Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setya Novanto menggugat statusnya sebagai tersangka korupsi megaproyek kartu tanda penduduk elektronik di Komisi Pemberantasan Korupsi dengan mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang perdana praperadilan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu digelar pada Selasa pekan lalu, tapi hakim menundanya selama satu minggu atas permintaan KPK.
Gugatan praperadilan Ketua Umum Partai Golkar ini bukanlah yang pertama kali buat KPK. Sejak 2004, sekitar 60 kali KPK digugat praperadilan. Sebagian besar dimentahkan di pengadilan negeri, hanya empat yang menang gugatan.
Permohonan praperadilan memang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sejak KUHAP berlaku pada 1 Desember 1981, permohonan praperadilan pertama kali diajukan ke pengadilan atas permintaan Tin Sioe Oeh melalui pengacara bernama A. Nawawi pada Januari 1982. Majalah Tempo menulis sidang praperadilan Sioe Oeh ini dalam artikel berjudul "Yang Pertama di Bandung", edisi 6 Februari 1982.
Pokok perkara Sioe Oeh ini sebenarnya kecil saja: soal utang-piutang antara pedagang dan pedagang. Namun perkara itu mengundang banyak hadirin, terutama ahli hukum, memenuhi ruang sidang. Hari itu, 23 Januari, Pengadilan Negeri Bandung memperkenalkan acara baru: sidang prapengadilan.
Prapengadilan memang lembaga baru yang diatur dalam KUHAP. Lembaga tersebut berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, dan penuntutan. Juga tentang ganti rugi dan rehabilitasi bagi seorang tersangka perkara pidana yang perkaranya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Di Pengadilan Negeri Bandung itulah, menurut ketuanya, Soedarko, sidang prapengadilan untuk pertama kalinya dipraktikkan di Indonesia sejak KUHAP berlaku. Sidang berlangsung atas permintaan Sioe Oeh. Yang diadili Kapten Polisi Toemiran, perwira reserse Kodak VIII/Jawa Barat, dengan tuduhan telah menangkap dan menahan Sioe Oeh secara sewenang-wenang.
Perkara bermula dari sengketa utang-piutang antara pedagang tekstil Sioe Oeh dan Tan Tie Nio serta A Hoeng. Sioe mengaku berutang Rp 40 juta kepada Tie Nio dan Rp 34 juta kepada A Hoeng. Tapi, menurut perhitungan lain, Tie Nio merasa punya piutang Rp 6 juta kepada Sioe Oeh. Terakhir, Sioe Oeh menyatakan dirinya bangkrut, dan merasa dirinya "tak aman" karena "diancam" Tie Nio dan A Hoeng yang tentu saja menagihnya.
Karena itu, Sioe Oeh, pada Oktober 1981, meminta perlindungan polisi. Karena takut dibunuh, begitu ceritanya, sampai ia merasa perlu menginap di Kantor Kotabes 86 Bandung. Sementara itu, si penagih, Tie Nio dan A Hoeng, mengadu ke Kodak VIII. Berdasarkan pengaduan tersebut, perwira reserse Kodak, Kapten Toemiran, "mengebon" Sioe Oeh dari Kotabes.
Dari tempat tahanan, Sioe Oeh dapat berhubungan dengan pengacara Nawawi, yang segera menengok pasal-pasal KUHAP yang belum sebulan berlaku. Nawawi meminta prapengadilan bersidang dan membebaskan kliennya dari tahanan. Sebab, menurut dia, Sioe Oeh ditangkap polisi tanpa surat perintah penangkapan.
Prapengadilan dipimpin Soedarko sendiri sebagai hakim tunggal. Sore harinya, setelah sidang pertama 23 Januari, polisi membebaskan Sioe Oeh. Pada sidang berikutnya, dua hari kemudian, Sioe Oeh muncul sendiri ke pengadilan dan berkata kepada hakim: "Saya mencabut perkara, Pak!" Alasannya, buat apa beperkara, toh sudah bebas dari tahanan polisi.
Tapi soalnya tidak sederhana. Hakim Soedarko menganggap perkara dalam prapengadilan yang diajukan penasihat hukum tak dapat dicabut tersangka. Selain itu, prapengadilan membenarkan alasan Kapten Toemiran. Berdasarkan pengaduan Tie Nio dan A Hoeng, seperti diucapkan perwira tersebut, polisi punya cukup alasan untuk menahan Sioe Oeh dengan tuduhan melakukan tindak pidana penggelapan dan penipuan.
Kapten Toemiran juga dapat menunjukkan surat perintah penangkapan kepada hakim. Dengan demikian, hakim Soedarko berpendapat penahanan Sioe Oeh oleh polisi itu sah menurut hukum sehingga tuntutan ganti rugi juga ditolak. Akhirnya, seusai sidang, hakim Soedarko menarik napas lega: "Saya puas bisa menyelesaikan sidang prapengadilan pertama di Indonesia ini."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo