Hikayat Liberty di Pangururan Bekas Kepala BAKN, Manihuruk, digugat di kampung halamannya. Rencananya membangun tugu Liberty terpaksa diurungkan. KENDATI Pulau Samosir adalah tempat kelahiran dan tempat ber-- juang Mayjen. (Purn.) Arsennius Elias Manihuruk, tak berarti secara otomatis ia bisa membangun tugu peringatan di situ. Rencana Manihuruk membangun tugu di Desa Pangururan, Kecamatan Pangururan, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, kini terpaksa dihentikan. Bahkan karena urusan ini, ia harus berurusan dengan pengadilan. Sebenarnya, prakarsa yang dilakukan bekas kepala BAKN itu cukup terpuji. Ia ingin mengabadikan heroiknya perjuangan Sektor Sub-Teritorium VII, Sumatera Utara, pimpinan Kolonel Liberty Malau, dalam bentuk monumen di tempat itu. Menurut Manihuruk, 66 tahun, yang dulu juga tergabung dalam sektor itu, ide ini muncul sejak 1986. Semua pejabat Sumatera Utara mendukung. Bahkan Pemda Tapanuli Utara sendiri yang memilihkan lokasinya. "Para tetua adat yang dimintai pertimbangan juga tak ada yang keberatan," kata salah seorang Ketua DPP Golkar itu. Karena semuanya dianggap beres, Maret 1990, Manihuruk, sebagai ketua umum panitia, melakukan peletakan batu pertama. Tapi baru selesai bikin fondasi, tiba-tiba datang protes Manan Juhari Naibaho. Ia minta agar pekerjaan itu dihentikan. Alasannya, lokasi seluas 1.500 meter persegi itu adalah miliknya. Tidak sampai di situ. Manan, teman seperjuangan Manihuruk semasa revolusi fisik, malah membawa perkara ini ke pengadilan. Pengadilan Negeri Tarutung, Kamis pekan lalu, mulai menyidangkan gugatan Manan. Bersama Manihuruk (tergugat VI), digugat pula pihak-pihak yang dinilai telah menguasai tanah itu tanpa hak, seperti Kapolsek Pangururan (digugat karena mendirikan kantor Polsek), tiga penduduk yang mendirikan rumah sejak 1949, dan Bupati Tapanuli Utara. Manan menuntut agar pembangunan monumen dihentikan dan tanah adatnya itu segera dikosongkan. Tanah itu, menurut Manan, sepenuhnya hak warisnya. Sebab ia adalah anak tunggal Ompu Raja Manaek Naibaho, kepala kampung di situ. Pada zaman kolonial, Ompu Raja pernah menyewakan sebagian tanah itu. Tetapi sejak 1949, begitu Belanda pergi, tanah itu malah dikuasai para tergugat. Terakhir, Manihuruk, tanpa konsultasi pada Manan, langsung saja membikin monumen di situ. Yang paling membuat Manan tak senang, hingga membawa perkara ke pengadilan, adalah rencana pembangunan tugu pahlawan dari marga lain, di tanahnya itu. "Secara adat, pemilik tempat itu adalah marga Naibaho. Jadi, sudah sewajarnya jika tugu marga Naibaho-lah yang dibangun di situ. Jadi, bukan karena kami tidak menghormati jasa pahlawan lain," kata Manan. Tapi tetua adat setempat, T. Simbolon, 60 tahun, membantah keras bahwa tanah itu milik marga Naibaho. Setahu Simbolon, sejak dulu tanah yang berada di daratan Samosir itu (tengah Danau Toba) adalah milik "Situlhae Horbo", yakni kelompok tiga marga: Simbolon, Sitanggang, dan Naibaho. Tempat lapang ini sering dipakai upacara adat ketiga marga itu. Sejak 1969, Situlhae Horbo menyerahkan tanah itu pada pemerintah. Manihuruk sendiri merasa heran, kenapa tiba-tiba ada orang yang mengaku sebagai pemilik tanah tersebut. Seingat dia, sejak sekolah di Vervolg School 1932, tanah itu sudah berupa lapangan. Lagi pula, nama Liberty Malau sudah tak asing, bahkan merupakan kebanggaan masyarakat Tapanuli. Soal gugatan? "Itu terserah pemerintah daerah. Karena panitia menerima lahan itu dari mereka," katanya. Kini pembuatan tugu tersebut untuk sementara terpaksa dihentikan. "Karena kami tak mau ribut," kata ketua panitia pelaksana, Baginda Sagala. Tapi diingatkan Baginda, monumen ini nantinya tidak semata untuk mengenang jasa mendiang. Unsur pariwisata juga dimasukkan. Rencananya, pada bagian bawah monumen akan dibuat relief silsilah Batak. "Ini bermanfaat bagi wisatawan. Karena umumnya turis yang datang ke Samosir selalu singgah di Pangururan," ujar Baginda. Ia prihatin, hanya soal beda marga, sebuah tugu pahlawan jadi sengketa. Aries Margono, Gindo T. (Jakarta), dan Irwan Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini