PENGADILAN ad hoc untuk kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur membuat kejutan dua pekan lalu. Bertugas mengadili kejahatan kemanusiaan di bekas provinsi itu setelah jajak pendapat 1999, para hakim memutuskan Letnan Kolonel Soedjarwo, bekas Komandan Distrik Militer Dili, bersalah.
Soedjarwo adalah pejabat militer Indonesia pertama yang divonis bersalah. Sebelumnya, para hakim cenderung membebaskan terdakwa militer dan menimpakan tanggung jawab kerusuhan berdarah itu kepada warga sipil.
Dibentuk menyusul investigasi Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi di Timor Timur, peradilan itu menghadirkan 19 terdakwa. Hampir semuanya militer-polisi. Hanya dua berasal dari kalangan sipil, dua-duanya dari Timor Timur dan dua-duanya sudah dinyatakan bersalah. Mereka adalah bekas gubernur Abilio J.O. Soares dan Eurico Guterres, wakil panglima milisi sipil prointegrasi, yang didukung Indonesia.
Sebelum vonis Soedjarwo, para hakim membebaskan semua terdakwa militer, yang jumlahnya 12 orang. Itu sebabnya, vonis Soedjarwo ini dinilai merupakan perubahan arah yang penting, yang akan menentukan nasib tiga lagi militer-polisi Indonesia. Ketiganya menduduki posisi penting dan notabene atasan Soedjarwo: Mayor Jenderal Adam Damiri (Panglima Daerah Militer Udayana), Brigadir Jenderal Tono Suratman (Komandan Resor Militer Wiradharma), dan Brigadir Jenderal Noer Muis (Komandan Resor Militer Wiradharma).
Satu orang lagi yang masih menunggu vonis adalah bekas Kepala Kepolisian Resor Dili, Letkol Hulman Goeltom. Dalam persidangan terdahulu, hakim yang diketuai Andi Samsan telah membebaskan atasan Goeltom: bekas Kepala Kepolisian Daerah, Timbul Silaen.
Bagaimanakah nasib peradilan yang tersisa? Bagaimana Soedjarwo diputuskan bersalah? Berikut ini petikan perbincangan Ardi Bramantyo dari TEMPO dengan Ketua Majelis Hakim, Andi Samsan Nganro, akhir pekan lalu.
--------------------------------------------------------------------------------
Apa pertimbangan untuk menghukum Soedjarwo?
Fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan menunjukkan terdakwa tidak melakukan tindakan yang sepatutnya. Dia punya kekuasaan dan kewenangan untuk bertindak mencegah timbulnya tindak kekerasan di kediaman rumah Uskup Belo, pada 6 September 1999, tapi tidak berbuat.
Padahal, sehari sebelumnya terdakwa sudah melakukan hal yang tepat. Menyusul kerusuhan, dia memerintahkan dua peleton pasukan untuk berjaga-jaga di Diosis Dili dan rumah Uskup Belo yang menampung sekitar 5.000 pengungsi. Tapi pasukan itu kemudian dia tarik, sehingga kelompok prointegrasi dengan mudah menyerang, menimbulkan korban jiwa.
Penarikan itu disebutkan atas permintaan Uskup Belo, yang akan menyelenggarakan misa. Tapi majelis hakim meragukan keterangan itu. Apa mungkin dalam suasana mencekam seperi itu Uskup melakukan misa? Dalam berita acara pemeriksaan, Uskup Belo sendiri menyanggah telah meminta pasukan pergi.
Jadi, apa persisnya kesalahan Soedjarwo?
Terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang berhubungan dengan kegagalan, kelalaian mencegah terjadinya pelanggaran berat hak asasi manusia. Dia memang bukan pelaku langsung. Tetapi majelis hakim memakai pendekatan doktrin dan praktek peradilan internasional bahwa sikap pasif pun dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar.
Ini bisa dikategorikan sebagai pembiaran?
Ya, delik omisionis. Undang-undang kita tidak menyebut istilah pembiaran, meski itu dikenal dalam praktek peradilan internasional. Kita menggunakan istilah delik omisionis, delik kegagalan bertindak atau kelalaian bertindak.
Tapi, bukankah Soedjarwo juga hanya bawahan, dia terikat perintah atasan?
Nah, nanti perlu dilihat dalam peradilan Noer Muis (brigjen, bekas Komandan Korem), atasan Soedjarwo waktu itu. Logikanya, dia tak hanya mendengar dari bawah, tapi juga berkoordinasi ke atas. Kenapa pasukan ditarik? Apakah atasan Soedjarwo sudah memberikan perintah yang tepat? Kita belum tahu.
Memang menarik perkara ini. Sampai sejauh mana tanggung jawab Noer Muis? Kenapa dia tidak bisa mencegah? Kita belum tahu. Yang jelas, kita tidak mendengar Noer Muis sebagai saksi dalam perkara Soedjarwo. Di berita acara juga tidak ada. Perkara Noer Muis akan diadili oleh majelis hakim lain secara terpisah. Kita lihat saja nanti perkembangannya.
Tapi, kalau Soedjarwo bebas, bisa diperkirakan para atasannya pun akan....
Apakah unsur pembunuhan yang luas dan sistematis terbukti?
Terbukti. Dari fakta di persidangan disebutkan ada kurang lebih 5.000 orang pengungsi yang berlindung di Diosis Dili dan kediaman Uskup Belo. Mereka diserang oleh kelompok prointegrasi sehingga menimbulkan banyak korban meninggal dan luka-luka.
Dalam perkara Timbul Silaen, mantan Kapolda Timor Timur, kenapa Anda memutuskan bebas?
Tetap terbukti terjadi pelanggaran hak asasi manusia dalam perkara itu, tapi Timbul Silaen tidak bisa dipertanggungjawabkan secara pidana telah melakukan pelanggaran itu. Sebagai atasan dia sudah mengendalikan, menggerakkan anak buahnya untuk mencegah.
Juga tidak cukup bukti di persidangan yang bisa menyatakan ada anggota polisi terlibat. Situasi kala itu sudah luar biasa mencekam sehingga polisi dianggap sudah tidak mampu melaksanakan tugas hukum. Polisi sudah beralih tugas mengamankan dan membantu pengungsi yang sudah panik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini