullah, 62 tahun, mulai menyilang sejak 1970, yaitu pada saat
ia meninggalkan profesinya sebagai pengusaha batik. Di Jakarta,
ia kini dikenal sebagai salah seorang pengusaha anggrek yang
sukses. Dia mengaku pernah menyilang sekitar 100 jenis anggrek.
Antara lain, pada 1978 mengawinkan Denrobium Mocbtar Lubis
dengan Denrobium Baninelasiantera. Hasil perkawinan itu oleh
Nyonya Sudharmono (istri Mensesneg Sudharmono SH), kemudian
dinamai D. Pembangunan III. Salah satu hasil penyilangannya
dari jenis vanda yang terkenal ialah Vanda Istana Hashimoto yang
berasal dari Vanda Istana yang berwarna merah dan Vanda Jenny
Hashimoto yang merahnya sedikit pucat.
Seperti Soeyatna, Abdullah juga belum mendaftarkan hasil
silangannya di London.
Khasanah anggrek di dunia ada sekitar 15 sampai 30.000 jenis,
yang digolongkan menjadi sekitar 800 keluarga besar. Kalau
penyilangan terus berlangsung, tentu jumlahnya akan semakin
banyak lagi. Penyilangan yang dilakukan di Indonesia, baru
secara tradisional. Sementara di luar negeri, banyak dilakukan
pembiakan lewat ujung daun (tissue system) dan dari ujung akar
(merristem culture).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini