MASYARAKAT Bugis -- Makassar mempunyai tidak kurang dari 12 macam ketupat. Apakah mengherankan jika di sana banyak hal dianyam, mulai dari bermacam kemasan dan wadah, hingga bermacam barang lambang yang hanya para raja serta keturunannya boleh mamakainya dalam bermacam upacara? Dalam masyarakat Sumba tradisional, salah satu sebutan untuk Tuhan adalah "Sang Penenung". Dalam pikiran Sumba, ia telah menenun manusia. Kita maklum, mengingat tingginya penghargaan orang kepada tenunan, serta penting dan luasnya peran kain tenun, sebagai barang pakai dan ungkapan sosial, dalam masyarakat Sumba tradisional. Kain bergambar memang merupakan ungkapan pentmg dan sangat dihargakan, nyaris di mana-mana. Gerakan seni rupa modern kita -- yang kota dan kelas menengah itu -- tidak cepat tanggap akan kenyataan itu. Modernismenya, khususnya pada tahap aral dan pada kebanyakan perupa, telah menjangkitkan rabun dekat: melihat tradisi bangsa sendiri hanya dengan samar-samar. Lahir dari kandungan penjajahan dan kontak kebudayaan, gerakan seni rupa modern di tanah air kita dengan bersemangat merengkuh gagasan-gagasan Barat dan sejarah seni Eropa. Gagasan tentang keutamaan seni lukis (dipandang sebagai induk seluruh seni rupa), gagasan tentang rendahnya kria (craft), tentang asas individualisme dalam seni, dianggap sahih secara universal. Dalam pada itu, lambannya komunikasi menyebabkan perubahan dalam seni dan estetika Barat, terutama yang mutakhir, tertangkap hanya sayup-sayup dan ditanggapi dengan keraguan. Tidak heran jika baru pada 1972 terdapat studio tekstil dalam lembaga pendidikan tinggi seni rupa kita. Ini pun karena gemuruhnya pertumbuhan industri tekstil modern. Tekstil diajarkan dan dipelajari dalam rangka industri bukan dalam rangka "seni murni". Dalam kurikulum sekarang pendidikan tekstil masuk dalam jurusan "desain". Tak urung dalam berkarya beberapa pengajar melanggar garis demarkasi yang mereka tarik dalam pengajaran. Peserta pameran "Estetika dalam Serat" di Erasmus Huis Jakarta (17-27 September), Biranul Anas, Hasanudin, dan Ratna Panggabean Judiharto, ketiganya bekerja sebagai anggota staf pengajar tekstil di Jurusan Desain Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Satu lagi, Doddie Permana, tamatan jurusan itu, berwiraswasta sebagai pendesain tekstil. Keberangkatan dari desain itu nyata kelihatan dalam pameran ini. Sifat menahan diri (atau tertahan?) terhadap penjajakan berbagai kemungkinan teknik dan rupa -- yang berhubungan dengan jenis bahan, struktur bakal (jalinan, anyaman, dan lain-lain), penggarapan permukaan, gubahan tekstil dalam ruang trimatra (berhubungan dengan struktur gantungan, sampiran, dan sangkutan) mencolok mata kita dalam melihat karya Ratna, Doddie, dan Hasanudin. Keberaturan, pengulangan motif atau unsur motif, perhatian yang terpusat pada gambar di permukaan kain, menjadi ciri yang kuat. Itulah yang memberi kesan kain biasa-biasa saja, lazim saja. Hanyalah mereka yang berurusan dengan pembuatan gambar pada permukaan kain dapat menghargai bermacam percobaan dan penemuan Doddie. Pengelompokan lembaran kain di tengah ruangan niscaya bisa memberi pengalaman yang menarik, seandainya ia merancangnya dari awal. Nomor yang disertakannya pada setiap kain, dan daftar karyanya, menunjukkan bahwa ia memaksudkan kainnya untuk dilihat satu-satu. Pengelompokan dadakan yang terjadi dalam ruang pameran, karena sederhananya, tidak banyak berarti. Hasanudin memilih sikap sebagai pembatik -- dan pembatik yang lazim. Ia membuat kaligrafi (Al Fatihah dan Al Ikhlas), seperti sudah lazim sekarang dalam "lukisan batik". Ia membuat kain untuk dipasang di dinding. Ia menggunakan canting cap dengan macam-macam motif flora, dan hasilnya adalah, seperti lazimnya, Sekar Jagad (artinya: bunga sedunia, atau aneka bunga). Canting cap digunakan dengan tertib dan cermat, masing-masing menghasilkan petak dengan sisi-sisi horisontal dan vertikal, dan dengan batas-batas yang tepat dan jelas. Tumpang tindih, yang juga dicobanya, sedikit dan tidak menonjol. Dengan car ini ia menghasilkan keselarasan dan kemeriahan yang terkendali, terutama bila ia terhindar dari petak hitam yang terjadi oleh "kecelakaan" pencelupan (dari dekat dan dengan menajamkan pandangan, akan tampak bayangan motif di dalam beberapa petak hitam itu). Pemakaian motif tradisional (dengan pengubahan), struktur benang yang bersistem dan seragam di seluruh bidang, jajaran garis mendatar pada ujung kain, dan rumbai-rumbai, menyebabkan sejumlah karya Ratna mengingatkan kepada kain yang sudah ada. Dibanding karya demikian, Vertikal 11 menarik karena kesederhanaannya: tiga lajur vertikal kemilau (efek optis perbedaan cerah warna) berjajar teratur di tengah bidang lebih gelap, memancarkan ketenangan dan keanggunan tersendiri. Walhasil, dalam pameran ini Biranul Anas seoranglah tampil sebagai pendekar. Bahan yang dipakainya aneka macam: benang akrilik, benang katun, jute, ijuk, tali pikulan, pelepah batang pisang, keping kuningan, kabel, bilah bambu, goni, serat oyong, dan entah apa lagi. Perhatikan, misalnya, macam-macam bahan yang dipakainya dalam Cadas Gunung Masigit. Ia peka terhadap warna bermacam bahan, yang dipadukannya dengan cermat (amati, misalnya, Sejoli II). Ia bermain dengan bermacam jurus: teknik permadani, tenun, aneka simpul rajut. Ia menghasilkan bermacam struktur dan tahu menggabung-gabungkannya dalam satu pekerjaan. Melalui warna-warni bahan alam dan akrilik, lajur-lajur yang terjurai, dan lain-lain, ia menggugah asosiasi kepada cadas dan pemandangan alam (Cadas Gunung Masigit). Deugan warna akrilik merah, hijau, hitam, kuning, dengan terapan keping kuningan dan lajur tcrjulai menyerupai lamak, Nusa Dua III menggugah kemeriahan dan ingatan kepada Bali. Anas juga menjajaki ruang trimatra. Ia membuat semacam monumen setinggi 7 1/2 m dengan kain rajut ganda, polyester, dan rangka rotan, tergantung menghubungkan dua tingkat bangunan. Memanfaatkan bukaan pada langit-langit, pada slang hari karya ini tampak menyala dengan megah (Dinasti). Karyanya yang lain, satu seri Jala-Jala, ialah semacam gubahan ruang dengan tekstil. Pameran ini lebih banyak menjanjikan daripada memperlihatkan. Nama yang dipakai "Estetika Dalam Serat", menjanjikan pengalaman cerapan (persepsi) yang lebih kaya. Dengan judul begitu pameran ini mengisyaratkan kebangkitan baru seni yang amat tua dan amat kaya di tanah air kita: bermacam seni dengan bahan serat, atau bahan yang mengandung serat. Jika tekstil tradisional kita mendapat reputasi dunia dan menempatkan negeri kita sebagai salah satu pusat. Jika ia menyumbangkan bukan saja hasil-hasil yang dlkaguml duma tetapl juga istilah-istilah yang menjadi universal (batik, ikat, pelangi, tritik). Tampaknya memang tidak mudah menjangkau prestasi yang telah dicapai oleh tradisi. Apalagi, dalam hal tekstil sebagai ungkapan bebas, dunia (dalam hal ini Barat) telah meninggalkan kita cukup jauh. Tekstil, yang baru mantap statusnya sebagai seni dalam masa tahun 50-an, telah memasuki masa eksperimen dan eksplorasi yang kaya dalam masa tahun 60-an, dan sejak itu sederap-selangkah dengan seni mutakhir lainnya. Kita memerlukan banyak pendekar yang berani menjajaki apa yang belum pernah dicoba, berani bertualang dalam kemungkinan-kemungkinan. Kebutuhan ini, dan kenyataan bahwa industri masih lamban dalam menyerap para lulusan pendidikan desain tekstil, sudah sepatutnya mendorong lembaga pendidikan seni rupa kita untuk membuka kesempatan kepada mahasiswa tekstil untuk mengikuti latihan kependekaran. Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini