RASANYA tidak mungkin terjadi. Tapi itulah yang terjadi: seorang hakim yang menjabat ketua pengadilan di Malang, Ruwiyanto, tiba-tiba saja dikabarkan buron. Ia menghilang dari kota dan juga dari tempat tugasnya yang baru sebagai hakim tinggi di Surabaya. Selain dari membawa uang titipan perkara di pengadilan yang dipimpinnya, ia juga dikabarkan membawa lari barang bukti berupa emas sebanyak 12 kg, berikut segepok utang dari banyak pihak yang semuanya bernilai ratusan juta rupiah. Para petinggi hukum, konon, sibuk akibat ulah hakim itu. Sebab itu pula, menurut sumber TEMPO dan juga seperti ditulis Pikiran Rakyat, Mahkamah Agung mengirimkan surat edaran kepada pengadilan-pengadilan tinggi di seluruh Indonesia untuk memberitahukan di mana Ruwiyanto berada. Menteri Kehakiman Ismail Saleh, yang terkenal galak untuk soal-soal begini, langsung meminta bantuan kejaksaan untuk ikut mencari dan sekaligus mengusut agar kasus itu diteruskan ke pengadilan. Bahkan pihak polisi pun, kabarnya, diminta mencari. Tapi keributan petinggi hukum, yang dimulai akhir bulan lalu itu, kini mereda. Sebab, ternyata, Ruwiyanto tidak pergi jauh-jauh: ia berada di rumah pribadinya di kawasan Roxi di Jakarta. "Ia sebenarnya tidak lari -- tapi ada di Jakarta, di rumahnya. Karena itu, ia dipanggil dan diperiksa kejaksaan di sini dengan tuduhan korupsi," ujar Jaksa Agung Muda bidang Pidana Khusus, Himawan, yang diserahi tanggung jawab mengusut kasus itu. Namun, menurut Himawan, Kejaksaan Agung baru diminta mengusut salah satu kasus: lenyapnya titipan uang Rp 36 juta dalam perkara jual-beli tanah Universitas Brawijaya di Malang. Berapa waktu lalu Universitas Brawijaya merencanakan membangun gedung baru. Sebab itu, pihak perguruan tinggi membeli sebidang tanah milik lima orang di kota itu. Jual beli itu, yang semula lancar, belakangan sedikit kisruh karena ada salah seorang pemilik tanah yang tidak setuju dan akhirnya menuntut ke pengadilan. Sambil menunggu penyelesaian, uang jual beli itu sementara dititipkan di Pengadilan Negeri Malang, yang lazim disebut sebagai "uang konsinyasi. Ternyata, sengketa itu tidak berlanjut. Pihak yang tidak setuju dengan jual-beli tadi akhirnya bisa menerima kesepakatan empat pemilik tanah yang lain dan sengketa diselesaikan secara damai. Tentu saja, uang yang semula dititipkan ke pengadilan harus diambil untuk dibagi lima. Tapi apa lacur? "Uang ini sudah tidak ada di tempatnya -- sudah dibawa lari ketua pengadilan yang waktu itu dijabat Ruwiyanto," kata seorang pejabat Kejaksaan Agung, anggota tim dalam kasus Ruwiyanto itu. Hanya itu sajakah kasus Ruwiyanto dan bagaimana dengan titipan serta barang bukti lain? "Wah, yang lainnya itu kami tidak tahu, sebab yang kami terima dari Departemen Kehakiman baru kasus itu. Tanya saja pada Irjen Kehakiman," kata pejabat tadi. Irjen Kehakiman, Singgih, juga hanya menyebutkan soal uang titipan Universitas Brawijaya itu yang menjadi urusannya. Ruwiyanto, kata Irjen, mungkin akan dibebastugaskan dari jabatan hakim. Untuk sementara, katanya lagi, bendaharawan Pengadilan Negeri Malang juga dicopot dari Jabatannya. "Tentang persoalan pidananya, silakan tanya Kejaksaan Agung," Singgih menambahkan. Berbeda dengan keterangan resmi itu, beberapa pejabat penegak hukum menyatakan kepada TEMPO, bukan hanya soal uang Universitas Brawijaya itu yang menyebabkan Ruwiyanto diperiksa Kejaksaan Agung. Tapi juga menyangkut barang-barang bukti lain dan utang pribadi ke berbagai pihak di kota itu dan Jakarta. Seorang istri bekas petinggi hukum bahkan menyebutkan bahwa yang menjadi korban bukan hanya para pencari keadilan, tapi juga istri para hakim, termasuk istri hakim-hakim agung yang dipinjam uangnya oleh istri Ruwiyanto dan sampai kini tidak dibayar. "Saya sendiri kena Rp 5 juta," kata istri bekas atasan Ruwiyanto itu. Di Malang, selain kasus Universitas Brawijaya, Ruwiyanto disebut-sebut pula telah berbuat tidak senonoh dalam kasus sengketa 12 kg emas. Dalam kasus itu ia dikabarkan menerima suap dari pihak yang beperkara dan bahkan dihebohkan membawa lari barang buktinya. Kasus itu bermula dari jual beli emas antara Sugianto alias Siong An dan Sulianto alias Swie Ling sebanyak 12 kg emas dengan harga, waktu itu, Rp 76 juta. Tapi, menurut pihak Sugianto, jual beli melalui telepon itu -- karena kedua pihak kenal baik -- tidak beres karena Sulianto tidak menyerahkan emasnya walau telah menerima uang. Sebab itu, Sugianto mengadu ke polisi. Tapi perkara itu sempat macet di tangan jaksa dan polisi selama dua tahun. Setelah sampai di pengadilan pun sidang tertundatunda. Barulah, ketika Sugianto memenuhi permintaan wakil ketua pengadilan sebesar Rp 1,5 juta, perkara bisa jalan. Dan jaksa menuntut Sulianto, yang dituduh menggelapkan, dengan hukuman 1 1/2 tahun penjara. Sementara perkara pidana berjalan, di pengadilan yang sama Sugianto menggugat pula lawannya di sidang perdata. Ternyata, Sulianto dibebaskan pengadilan. Di perkara perdata pun Sulianto menang. Pengadilan tinggi bahkan membenarkan keputusan pengadilan bawahannya itu. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya menegaskan bahwa dalam kasus itu tidak terbukti pernah ada transaksi jual beli antara Sugianto dan Sulianto. Perkara mereka sampai kini masih diurus Mahkamah Agung. Isu suap baru meledak keluar, konon, setelah Sugianto dipanggil oleh Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Malang, Maryono, untuk menerima kembali uang suapnya Rp 1,5 juta. "Maaf, uang ini terpaksa kami kembalikan, karena Pak Ruwiyanto sudah menerima Rp 20 juta dari Sulianto," kira-kira beitulah penjelasan Maryono -- yang agak tidak masuk akal -- seperti diceritakan Pengacara Pieter Talaway, yang membela Sugianto. Bahkan pada kesempatan itu pula Maryono menyebut bahwa yang.memberikan uang dari pihak Sulianto adalah Tony, keluarganya, yang dalam perkara itu menjadi saksi meringankan. "Klien saya tidak menuduh suap -- tapi itulah faktanya sebagai suatu petunjuk," ujar Pieter. Sugianto sendiri, ketika dihubungi, kelihatan hati-hati berbicara, "Saya tidak mau berkomentar." Sementara itu, Tony, yang disebut-sebut dalam kasus itu, mengaku kenal Ruwiyanto di rumah sakit, ketika istri hakim itu pada 1983 mengalami kecelakaan lalu lintas. Tony membenarkan bahwa Ruwiyanto meminjam uang Rp 2,5 juta untuk biaya mengobati istrinya. Menurut Tony pula, beberapa hari kemudian Ruwiyanto meneleponnya, minta tambahan. Bahkan, menurut pedagang emas ini, belakangan ia tahu bahwa Ruwiyanto banyak meminjam uang dari pedagangpedagang lainnya, yang umumnya sedang tersangkut perkara, di Kota Malang. "Semua pinjaman itu ada tanda terimanya," kata Tony kepada M. Baharun dari TEMPO. Hanya saja belakangan, Tony menyatakan bahwa Ruwiyanto telah membayar kembali pinjaman kepadanya sebesar Rp 20 juta. Masih ada cerita lain. Sebuah sumber menyebutkan bahwa hakim tersebut, yang mengurus persatuan tenis di kota itu, memakai uang organisasinya jutaan rupiah. Sementara itu, seorang pengacara yang tidak bersedia disebut namanya menceritakan kliennya pernah dirugikan Ruwiyanto sebanyak Rp 6,5 juta, gara-gara uang titipannya di Pengadilan Negeri Malang itu dinyatakan hilang. "Sampai kini tidak ada penyelesaian mengenai uang itu," katanya. Ruwiyanto memang tampak bertindak seperti kepalang basah -- kalau semua tuduhan itu benar. Ketika berbagai kasusnya terbongkar, dan ia dipindahkan ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur di Surabaya, ia memboyong keluarganya ke sebuah hotel mewah di tempat peristirahatan di Tretes. Di situ pula, kabarnya, ia diperiksa petugas dari Irjen Departemen Kehakiman. Tapi, tanpa setahu siapa pun, tiba-tiba ia menghilang bersama keluarganya. Bahkan rekening hotel sebanyak Rp 3,5 juta pun, menurut sumber TEMPO, tidak sempat dibayarnya. Hilangnya Ruwiyanto itulah yang membuat geger para penegak hukum. Sebab, belum pernah terjadi dalam kasus peradilan di Indonesia ada hakim yang sampai menjadi buron. Untunglah, tidak lama kemudian ketahuan ia ada di rumahnya di Jakarta, kendati sudah sempat dinyatakan "dicari". Tapi, selain semua persoalannya belum terusut tuntas, juga belum Jelas kenapa ia sampai nekat bertindak seperti yang dituduhkan. Sebuah sumber di Malang menyebutkan bahwa kecurangan Ruwiyanto itu terjadi setelah istrinya kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan empat penumpang mobilnya tewas dan ia sendiri luka parah. Konon waktu itu, sang istri kehilangan berlian milik bandar arisan call, bernilai ratusan juta. Untuk mengganti berlian yang hilang itulah Ruwiyanto dituduh terpaksa "nyabet" uang kanan kiri. Seorang sumber lain di daerah itu malah menyebut istri Ruwiyanto kecanduan judi. Hampir sama dengan cerita itu, seorang pejabat tinggi suatu instansi hukum di Jakarta membenarkan, istri Ruwiyanto mulai berubah setelah mengalami kecelakaan itu: suka bertingkah keterlaluan yang menyimpang dari kebiasaannya. Misalnya, suka makan di tempat mewah, dan utang ke sana kemari. "Mungkin karena itu Ruwiyanto terpengaruh," kata pejabat itu. Seorang istri bekas petinggi bahkan menyatakan bahwa kelakuan Nyonya Ruwiyanto sudah bermula sejak suaminya masih menjadi hakim di Jakarta Pusat -- tak ada hubungannya dengan kecelakaan. Suatu hari sekitar Februari 1984, katanya, istri Ruwiyanto datang ke rumahnya dan ikut membantu istri atasannya itu menyiapkan makanan untuk tamu-tamu yang hadir di rumah itu. Tapi Nyonya Ruwiyanto rupanya punya maksud lain: pinjam uang. Alasannya terdesak bisnis barang porselen yang gagal. Janjinya akan dikembahkan pada bulan berikutnya. Tapi, ternyata, utang sebesar Rp 5 juta itu tidak pernah dibayar -- bahkan sampai Ruwiyanto pindah ke Malang. "Berkali-kali saya telepon ke Malang, tapi selalu dijawab belum punya," kata Nyonya tadi. Pernah disusul ke Malang, tapi juga tak berhasil. Belakangan barulah diketahui bahwa istri-istri hakim agung lainnya juga menjadi korban Nyonya Ruwiyanto. Dan, lucunya, alasan yang dikemukakan istri Ruwiyanto kepada istri-istri atasannya itu sama: ada kesulitan dalam bisnis porselen. Semuanya itu, kata sumber tadi, mungkin karena Nyonya Ruwiyanto -- konon putri tunggal orang kaya -- memang dari dulu suka bermewah-mewah. "Masa istri pegawai negeri selalu pulang pergi Jakarta -- Malang pakai pesawat terbang. Sekarang ini saya kasihan sama Pak Ruwiyanto dan saya sudah merelakan uang saya yang dipinjamnya itu," kata Nyonya tadi. Cerita tentang Nyonya Ruwiyanto memang belum dibuktikan di sidang -- dan mungkin tidak perlu dibuktikan. Tapi Ruwiyanto pernah tersangkut kasus bcsar untung selamat. Begini kisahnya. Paul Handoko, 1979, semula diajukan Jaksa Tumilaar ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan tuduhan korupsi Rp 427 juta. Direktur PT Kencana Murni Utama itu, sebagai penyalur kendaraan bermotor bekas pakai kedutaan besar asing dan lembaga internasional, menurut Jaksa, membeli dan menjual 98 mobil eks CD dan CC tanpa melunasi kewajibannya membayar pajak. Sebab itu, Paul Handoko dituntut hukunm 11 tahun penjara dan denda Rp 20 juta. Tapi itulah, majelis hakim yang diketuai Ruwiyanto tidak sependapat dengan tuduhan itu, dan membebaskan pengusaha muda tersebut. Paul Handoko dinyatakan tak terbukti menjadi kaya oleh usahanya: Dia toh masih menumpang di rumah keluarga dan hanya memiliki sebuah mobil . . . BMW. Tentang piutang negara, bagi Ruwiyanto, gampang saja: silakan tagih. Tentu saja putusan itu mengembirakan Paul Handoko, yang menurut pengamatan Jaksa Tumilaar, ketika itu seperti sudah tahu vonis hakim sebelum dibacakan. Menurut jaksa itu, pagi-pagi Paul Handoko masuk ke pengadilan, dengan senyum terkembang dan lambaian tangan kepadanya. Bahkan, ketika hakim membacakan vonis, ia terlihat acuh tak acuh. Dan, entah dari mana mulanya, ketika itu pula tersiar kabar Paul Handoko menyuap hakim Rp 30 juta. Kabar itu sempat membikin Ruwiyanto tidak masuk kantor selama beberapa hari. Bahkan ia urung mengadili perkara mahasiswa yang semula ditugaskan kepadanya. Tapi Tim Irjen Depkeh, yang kemudian mengusut kasus itu, memastikan ia tidak bersalah. Menteri Kehakiman Mudjono belakangan bahkan mengumumkan sendiri vonis Ruwiyanto terhadap Paul Handoko "bersih". Adakah nasibnya akan sebaik seperti 7 tahun lalu itu? Menurut Wakil Ketua Mahkamah Agung Purwoto, pihaknya sampai kini belum mendapat laporan hasil pengusutan kejaksaan, sejak Ruwiyanto menyerahkan diri. Ia juga belum bisa memastikan apakah kasus itu akan terus ke pengadilan atau tidak. "Tergantung penyidikan, kata Purwoto. Sudah tentu. Tapi penyidikan oleh Kejaksaan Agung ternyata tersendat-sendat. Seorang anggota penyldik menceritakan kesulitannya mengusut Ruwiyanto. "Ia sudah datang dua kali, tapi selama dua minggu ini sudah dua panggilan kami tidak dipenuhinya dengan alasan sakit. Tapi, setelah kami cek ke rumahnya, ternyata ia tidak ada di tempat." Ruwiyanto tak banyak mengomentari semua tuduhan itu (lihat Sampai Saatnya Tiba): "Lebih baik saya diam . . ." Diam itu emas atau loyang, hasil pengusutan nanti yang akan menentukan. Karni Ilyas, Laporan Biro Jakarta & Surabaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini