Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Salah Vonis, Koreksinya Susah

Mirip Sengkon dan Karta, dia disiksa untuk mengakui pembunuhan yang tidak dilakukannya 15 tahun lalu. Tapi hukum terlalu lama bisu melihat nasibnya.

6 Januari 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABDULLAH bin Andah tidak pernah menyaksikan anaknya, Nasrul Hadi, tumbuh jadi remaja. Pria asal Aceh itu ditangkap polisi ketika anaknya baru berumur dua tahun. Hakim lalu memenjarakannya seumur hidup untuk perkara pembunuhan yang tak pernah dilakukannya. Semua upaya hukum untuk membersihkan namanya pernah ditempuh. Semuanya buntu. "Saya tinggal menunggu keajaiban dari tangan Allah," katanya. Kisah Abdullah mengingatkan orang pada kasus Sengkon dan Karta 26 tahun silam?sebuah kasus pengadilan sesat yang legendaris di Indonesia. Dua orang itu dipenjarakan karena dakwaan membunuh, tapi bertahun kemudian diketahui dakwaan itu palsu; pembunuh sebenarnya mengaku. Mereka dibebaskan setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjauan kembali terhadap kasusnya. Tapi nasib Abdullah bahkan lebih buruk dari Sengkon dan Karta. Meski saksi kunci telah membersihkan namanya, Abdullah dikalahkan oleh lapis demi lapis pengadilan: banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Nasibnya bahkan lebih buruk dari si saksi kunci, yang mengaku membunuh tapi kini justru telah memperoleh pembebasan bersyarat. Hingga pekan lalu Abdullah masih tetap mendekam di Penjara Tanjung Gusta, Medan, yang telah merampas sepertiga dari umurnya. Abdullah, kini 42 tahun, ditangkap menyusul sebuah drama penculikan dan pembunuhan atas seorang gadis cilik pada 1988. Heriana Syuhada, nama gadis itu, menghilang dari rumahnya di Desa Geudong, Kecamatan Samudera, Aceh Utara. Nurdin Ahmad, ayah Heriana, yang paling kaya sedesa karena punya kilang penggiling beras, menerima surat tuntutan uang tebusan dari penculik yang belakangan diketahui bernama Syaiful Bahri. Tapi, belum surat itu ditanggapi, mayat Heriana ditemukan mengapung di Sungai Geudong dua hari setelah diculik. Syaiful ditangkap polisi saat mau kabur ke Malaysia. Dalam berita acara pemeriksaan polisi, Syaiful mengaku bekerja sama dengan Syukri, preman asal Pusong, Lhokseumawe, yang dikenalnya. Namun Syukri berhasil lari ke Malaysia. "Saya mau ikut dengannya, tapi dia bilang jangan, "kata Syaiful bertahun kemudian. "Alasannya, kalau saya ikut menghilang, polisi akan semakin curiga." Polisi, menurut Syaiful, tidak percaya pada pengakuannya. Polisi yakin ada pembunuh lain yang membantu Syaiful, yang waktu itu berusia 18 tahun dan masih duduk di bangku sekolah menengah ekonomi atas. Mengaku tidak tahan oleh siksaan polisi, Syaiful menyebut nama Abdullah bin Andah, seorang pria yang tinggal di desa tetangga dan menjadi kernet truk milik ayah Syaiful. "Dia orang yang paling dekat dan mungkin bisa diminta pengertiannya," kata Syaiful. "Padahal dia sama sekali tak terlibat." Dua hari kemudian Abdullah digaruk di rumahnya pukul dua pagi. "Saat itu saya baru beberapa jam saja pulang, setelah bersama ayah Syaiful membawa truk dari Langsa," kata Abdullah. Di kantor polisi, dia diperiksa selama 24 jam tanpa henti dan dipaksa mengaku ikut membunuh Heriana. Abdullah menolak. Tapi pria buta huruf ini akhirnya membubuhkan cap jempol tangannya dalam berita acara pemeriksaan yang mengakui keterlibatannya. "Saya disiksa sampai tulang rusuk patah, gendang telinga pecah, dan sekujur tubuh luka," katanya. Syaiful dan Abdullah diadili secara terpisah di Pengadilan Negeri Lhokseumawe. Ketika Syaiful diadili, Abdullah menjadi saksi, dan sebaliknya. Dalam ruang sidang, Syaiful memberikan kesaksian yang menguntungkan Abdullah, menolak keterlibatannya dalam penculikan dan pembunuhan. Namun majelis hakim lebih percaya pada yang tertulis dalam berita acara polisi. "Berkas perkara tidak dibaca lagi pada saat sidang Bang Abdullah," kata Syaiful. "Hakim cuma memperlihatkan foto-foto hasil rekonstruksi saya. Dan karena Bang Abdullah menjawab tahu ketika hakim bertanya tentang foto itu, dia dianggap bersama saya saat kejadian." "Suami saya itu bodoh, tidak sekolah," kata Asmani, istri Abdullah. "Dia tidak mengerti pertanyaan hakim. Ketika bilang tahu, yang dia maksud adalah tahu itu dilakukan Syaiful." Hakim memvonis hukuman penjara seumur hidup, baik untuk Syaiful maupun Abdullah. Pengacara keduanya menyatakan banding. "Tapi memori banding ditolak Pengadilan Tinggi Banda Aceh dengan alasan terlambat," kata Syaiful. "Padahal sudah kami usulkan jauh sebelum masanya berakhir." Tak puas, Abdullah menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung, tapi lembaga hukum tertinggi itu hanya mengukuhkan putusan penjara seumur hidup. Merasa tak punya salah, Abdullah kembali memohon peninjauan kembali. Tapi Mahkamah Agung menolaknya. Setelah menjalani 10 tahun penjara, Syaiful dibebaskan karena sudah memenuhi ketentuan untuk bebas bersyarat. Ketika dibebaskan itulah Syaiful membuat surat pernyataan di hadapan kepala penjara bahwa Abdullah benar-benar tidak terlibat. Dengan bantuan Timzar Zubil, tahanan politik yang pernah mendekam di Penjara Tanjung Gusta bersamanya, Abdullah mencoba mengajukan lagi permohonan peninjauan kembali, dilengkapi pernyataan Syaiful tadi. Tapi soal inilah yang kini masih diperdebatkan oleh para pakar hukum. Sebelum tewas dibunuh kaki tangan Tommy Soeharto, Hakim Agung M. Syafiuddin Kartasasmita pernah menyatakan Abdullah bisa mengajukan peninjauan kembali untuk kasusnya. Pernyataan itu didukung Moegihardjo, Kepala Direktorat Pidana Mahkamah Agung. Tapi belakangan Moegihardjo menarik kebijakannya, dengan dalih seseorang tak bisa dua kali mengajukan peninjauan kembali. Moegihardjo menyarankan pengakuan Syaiful itu dilaporkan ke kejaksaan. Menurut dia, peninjauan kembali untuk kedua kalinya hanya bisa dilakukan oleh kejaksaan. Langkah itu pernah ditempuh dalam kasus Mochtar Pakpahan, Ketua Serikat Buruh Solidaritas Indonesia, yang diadili beberapa tahun lalu. Tapi, bahkan dalam kasus Mochtar, perdebatan seru sempat muncul. Luhut M. Pangaribuan, Ketua Majelis Nasional Perhimpunan Bantuan Hak Asasi Manusia Indonesia, mengatakan peninjauan kembali hanya bisa diajukan sekali, tak peduli oleh terpidana atau oleh kejaksaan. Selaras dengan itu, menurut Luhut, kasus Abdullah tak lagi bisa diperjuangkan lewat jalan hukum. "Kapasitas hukum kita sudah tak bisa menampung lagi kasus seperti itu," ujarnya. Bukan berarti Abdullah tertutup sama sekali dari kemungkinan menghirup udara bebas. Menurut Luhut, Abdullah bisa membujuk Presiden Megawati Soekarnoputri untuk mempertimbangkan pembebasannya. "Presiden bisa melakukan intervensi hukum, lewat haknya memberikan grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi," katanya. Namun Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan justru punya terobosan lain. "Abdullah harus dibebaskan tanpa proses pengadilan lagi," katanya kepada Rommy Fibri dari TEMPO pekan lalu. Bagir sepakat dengan saran Moegihardjo, agar surat pengakuan Syaiful dibawa ke kejaksaan untuk diproses. "Kami minta kejaksaan mengajukan secara resmi kepada pengadilan agar orang itu dibebaskan," kata Bagir. "Tanpa perlu ada peninjauan kembali lagi." Sampai akhir pekan lalu Abdullah masih meringkuk dalam sel Penjara Tanjung Gusta, yang telah merampas kebahagiaan untuk bisa membesarkan anaknya. Dia tak lagi berharap pada proses hukum, yang cuma bisa diperdebatkan dan selama ini cenderung berpihak pada orang berduit lagi berkuasa. Ahmad Taufik, Bambang Soedjiartono (Medan), dan Zainal Bakri (Lhokseumawe)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus