Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Hilangnya (dan matinya) dua isi

Ny. theresia soesanti, 39, dan ny. sunarni, 45, dibunuh dan dikubur berjejer di jombang. diduga pembunuhnya shiow djien tek, 30, yang meminjam uang rp 3 juta kepada korban. pelaku dikenal sebagai penipu. (krim)

11 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HENDRA Budianto seperti orang gila. Istrinya, Theresia Soesanti, 39, pergi dari rumah tanpa pamit dan sudah dua bulan tak ada kabar beritanya. "Kalau sudah tak betah hidup dengan saya, kenapa tak berterus terang saja," keluh pedagang kue yang tinggal di Malang, Jawa Timur, ini. Sehari setelah kepergian Soesanti, seorang wanita lain, Nyonya Sunarni, 45, juga meninggalkan rumah, suami, dan keempat anaknya di Bandung. Istri Direktur Mona Coffee House, Sutardi, ini juga sudah dua bulan lebih tak ketahuan nasibnya. Siapa menduga, kedua wanita ini ternyata telah tewas terbunuh. Mayat keduanya, ditemukan berjajar, terkubur di halaman sebuah rumah di Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro, Jombang (Jawa Timur). Shiow Djien Tek, 30, pemilik rumah yang masih berstatus WNA, akhirnya ditangkap dengan tuduhan melakukan pembunuhan. Dari -- Bandung, baru-baru ini ia diboyong ke Polres Jombang untuk diperiksa lebih lanjut. Pengakuannya (kepada polisi) masih simpang siur. "Dia mengaku membunuh kedua korban sendirian. Tapi setelah didesak, ia mengaku ada yang membantu," ujar Kapolres Jombang, Letkol Karyono Sumodinoto, kepada Choirul Anam dari TEMPO. Sementara itu, saat diperiksa di Poltabes Bandung, Djien Tek yang bertubuh gendut dengan jenggot beberapa helai, menyatakan bahwa Sunarni dibunuh oleh Theresia. Barulah, setelah itu, ia mengaku membunuh Theresia. "Dia mengaku takut kebusukannya dibongkar Theresia. Antara lain, katanya, bahwa dia pernah menipu sebuah toko ban Rp 24 juta dan menipu dua toko emas di Surabaya berupa satu kilogram emas," kata Kolonel H. Morip (Kapoltabes Bandung) yang didampingi Mayor Soedewo (Kasatserse) kepada Aji A. Gofar dari TEMPO. Bagaimana jelasnya kasus ini, belum diketahui persis. Berdasarkan pengakuan tersangka dan berbagai petunjuk, kisah pembunuhan ini kira-kira berawal pada Juli lalu. Ketika itu, Djien Tek datang ke rumah Hendra di Gang Glintung, Malang. Ia mengutarakan niatnya meminjam uang. Ia perlu Rp 3 juta, dan dalam tempo lima hari, akan mengembalikannya dengan bunga 100%. Tapi Hendra tak begitu menanggapi. Pertama, ia tak punya uang sejumlah itu. Kedua, meski sudah sering bertemu dan bahkan Djien suka menginap di rumahnya, ia merasa tak tahu persis siapa Djien sebenarnya. Konon, dia itu penipu, dan bandar judi buntut. Ketiga, "Melihat potongannya, saya tak yakin dia itu orang dagang." Rupanya, Theresia, istri Hendra, diam-diam terus dibujuk dan akhirnya terpikat untuk mendapat untung besar. Uang berbunga 100% dalam lima hari memang sangat menggiurkan. Tanpa permisi lagi, ibu empat anak itu menuju Bandung. Mengapa ia tak mencoba cari pinjaman di Malang sendiri, tak jelas. Mungkin karena di Bandung ada Sutardi, yang sudah dikenalnya lama, dan pernah beberapa kali meminjami modal. Dan memang ia menemui kenalannya itu. Singkat cerita, uang Rp 3 juta bisa didapat, dan pada 15 Juli lampau Sunarni, istri Sutardi, bersama Theresia menuju Malang untuk mengurus bisnis bersama Djien. Sejak itulah keduanya tak ada kabar beritanya. Sekitar dua pekan sejak istrinya pamit, Sutardi sudah menangkap tanda-tanda ketidakberesan. Terlebih setelah ia mendapat telepon dari Hendra di Malang, yang menyatakan bahwa istrinya pergi dari rumah tanpa pamit. Hendra, kata Sutardi, kaget sckali sewaktu diberi tahu bahwa Theresia pergi bersama Sunarni membawa Rp 3 juta. "Saya tak pernah menyuruh istri saya meminjam uang," tutur Hendra. Dia lantas teringat Djien Tek, dan pria yang sudah kawin dan punya satu anak itu dicari bersama-sama. Mereka tahu orang itu tinggal di Jombang. Kebetulan, dari Hotel Fatma di Jombang, diperoleh informasi bahwa memang pada tanggal 16 Juli, di situ menginap dua orang wanita. Menilik ciri-cirinya, juga nama yang tercatat di buku tamu, bisa dipastikan bahwa keduanya memang Theresia dan Sunarni. Pada 17 Juli, demikian keterangan dari pihak Hotel, kedua wanita itu kedatangan tamu, yang menurut ciri-cirinya mestinya tamu ini Djien Tek. Dan di hari itu juga, di sore hari, Sunarni diajak pergi naik mobil dan tak pernah kembali. Tiga hari kemudian 20 Juli, Djien muncul lagi menjemput Theresia. Ke mana keduanya pergi, tak diketahui. Sutardi dan Hendra, yang berusaha menyelidik seperti detektif, menemui jalan buntu. Apalagi karena Djien Tek, yang bisa ditemui, senantiasa mengelak dan menyatakan tak tahu-menahu tentang kedua wanita itu. Sekali waktu, dia malah menghilang. Tapi titik terang akhirnya muncul secara tak terduga. Akhirnya kedua orang yang kehilangan istri itu melapor ke polisi. Dan pihak polisi akhirnya bisa menemukan persembunyian Djien. Ini memang tampaknya satu kebetulan yang menguntungkan. Yaitu ketika seorang tahanan, yang terlibat kasus pencurian mobil, dan ditahan di Mabes Polri, Jakarta -- entah dengan cara bagaimana dan bagaimana ia tahu Djien Tek dicari-cari -- memberi informasi tempat Djien berada. Si tahanan menyarankan agar Sutardi atau Hendra menghubungi seseorang bernama Jemi, di Jakarta. Kebetulan Sutardi mengenal Jemi. Benar. Djien bisa ditemui, dan kali itu ia langsung dibawa ke Polresta Bandung. Maka, tersingkaplah perkara hilangnya dua ibu rumah tangga itu. Beberapa waktu sebelum kejadian, Djien, yang di kampungnya dikenal ramah, mempekerjakan beberapa orang untuk menggali sumur di pekarangan rumahnya. Tapi begitu lubang yang dibuat mencapai kedalaman 4 meter, ia memerintahkan penggalian dihentikan, karena air belum juga keluar. Penggalian pindah ke sebelah lubang yang tadi dibuat. Dan lagi-lagi, setelah lubang dalam 4 meter, penggalian dihentikan. Lalu, pada 17 Juli ia menjemput Sunarni. Kuat dugaan, wanita itu dihabisi di dalam mobil. Berdasar visum, diketahui ada luka cekik di leher korban. Juga luka pada dada, tengkuk dan kepala. Luka-luka seperti itu pula yang dijumpai pada tubuh Theresia. Rupanya, setelah tewas, korban dimasukkan ke dalam karung dan dicemplungkan ke dalam lubang galian. Korban Sunarni pada 17 Juli malam, dan Theresia pada 20 Juli malam. Mayat dalam karung itu ditimbun lagi dengan tanah ala kadarnya, sekadar baunya tak sampai menyeruak ke mana-mana. Malah, ketika itu Djien mengatakan bahwa sebagian pekarangannya -- termasuk yang ada bekas galian sumur itu -- dia serahkan kepada Karang Taruna, untuk dibuat lapangan voli atau badminton. Tentu saja sumbangan ini disambut baik warga desa, terutama para remajanya. Tak tahunya, semua itu ternyata dalam upaya Djien untuk menghapus jejak. Dalam tahanan polisi -- kurang jelas apakah sewaktu ditangkap di Jakarta, atau sewaktu ditahan di Bandung, atau setelah di Jombang -- rupanya tersangka menunjukkan tempat dua korban dikuburkan. Memang, itu semua memang baru pengakuan tersangka kepada polisi. Bukan mustahil, di balik cerita itu masih ada hal-hal tersembunyi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus