Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada saat-saat yang cemas, orang-orang yang percaya akan kebenaran satu ide, orang-orang yang beriman kepada satu ajaran, menghendaki kemurnian. Mereka akan berdiri di tepi jalan yang riuh dan melihat dunia campur-aduk. Mereka akan menduga banyak najis, dosa, kepalsuan, dan hipokrisi berseliweran.
Ketika rasa cemas makin akut, mereka memutuskan: harus ada penolakan, kalau perlu "pengkafiran", kalau perlu paksaan, agar yang najis habis dan dunia jadi murni.
Tapi lambat-laun mereka akan tahu, kemurnian tak mudah diperoleh, tak kunjung tercapai. Di jalan yang terentang itu-dalam proses kehidupan itu-akan selamanya melintas orang baru atau lama, yang jangan-jangan (menurut kaum pencemas) berbaur lumpur, tahi, atau mani, atau dikotori hasrat yang jorok, aliran sesat….
Orang-orang yang menuntut kemurnian tetap akan cemas. Lama-kelamaan mereka tak sabar. Kekerasan pun dijalankan: pemaksaan, pemisahan, pembersihan.
Ada sebuah dialog pendek dalam novel Umberto Eco yang terkenal, Il nome della rosa:
"Apa yang paling Tuan takuti dari kemurnian?"
"Sikap tergesa-gesa."
Sikap tergesa-gesa, la fretta, adalah sikap yang tak hendak mengakui waktu-atau lebih tepat, sikap yang hendak meniadakan waktu. Adanya waktu membuat yang tak-murni seakan-akan kukuh, bahkan memberi kesan tak terkalahkan.
Padahal sebenarnya waktu membuat apa saja, juga ketidakmurnian, jadi tak tetap. Yang utuh, yang kukuh, yang bersih, akan jadi berbeda-dalam perubahan yang berubah-ubah pula polanya. Walhasil, dalam sikap yang "tergesa-gesa", sebenarnya bersembunyi rasa cemas akan ketidakpastian. Maka bisa dikatakan yang membuat kita layak takut bukanlah ketidaksabaran, melainkan kecemasan terhadap yang tak pasti.
Tapi jika ditelaah lebih jauh, yang sesungguhnya membuat takut adalah kecemasan itu sendiri. Dan jika kita usut lebih lanjut dari mana datangnya kecemasan itu-kecemasan dalam beriman, dalam memegang teguh sebuah kepercayaan atau ideologi-kita akan menjumpai sebuah pemicu: "nafsu kemurnian".
Terutama dalam diri orang-orang yang merasa di pihak kebajikan dan punya alasan untuk meniadakan apa saja yang "tidak bajik" atau cemar. Tak sabar, mereka akan melakukan "pembersihan" dengan kebengisan tertentu. Sejarah mencatat bahwa "pembersihan" pernah diberi nama yang seram dalam Revolusi Prancis di akhir abad ke-18: "teror".
Teror, kata Robespièrre dalam sebuah pidato Februari 1794, "adalah sebuah pancaran dari kebajikan", une émanation de la vertu. Hanya dengan teror kebajikan punya daya yang nyata. Maka antara Juni 1793 dan Juli 1794, di masa yang bergolak itu, Robespièrre dan para pengendali politik Prancis membunuh sekitar 16 ribu manusia. Anasir yang dicurigai tak boleh ada dalam Revolusi.
Saya tak tahu kapan pertama kalinya teror untuk kemurnian seperti itu terjadi-dan kapan pula akan berakhir. Di abad ke-20, sebuah revolusi lain melakukannya: Partai Komunis, di bawah Stalin, antara 1934 dan 1939, memenjarakan dan membunuh lebih dari 500 ribu orang. Dengan "teror"-nya, Stalin menunjukkan bahwa komunisme seperti agama: keyakinan yang cemas akan ketidakmurnian.
Seperti di wilayah Spanyol, di abad ke-16. Setelah monarki Katolik di jazirah itu mengalahkan kerajaan-kerajaan Islam yang hidup sejak enam abad sebelumnya, serangkaian perintah dikeluarkan. Tiga kerajaan, Castilla, Navarre, dan Aragon, bergerak untuk menghapuskan agama Islam dari wilayah mereka-tempat hidup 600 ribu muslim.
Di akhir abad ke-15 itu rasa cemas dan "nafsu kemurnian" berkecamuk. Setelah beberapa tahun lamanya muslim dibiarkan bebas menjalankan ibadah mereka, pada 1499, di Granada, Uskup Agung Toledo, Francisco Jiménez de Cisneros, memulai kampanye memaksa orang Islam memeluk Kristen; mereka akan disiksa dan dipenjarakan bila menolak. Ketika pemberontakan yang meletus melawan itu gagal, penduduk muslim semakin keras ditekan.
Tentu saja orang ramai-ramai berpindah agama. Tentu saja dalam ketakutan, tak semuanya ikhlas. Dari Oran, seorang ulama berfatwa bahwa bagi seorang muslim bersikap pura-pura dalam keadaan itu tak diharamkan; dengan taqiya, ia tak dianggap murtad.
Tak ayal, rasa waswas menjadi-jadi. Bagi penguasa Katolik, Gereja maupun raja, orang-orang "Kristen Baru", yang mereka beri nama moriscos, tetap meragukan: rasanya iman Kristen mereka tak bersih. April 1609 sampai empat tahun berikutnya, Raja Philip III mengusir 300 ribu moriscos dari Spanyol.
Akhirnya, bagi negeri Katolik itu, jadi Kristen saja tak cukup untuk membentuk kemurnian. Yang dilakukan Philip III adalah pembersihan ("teror") etnis-yang di abad ke-21 ini terjadi lagi di Myanmar.
Dialog yang ditulis Umberto Eco agaknya perlu diubah.
"Apa yang paling Tuan takuti?"
"Nafsu kemurnian-nafsu yang tak bisa terpuaskan."
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo