Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hakim dari berbagai daerah di Indonesia akan menggelar aksi cuti bersama pada 7-11 Oktober 2024 untuk memprotes rendahnya kesejahteraan profesi mereka. Aksi cuti massal tersebut diinisiasi oleh gerakan yang menamakan diri Solidaritas Hakim Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Juru bicara Solidaritas Hakim Indonesia, Fauzan Arrasyid, mengklaim saat ini ada setidaknya 741 hakim yang akan mengikuti gerakan cuti bersama. “Per hari ini,” kata Fauzan, yang juga berprofesi sebagai hakim, melalui pesan singkat pada Kamis, 26 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerakan Cuti Bersama Hakim Se-Indonesia, kata Fauzan, akan dilaksanakan secara serentak selama lima hari kerja, yaitu mulai Senin hingga Jumat, 7-11 Oktober 2024. Dia memperkirakan jumlah hakim yang akan mengikuti cuti massal tersebut bisa mencapai ribuan.
Selain cuti massal, sejumlah hakim dari berbagai daerah juga akan melakukan aksi simbolik di Jakarta. “Para hakim yang berangkat ke Jakarta akan melakukan audiensi, aksi protes, dan silaturahmi dengan lembaga terkait, serta tokoh nasional yang peduli terhadap isu peradilan,” ucap Fauzan.
Fauzan menyatakan protes para hakim bertujuan untuk menyampaikan aspirasi mereka yang telah lama terabaikan. Saat ini, kata dia, ketentuan gaji dan tunjangan hakim dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 belum pernah mengalami penyesuaian meskipun inflasi terus berjalan.
Menurut Fauzan, pemerintah masih belum mampu menyesuaikan penghasilan dan kesejahteraan hakim dengan kondisi saat ini. “Ini jelas merupakan langkah mundur dan berpotensi mengancam integritas lembaga peradilan,” ujar Fauzan.
Fauzan juga menyoroti Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2018 yang telah mengamanatkan perlunya peninjauan ulang terhadap aturan penggajian hakim. “Dengan demikian, pengaturan penggajian hakim yang diatur dalam PP 94/2012 saat ini sudah tidak memiliki landasan hukum yang kuat,” kata Fauzan.
Sebelumnya, sejumlah hakim menceritakan permasalahan yang mereka hadapi saat ditugaskan di daerah pelosok, mulai dari fasilitas kesehatan yang jauh, tunjangan dan gaji hakim yang tidak naik selama 12 tahun, hingga faktor keamanan.
"Kami dituntut sempurna menegakkan keadilan, tapi kondisi kami demikian, salah sedikit, dirujak luar dalam," kata hakim di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Agama Sulawesi Selatan, Itsnaatul lathifah, kepada Tempo, Senin lalu, 16 September 2024.
Perempuan yang akrab disapa Isna itu menyampaikan para hakim kerap ditawarkan suap. “Berkali-kali pihak berusaha membeli kami dengan jumlah yang fantastis, sedangkan pekerjaan hakim itu sendiri tidak akan mampu menghasilkan uang sejumlah itu, meski kami harus menabung puluhan tahun," tutur Isna.
Selain itu, para hakim juga harus menghadapi risiko keamanan akibat pekerjaannya. Hakim di wilayah hukum Pengadilan Tinggi Jambi, Camila Bani Alawia, menggarisbawahi risiko keamanan yang dihadapi para hakim di daerah. "Jadi selain kesejahteraan ekonomi, perlindungan tuh enggak ada sama sekali,” kata Camila.
Dia mencontohkan peristiwa yang dialami oleh beberapa rekannya. “Temanku yang hakim cewek juga pernah dikirim bangkai ayam di rumahnya, terus juga dikirimin darah, diteror-teror gitu. Ada juga hakim senior perempuan yang pernah ditodong pisau sama pihak yang bersengketa,” ujar Camila.
Sebelumnya, Juru Bicara MA Suharto membenarkan bahwa gaji pokok hakim tak naik-naik selama 12 tahun. Kendati demikian, kata dia, MA tak tinggal diam.
“Gaji hakim tingkat pertama dan tingkat banding sedang diperjuangkan dan dimohonkan kepada pemerintah untuk naik,” kata Suharto kepada Tempo, 8 September 2024. “Jika dibanding aparatur sipil negara (ASN), gaji hakim masih di bawahnya.”
Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.