Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

"Senang" dahulu sakit kemudian

Di Indonesia pembajak belum dianggap pelanggaran berat. tujuan untuk alih teknologi dengan mengundang modal asing dapat dicapai dengan uu paten. setelah 10 th modal asing beroperasi uu paten belum terbentuk.

27 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYANYI Bob Geldof, yang mengorganisasikan konser Live Aid untuk membantu orang-orang hitam yang kelaparan di Etiopia, boleh saja mengutuk Indonesia sebagai sarang pembajak. Begitu pula pengusaha rekaman di Inggris, atau Amerika Serikat, yang merasa kecolongan setelah menemukan kaset-kaset produksi mereka dibajak Indonesia. Siapa yang peduli? Bahkan juga tidak ada yang peduli ketika Dubes Paul Wolfowitz serta Senator Richard Lugar yang mengimbau pemerintah kita melindungi hak cipta, paten, merk, dan segala macam hak intelektual mereka, yang dikenal sebagai intellectual property rights. Tidak pula ada yang perlu dirisaukan ketika Wolfowitz menyebutkan Indonesia menjadi sorotan internasional akibat tidak kunjung lahirnya undang-undang hak paten. Peduli amat memang. Kecuali, tentunya, pengusaha rekaman Anthony Darmawan Setiono, yang terpaksa berurusan dengan peradilan New York, karena tertangkap ketika memasarkan kaset bajakan ke AS. Malah tidak banyak yang tersinggung ketika pemerintah Amerika menyebut-nyebut Anthony bekerja sama dengan diplomat Indonesia dalam memasarkan kaset bajakan itu. Kita memang sudah terbiasa dengan kasus pembajakan -- yang entah dari mana istilah itu berasal. Dan kita juga terbiasa untuk tidak menghargai hak orang lain. Berpuluh-puluh tahun lamanya produksi kaset di sini menjerit tentang produksinya dibajak, kendati di antara mereka ada pula yang membajak lagu asing. Kini soal pembajakan diteriakkan pula oleh pengusaha rekaman kaset video. Penerbit buku apalagi. Hampir semua buku laris menjadi korban bajakan. Penerbit Pustaka Grafitipers, misalnya bisa bcrcerita panjang lebar tentang kekesalan mereka akibat dibajaknya buku terlaris tahun ini, Mati Ketawa Cara Rusia, tanpa tahu ke mana harus mengadu. Pembajakan memang belum menjadi soal benar bagi penegak hukum, ketimbang, misalnya, soal perzinaan. Secara moral, pembajakan pun belum dianggap pelanggaran berat. Kendati kita sudah memiliki undang-undang hak cipta (1982), dan ikut mendirikan World Intellectual Property Organization, (WIPO), pada 1967, toh pembajakan, khususnya hak cipta asing, masih dianggap halal. Alasannya, kita telah keluar dari perjanjian internasional yang melindungi hak cipta (Konvensi Bern) pada 1958. Konon, keluarnya Indonesia dari perjanjian itu dimaksudkan agar kita bisa menimba ilmu dan pengetahuan dunia luar tanpa repot-repot harus membayar royalti kepada pemegang hak ciptanya. Sebenarnya kita bukan hanya mencabut diri dari Konvensi Bern tapi juga dari Konvensi Paris (1883), yang melindungi penemuan di bidang industri (industrial property right). Maka, bukan hanya di bidang hak cipta (copy right), yang meliputi penerbitan buku, musik, foto, atau pekerjaan-pekerjaan seni lainya kita menghalalkan pembajakan. Tapi, juga di bidang hak-hak industri (industrial property right), yang meliputi penemuan baru di bidang industri (hak paten), merk dagang, desain, termasuk juga penemuan di bidang industri jasa, dan segala macam hak industri lainnya. Singkatnya, segala macam intellectual property right, yang, konon, di Barat sudah dihargai sejak zaman Yunani dan Romawi pada Abad Pertengahan, tidak kita pedulikan, dan boleh dibajak. Apa hasilnya bagi kita? Kecuali pembajakan kaset, dan sedikit buku, hampir tidak ada hak intelektual berharga yang dapat kita curi. Berbeda dengan negara-negara Asia lainnya, seperti Taiwan, Korea Selatan, yang berhasil menyadap teknologi tinggi, dengan sedikit menutup mata terhadap hak-hak intelektual itu. Kebebasan yang diberikan pemerintah kepada pembajak hanya memperkaya segelintir pedagang kaset, pedagang buku, dan pengusaha video. Celakanya ketika negara-negara Asia lainnya, termasuk Muangthai, mulai mengakui hak-hak intelektual orang lain, kita tertinggal. Sebab itu, tidak mengejutkan kalau akhir-akhir ini sorotan negara-negara maju diarahkan ke Indonesia. Sebenarnya, Bob Geldof tidak perlu mengutuk kita. Dubes Wolfowitz dan Senator Lugar juga tidak perlu cemas teknologi mereka akan dirampok. Justru dengan tidak adanya perlindungan terhadap intellectual property rights, yang paling dirugikan adalah bangsa kita sendiri. Alih teknologi yang didambakan, tanpa perlindungan terhadap hak paten, adalah sia-sia. Kebijaksanaan pemerintah mengundang modal asing masuk, salah satu tujuannya adalah alih teknologi. Tujuan itu hanya bisa dicapai dengan suatu undang-undang paten di tempat perusahaan multinasional itu menanamkan modal. Sebab, dengan undang-undang paten dan undang-undang alih teknologi (undang-undang alih teknologi baru relevan apabila sudah ada undang-undang paten) sebuah perusahaan penanam modal bisa diharuskan mendaftarkan semua kelebihan teknologinya ke pemerintah. Dalam pendaftaran itu si pemilik paten wajib mengungkapkan keseluruhan penemuannya, teknologi, keahlian, berikut metode yang mereka gunakan. Sebagai imbalannya, pemilik paten boleh memonopoli haknya untuk jangka waktu tertentu. Ketentuan jangka itu di setiap negara berbeda-beda -- berkisar antara 10 dan 25 tahun. Muangthai, misalnya, memberikan jangka waktu 15 tahun. Pemilik paten, dengan undang-undang hak paten itu, juga merasa diuntungkan. Sebab, selama jangka tertentu itu ia dapat memonopoli haknya, dan bisa menuntut penjiplak paten itu. Tapi, setelah jangka yang ditetapkan berakhir, maka paten tadi otomatis berubah menjadi milik umum (public domain). Dengan cara legal seperti itu Jepang, misalnya, bisa mengambil alih teknologi Barat sejak mereka melakukan politik pintu terbuka, khususnya setelah Perang Dunia II. Dengan modal itu, Jepang mengembangkan teknologinya. Dengan undang-undang paten sebuah perusahaan multinasional diharapkan bersedia menyisakan sebagian dananya untuk bagian pengembangan dan riset. Sebab, seandainya mereka menemukan suatu penemuan baru, mereka bisa menikmati hasilnya untuk jangka waktu tertentu tanpa khawatir dibajak. Dan, dengan perangkat hukum itu pula, kita bisa mengharapkan para ilmuwan kita berlomba-lomba mengembangkan ilmunya untuk mendapatkan penemuan baru. Tanpa undang-undang paten, siapa yang mau bersusah payah menghabiskan dana dan tenaga hanya untuk memberi peluang orang lain membajak karya mereka? Tapi, itulah, dan entah kenapa, sctelah lebih dari 10 tahun modal asing beroperasi, toh kita belum melahirkan undang-undang paten. Rencana untuk itu sudah pernah terdengar, bahkan penyusun rancangannya pun sudah ditunjuk. Tapi, RUU-nya entah menyangkut di mana. Bukan tidak mungkin, setelah kontrak penanam modal asing berakhir, sekitar tahun 2000, anak cucu kita terpaksa mengundang kembali modal asing, hanya untuk memulai alih teknologi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus