Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENGAN hanya ditemani suaminya, Adry Nugroho, Selasa pekan lalu, Prita Mulyasari meluncur ke Pengadilan Negeri Tangerang, Banten. Sepanjang perjalanan dari rumahnya di Bintaro Jaya Sektor 9, Tangerang, di dalam mobilnya, perempuan 32 tahun itu tak henti-hentinya memanjatkan doa. ”Bantu Bunda ya, doakan Bunda ya,” ujarnya sembari mengelus perutnya. Ia memang tengah mengandung anak ketiga.
Hari itu Prita akhirnya benar-benar bisa menarik napas lega. Setelah membacakan putusannya selama setengah jam, majelis hakim menyatakan membebaskan Prita dari segala dakwaan. Menurut Artur Hangewa, ketua majelis hakim, surat elektronik atau e-mail yang ditulis Prita sama sekali tidak mencemarkan nama baik dua dokter yang mengadukannya. Menurut majelis, e-mail itu merupakan kritik atas pelayanan rumah sakit dan dua dokter yang menanganinya. ”Isi e-mail itu adalah fakta dan pengalaman yang dialami terdakwa dan bukan penghinaan atau pencemaran nama baik,” ujar Artur.
Prita diadukan Hengky Gosal dan Grace Hilza Yarlen Nela, dua dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Omni Internasional, Alam Sutera, Tangerang, dengan tuduhan pencemaran nama baik. Tulisannya melalui e-mail yang dikirimkan ke sejumlah kawan tentang pengalamannya dirawat di rumah sakit itu dianggap mencemarkan nama mereka dan rumah sakit. Ia lalu didakwa jaksa penuntut umum melanggar Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jaksa menuntutnya hukuman enam bulan penjara. Sebelum diajukan ke pengadilan, ia juga sempat ditahan selama 21 hari.
Prita menyebut putusan atas dirinya sangat adil dan tepat. ”Alhamdulillah, hakim menggunakan hati nuraninya,” katanya. Harapannya juga tak muluk-muluk. ”Saya ingin kembali hidup normal, bekerja kembali dan merawat keluarga,” ujarnya. Kuasa hukum Prita dari kantor pengacara O.C. Kaligis and Associates, Slamet Yuwono, menilai keputusan hakim ini membuktikan Prita tidak bersalah. ”Dia korban kesewenangan dan arogansi Rumah Sakit Omni yang mengkriminalkan pasiennya,” ujarnya.
Namun jaksa penuntut umum Riyadi menyebut ada yang keliru dalam putusan hakim itu. Hakim, ujarnya, mengatakan Prita dibebaskan karena kritik yang ditulisnya demi kepentingan umum. Kalau pertimbangan ini, ujar Riyadi, seharusnya bahasa yang digunakan bukan ”bebas” tapi ”lepas”. ”Karena ada alasan pembenar, terdakwa benar melakukan perbuatan itu, hanya perbuatannya bukan peristiwa pidana,” katanya.
Riyadi juga menyoal kepentingan umum yang menjadi pertimbangan hakim. ”Di mana kepentingan umumnya?” tanya Riyadi. Sebab, ujarnya, kasus tersebut bukan gugatan Rumah Sakit Omni secara lembaga, tapi gugatan oleh Hengky dan Grace, yang namanya merasa dicemarkan. Menurut dia, jika disebut kepentingan umum, sejauh ini tak ada korban malpraktek dokter Hengky atau dokter Grace yang lain. ”Lagi pula, tidak pernah ada putusan pengadilan yang menyebut dokter Hengky melakukan malpraktek,” ujarnya.
Riyadi menyatakan, ia akan menggunakan waktu 14 hari yang diberikan hakim untuk menentukan sikap: menerima atawa menolak putusan tersebut. Adapun dari Kejaksaan Agung, Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Didik Darmanto sudah mengeluarkan sinyal atas putusan itu. Kejaksaan, ujarnya, akan melakukan kasasi terhadap putusan Pengadilan Negeri Tangerang itu.
Putusan terhadap Prita—kendati tak mengirim Prita ke dalam penjara—sekaligus ”menandai” pertama kalinya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik telah memakan korban. Penggunaan pasal pencemaran dalam undang-undang itu telah memunculkan protes, terutama dari mereka yang aktif menggunakan Internet.
Selain menghadapi kasus pidana, Prita menghadapi gugatan perdata yang diajukan oleh Hengky dan Grace. Sementara pidananya sudah putus di pengadilan tingkat pertama, perkara perdatanya kini sudah menggelinding ke tingkat kasasi. Sebelumnya, pada awal September, Pengadilan Tinggi Banten menolak upaya banding Prita dan menghukumnya membayar denda Rp 204 juta. Dalam memori kasasinya, Prita menggugat balik Rumah Sakit Omni, yakni membayar ganti material senilai Rp 113 juta dan imaterial Rp 1 triliun terhadap dirinya. Putusan denda terhadap Prita itu memicu munculnya gerakan ”Koin Peduli Prita”. Gerakan itu berhasil menghimpun duit untuk Prita sekitar Rp 800 juta.
Menurut Slamet Yuwono, dengan putusan yang membebaskan Prita dari tuntutan pidana, pihaknya membuka peluang seluas-luasnya permintaan maaf dan perdamaian dari Rumah Sakit Omni. Hanya, sejauh ini, pihak Omni tampaknya enggan menyambut peluang itu. ”Lagi pula, dengan putusan itu bukan berarti rumah sakit bersalah,” kata juru bicara Rumah Sakit Omni Internasional, Ronald Simanjuntak.
Soal perdamaian, ujar Ronald, sudah tidak ada jalan keluar lewat mekanisme perdamaian, karena berkali-kali toh menemui jalan buntu. Menurut dia, Omni sudah mencabut gugatan perdatanya, sedangkan Prita memilih naik ke tingkat kasasi. ”Kami wait and see,” ujarnya.
Menanggapi rencana kejaksaan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, Slamet menyatakan pihaknya akan menunggu langkah kejaksaan tersebut. Hanya, menurut dia, sesuai dengan Pasal 244 Kitab Undang-Undang Acara Pidana, putusan bebas semestinya tidak bisa dikasasi. ”Ketimbang mengajukan kasasi tapi melanggar aturan, lebih baik kejaksaan berbenah,” ujarnya.
Menurut pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Rudy Satriyo, sebenarnya dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak dikenal istilah ”bebas murni” dan ”tidak murni”. ”Kalau bebas ya bebas saja,” katanya. Hanya, ujarnya, dalam perkembangan hukum, untuk kepentingan jaksa, diciptakan istilah ”bebas tidak murni”. ”Sehingga ada kesempatan jaksa untuk kasasi,” ujarnya.
Dalam banyak kasus, menurut Rudy, alasan untuk melakukan kasasi itu berbeda-beda. Jadi, menurut dia, dalam persoalan ini ”suka-suka jaksa” saja memberikan alasan: bebas murni atau tidak. ”Dalam KUHAP tidak ada ketentuan yang seperti ini,” ujarnya.
Putusan bebas, yang kemudian dikasasi itu, ujarnya, merupakan yurisprudensi dalam praktek. Pertimbangannya, dicurigai bahwa putusan hakim sebenarnya tidak bebas, tapi karena ada pengaruh lain, hakim membebaskan terdakwa. ”Di kejaksaan ketentuan itu kini menjadi pakem,” katanya. Kalau putusannya dinyatakan bebas, kata Rudy, wajib hukumnya seorang jaksa melakukan kasasi.
Menurut Rudy, semestinya dalam kasus seperti yang dialami Prita ini tidak ada dua proses hukum, pidana dan perdata. Karena menyangkut materi yang sama, seharusnya sejak awal salah satu harus ditolak. ”Sehingga tidak terjadi kasus sama ditempuh dua proses hukum yang berbeda,” ujarnya.
Tapi, karena sudah telanjur, kini hanyalah tinggal menunggu putusan Mahkamah Agung atas dua proses hukum itu. ”Jika salah satu putusan lebih dulu mempunyai kekuatan hukum yang tetap, yang lainnya harus mengikuti,” ujar Rudy.
Ramidi dan Joniansyah (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo