Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kasus suap adalah salah satu tindakan kejahatan yang dilakukan pengguna jasa secara aktif memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud agar urusannya lebih cepat. Walau melanggar prosedur. Suap-menyuap terjadi terjadi jika terjadi transaksi atau kesepakatan antara kedua belah pihak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dilansir dari laman antikorupsi.org, dalam hukum positif pembahasan tentang suap, kasus suap, dan gratifikasi selalu dikaitkan antara pemberian dan janji kepada pegawai negeri. Hal ini bisa dilihat dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pasal 5 ayat (1) huruf a UU No 31/1999 jo UU No 20/2001, suap didefinisikan setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Dalam UU No. 20/2001, pasal kasus suap-menyuap paling banyak dibandingkan kelompok lainnya, antara lain Pasal 5 ayat 1 huruf (a), Pasal 5 ayat 1 huruf (b), Pasal 13, Pasal 5 ayat 2, Pasal 12 huruf (a), Pasal 12 huruf (b), Pasal 12 huruf (c), Pasal 12 huruf (d) Pasal 11, Pasal 6 ayat 1 huruf (a), Pasal 6 ayat 1 huruf (b), dan Pasal 6 ayat 2. Masing-masing pasal memiliki ciri kekhususan, mulai objek pelaku hingga ancaman hukuman yang diberikan. Setidaknya ada tujuh karakter delik suap dalam UU Tipikor dilansir dari laman aclc.kpk.go.id.
Pertama, bertemunya kehendak pemberi dan penerima untuk melakukan suap. Maka, dalam perkara suap baik pemberi dan penerima suap sama-sama dihukum. Kedua, niat jahat untuk melakukan perbuatan terlarang sebelum suap dilakukan.
Ketiga, objek suap adalah hadiah atau janji. Keempat, pemberi suap bisa siapa saja, sedangkan penerima suap adalah penyelenggara negara, pegawai negeri, hakim, dan advokat. Kelima, suap terkait jabatan penerima suap, yaitu pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Keenam, dalam delik suap tidak berlaku pembalikan beban pembuktian. Baik pemberi suap maupun penerima suap tidak berkewajiban untuk membuktikan bahwa hadiah atau janji yang diberikan oleh pemberi suap atau penerima suap tidak ada kaitannya dengan jabatan publik penerima suap. Yang berkewajiban untuk membuktikan bahwa hadiah atau janji bukanlah suap tetap jaksa penuntut umum.
Ketujuh, Operasi Tangkap Tangan dapat terjadi pada delik suap. Faktanya, mayoritas OTT KPK menyangkut perkara atau kasus suap.
Suap juga diatur dalam Pasal 209 KUHP yang terdapat pada Buku Kedua KUHP pada Bab VIII tentang Kejahatan Terhadap Penguasa Umum. Disebutkan bahwa pelaku suap diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Dalam buku saku memahami tindak pidana korupsi Memahami untuk Membasmi yang dikeluarkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dijelaskan bahwa cakupan suap adalah (1) setiap orang, (2) memberi sesuatu, (3) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, (4) karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Dilansir dari laman aclc.kpk.go.id, disebutkan pula suap disepadankan dengan delik jabatan karena suatu pemberian sesuatu atau janji pasti berhubungan dengan jabatan seseorang. Jabatan di sini dibatasi hanya pada jabatan publik, dan tidak termasuk jabatan di sektor swasta. “Sesuatu” yang dimaksud yaitu bernilai ekonomi.
Dilansir dari mh.uma.ac.id, terdapat dua jenis penyuap, yaitu penyuap aktif dan penyuap pasif. Penyuap aktif adalah salah satu pihak yang menjanjikan atau memberikan sesuatu, berupa barang atau uang. Pemberian suatu janji atau hadiah, berarti subjek dalam hukumnya mampu mengetahui motif apa yang akan dilakukan atau diinginkan, yang didasari oleh suatu kepentingan pribadi agar pejabat negara yang diberi hadiah mampu melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewenangannya.
Sementara itu, penyuap pasif adalah penyuapan yang dilakukan untuk pihak yang menerima suap baik barang atau uang.
Apabila perbuatan ini dilakukan di dalam korporasi negara, maka rumusan delik dapat dikenakan terhadap anggota komisaris, direksi ataupun pejabat yang berada dalam lingkungan korporasi negara contohnya yaitu dalam lingkungan Badan Usaha Milik Negara yang diatur dalam UU Tipikor.