Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bicaralah, dan nyatakan !

Kebebasan menyatakan pendapat adalah hak konstitusional setiap warga.menghambat penyaluran pendapat & pencabutan siupp oleh pemerintah adalah inkonsti tusional.belum belajar optimis thd saran presiden.

15 September 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bicaralah, dan Nyatakan! MARSILLAM SIMANJUNTAK SESEORANG menanyakan, apa tanggapan saya tentang "dibolehkannya perbedaan pendapat", yang dinyatakan dalam pidato kenegaraan Presiden Soeharto. Khususnya dihubungkan dengan keadaan pers Indonesia sekarang. Sebelum menjawab pertanyaan ini, diperlukan ancang-ancang penjelasan beberapa pokok pikiran lebih dahulu. Pertama-tama, hendaknya dimaklumi kenyataan hidup bahwa selama manusia berpikir dan berkepentingan, ia selalu punya pendapat. Dan sekaligus bisa diterima bahwa akan selalu ada ragam pendapat, yang berbeda ataupun bertentangan. Hal yang amat nyata ini perlu dikemukakan, sekadar untuk menyingkirkan kemungkinan adanya anggapan bahwa berpendapat atau berbeda pendapat itu baru ada karena dibolehkan oleh penguasa. Padahal, pendapat dan beda pendapat telah ada sebelum didekritkan pemerintah, misalnya, atau bahkan sebelum diatur dalam undang-undang dasar sekalipun. Walaupun begitu, yang mungkin tidak ada atau tidak diadakan ialah menyatakan atau mengemukakan pendapat secara leluasa. Ini membawa kita ke pikiran berikutnya: berbeda dengan "hak berpendapat" yang merupakan kenyataan hakiki, "hak untuk mengemukakan pendapat" memang ditimbulkan, atau lebih tepat dipastikan, oleh aturan konstitusi, seperti pada pasal 28 UUD 1945. Karenanya, kebebasan menyatakan pendapat ini adalah sebuah hak konstitusional dari setiap warga negara. Di dalam masyarakat kita, pemahaman dan penggunaan hak konstitusional belumlah jadi kebiasaan. Makna suatu hak konsitusional ialah bahwa inilah hak dasar yang harus jadi patokan bagi aturan-aturan berikutnya. Makna lainnya ialah bahwa pelanggaran atas hak itu, dengan cara bagaimanapun, oleh siapa pun, adalah pelanggaran terhadap konstitusi 45. Dengan kata lain, inkonstitusional. Jadi, kemungkinan inkonstitusional itu tidak hanya menyangkut soal suksesi presiden atau prosedur lembaga tinggi negara. Menghalangi, menekan, menyumbat, mempersukar, atau menghambat penyaluran bebas untuk mengeluarkan pikiran juga inkonstitusional. Dan perbuatan yang tergolong inkonstitusional bukan cuma bisa datang dari masyarakat nonpemerintah. Dari semua pihak bisa, dan semua seharusnya "digebuk" -- dengan cara yang dibolehkan konstitusi tentu. Pikiran yang ketiga ialah bahwa dengan mengisyaratkan tidak perlu dikhawatirkan lagi perbedaan pendapat, di dalamnya terkandung semacam pengakuan bahwa di masa sebelumnya perbedaan pendapat itu tidak diberi kesempatan berkembang lega. Terutama, kata Presiden Soeharto dalam pidato 16 Agustus yang lalu, "di saat masyarakat kita masih bersimpang ideologinya." Bila demikian halnya, bagaimana wujud dan bentuk pengendalian untuk menyatakan pendapat yang pernah (atau masih) terjadi? Apakah dengan isyarat dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 90 itu tidak akan dilakukan lagi pengendalian atau pengekangan? Pers adalah lembaga penyalur pendapat (jadi, beda pendapat juga) umum. Maka, pers bebas adalah jaminan dari pelaksanaan hak konstitusional mengenai kemerdekaan mengeluarkan pikiran. Sebaliknya, mengekang, menghambat saluran pendapat umum itu adalah sama dengan mengingkari kewajiban menegakkan hak konstitusional tadi. Seperti dikatakan tadi, ini adalah inkonstitusional. Dalam hal inilah dapat dikatakan bahwa implikasi penggunaan hak mencabut SIUPP oleh pemerintah, karena alasan pemberitaan, adalah inkonstitusional. Lembaga SIUPP, yang sebenarnya hanyalah merupakan perizinan perusahaan, pada prakteknya lebih sering digunakan sebagai ancaman terhadap kelangsungan penerbitan pers. Akibatnya, timbul kekhawatiran dan rasa tak aman di kalangan pers untuk dapat menyalurkan pemberitaan secara bebas. Pengalaman menunjukkan bahwa ancaman pencabutan SIUPP sangat efektif. Saluran pendapat umum, akibatnya, jadi terhalang dan tak lancar jalannya oleh ancaman itu. Kita memang belum belajar optimistis mengenai apa yang disarankan Presiden Soeharto dalam pidato-pidatonya. Setelah hampir setahun sejak dipidatokan di muka DPR mengenai usul pengalihan saham pada koperasi sebanyak 25% itu, ternyata orang baru melaksanakannya sebesar 1%, itu pun tersendat-sendat. Kalau perbandingan itu boleh dikenakan pada pidato kenegaraan yang lalu mengenai "berbeda pendapat", mungkin masih lama lagi baru hak konstitusional untuk mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan itu dihentikan pengingkaran dan pelanggarannya. Sebagaimana lazimnya banyak orangtua, Presiden Soeharto pun kurang suka untuk "didahului". Tetapi apabila ada tindak lanjut kongkret yang harus diambil untuk menjalankan isyarat yang diberikannya tentang perbedaan pendapat, itu tidak lain ialah instruksi pada menteri yang bersangkutan untuk menghentikan kebiasaan menggunakan hak mencabut SIUPP sebagai alat pengancam. Selebihnya, bagi masyarakat ramai, termasuk pers sendiri, lebih baik berhenti mendiskusikan kemungkinan mengeluarkan pendapat, dan langsung memulai menggunakan hak konstitusinya: maka berpendapatlah, dan nyatakan!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus