TAK seorang pun dari tim pelacak kasus Dice kendur semangatnya. Tapi setumpuk petunjuk yang didapat, tampaknya, belum mampu mengarahkan petugas penyidik ke satu titik: siapa gerangan yang begitu menghendaki kematian Dice. Malah, menurut sumber TEMPO, ada semacam upaya -- entah dari siapa atau pihak mana yang dengan sengaja sepertinya mencoba mengaburkan, atau mengacaukan, usaha pelacakan. Bentuknya, antara lain, lewat telepon yang dilayangkan ke beberapa alamat seperti kantor polisi, kediaman Budimuljono (suami korban) maupun -- entah dengan pertimbangan apa -- ke kantor majalah TEMPO. Si penelepon, yang enggan menyebut identitasnya secara jelas, antara lain mengaku sempat melihat korban, di suatu tempat, beberapa saat sebelum ditemukan tertembak dengan lima liang dalam mobilnya, 8 September malam lampau. Dan secara tersamar, penelepon itu menghendaki agar penyidikan diarahkan pada seseorang, yang ciri-ciri dan identitasnya sedikit dia buka. "Orang itu saya lihat adu mulut dengan Dice, dan orang itu biasa terlihat di sana," kata penelepon gelap itu. Sekadar mengingatkan, Dice, 36, ditemukan tewas dalam mobil Honda Accord putih B 1911 ZW miliknya. Mobil itu terparkir di Jalan Dupa, Jakarta Selatan, tak berapa jauh dari pintu gerbang pabrik farmasi PT Dupa. Tubuh bagian kanannya, yaitu di punggung, ketiak, leher, dan bawah telinga, diterjang lima anak peluru yang -- berdasarkan informasi yang sangat bisa dipercaya -- diduga kuat berasal dari pistol kaliber 22. Si pelaku nyaris tak meninggalkan jejak, kceuali di pintu kiri belakang mobil, berupa bekas sisi tangan yang bernoda darah. Beberapa helai rambut, pendek dan hitam, yang dijumpai di jok kiri depan, bisa jadi juga merupakan jejak yang tertinggal. Namun, sampai pekan ini belum bisa dipastikan seberapa jauh "peninggalan" itu bisa membantu penyidikan. Sementara itu, seorang bekas foto model yang sempat disebut-sebut sebagai "calon tersangka", kini dikesampingkan. Dia adalah Harry Harsojo Koosnadi, 46, lelaki bertubuh tinggi, ganteng, dan berkumis, asal Bandung. Awal Oktober lalu, sejak malam sampai pagi, karyawan sebuah perusahaan swasta ini, juga istrinya yang namanya mirip korban -- Deece -- memang sempat diperiksa. Ia dilepas kembali karena tak ditemukan bukti kuat sebagai tersangka pelaku pembunuhan. Dan Jumat pekan lalu, Harry -- yang pernah menjadi model iklan dan kartu pos bergambar keluaran perusahaan film Fuji bersama Dice dan dua orang anak pada tahun 1979 -- minta bantuan LBH Jakarta. "Saya tak ingin dijadikan kambing hitam dalam kasus ini," katanya kepada TEMPO. Sampai Senin pekan ini pun, ia mengaku tak berani tidur di rumahnya di Jakarta Selatan. Ia takut dijadikan sasaran sementara pihak yang mungkin saja menginginkan dia menjadi korban. Pada 8 September, kata Harry, ia bekerja seperti biasa dan pukul 18.30 sudah tiba di rumah. Malam itu ia terserang flu karena kehujanan, dan tetap berada di rumah bersama istri dan keempat anaknya sampai pagi. Alibi ini dibenarkan Deece. "Suami saya itu tak pergi ke mana-mana, bagaimana bisa dituduh?" katanya. Harry, yang tamat dari SMA di Bandung pada 1960, tak menyangkal pernah menjadi anggota gang Buah Batu. Itu karena rumahnya memang di Jalan Buah Batu, Bandung. Tapi, katanya, itu dulunya adalah perkumpulan angkat besi, dan tepatnya bernama Buah Batu Barble Club. Dan baru belakangan, setelah ia beranjak dewasa dan tak aktif lagi, gang berubah menjadi Buah Batu Boys Club, yang dikenal ugal-ugalan dan suka "nyrempet-nyrempet bahaya". Dua orang yang termasuk pimpman gang ini, kabarnya, hilang sampai kini setelah tempo hari muncul apa yang disebut sebagai penembak misterius. "Tak betul kalau saya, sebagai bekas anggota gang, dikatakan dengan mudah bisa memperoleh senjata api," katanya. "Melihat secara jelas, apalagi sampai menggenggamnya di tangan, yang namanya pistol itu saja tak pernah." Perkenalannya dengan korban terjadi tahun 1979. Yakni ketika anak kedua dari 10 bersaudara ini -- yang sering berpindah-pindah pekerjaan dan sampai pernah menjadi sopir di Samarinda, Kalimantan Timur terpilih sebagai model iklan film Fuji. Kebetulan, pasangannya adalah Dice. Sejak itu, mereka beberapa kali bertemu, dan saling memperkenalkan keluarga masing-masing. Pada 1980, keluarga ini mulai jarang mengadakan kontak. Terakhir, Juli lalu, secara kebetulan Deece bertemu Dice di Balai Sidang, Senayan. "Dice memeluk saya sambil menangis dan mengatakan bahwa suaminya kini sudah lumpuh total," tutur Deece. Maka, memang wajar bila Deece pun datang melayat Dice. Akan halnya Harry, karena kesibukannya, baru datang ke rumah Budimuljono di Jalan Guru Alip, Jakarta Selatan, bersama seorang anaknya pada 2 Oktober lampau. Atau lebih dari tiga minggu setelah terjadinya peristiwa tersebut, persis sehari setelah ia dimintai keterangan oleh polisi. Budi membenarkan kehadiran Harry ini. Dalam surat Budi tertanggal 2 Oktober 1986 yang ditujukan kepada Kapolda Jakarta Mayjen Pudy Sjamsudin dan sejumlah pejabat kepolisian yang lain, suami korban ini menyatakan Harry datang pada sore hari. "Dia merangkul kaki saya dan menyatakan ikut berdukacita atas meninggalnya istri saya," tutur Budi kepada TEMPO. Ketika itu, katanya, ia merasa tak enak, karena Harry yang baru ditanyai polisi kok tiba-tiba muncul. Sementara itu Budimuljono -- terbukti dengan suratnya kepada pihak kepolisian itu -- kini menunjukkan sikap kerja sama yang baik. Dalam surat itu, umpamanya, ia berterus terang, tentang hubungan Dice dengan seorang bekas pejabat yang kini menjadi pengusaha sukses, Budi mengaku tak tahu sama sekali. "Di rumah, dia adalah istri dan ibu yang sangat baik. Dia pahlawan keluarga. Tapi di luar pagar, saya tak tahu," kata Budi, 56, bekas tentara yang sejak 1980 separuh tubuhnya lumpuh akibat darah tinggi. Dengan bekas pejabat itu, menurut beberapa sumber, korban agaknya memang menjalin semacam hubungan cinta. Mereka sejak tiga tahun lampau, sering bertemu di sebuah rumah di Jalan Tumaritis, Jakarta Selatan. (TEMPO, 4 Oktober 1986). Budi tampaknya memang tak pernah membayangkan Dice telah melangkah begitu jauh. Yang dia ketahui, dengan pejabat tadi, Dice memang sering berhubungan soal bisnis. Bekas pejabat itulah, katanya, yang membantu Dice dalam hal pembelian rumah di Kalibata Indah, yang kemudian dijadikan salon dengan nama Puri Citra Ayu. Di samping itu, beberapa waktu lalu bekas pejabat itu, "Membantu 'mengedarkan' uang saya Rp 50 juta? dengan bunga 10% sebulan." Berarti, keluarga Budi mendapat Rp 5 juta sebulan -- suatu jumlah yang lumayan, karena ketika itu bunga bank saja hanya 20% setahun. Uang 50 juta itu, kata Budi, adalah hasil menjual kekayaan yang dimilikinya, tak lama setelah ia kena stroke hipertensi. Singkat kata, Budi menganggap bekas pejabat ini sebagai sesepuh, "Tempat saya bisa mengadu dan mohon nasihat dalam bidang apa saja, kebanyakan bidang keagamaan. Ia mengaku memang merasa dekat dengan bekas pejabat ini, pernah pula beberapakali mengundangnya makam. Tahun lampau, 1985, bekas pejabat itu dua kali datang memenuhi undangan. Sendiri saja, sebab, katanya, istrinya sedang ada urusan. Budi sempat pula menyinggung hubungannya dengan beberapa kenalan lain, baik yang dikenalnya secara samar-samar maupun yang sudah seperti famili sendiri. Tapi dia agaknya tak mengenal seseorang bernama Roy. Menurut sementara sumber, Roy adalah orang yang mengontrakkan rumah di Jalan Tumaritis itu. Pria berperawakan sedang berambut lurus dan berkulit kuning ini pekan lalu dimintai keterangan oleh polisi. DIA Roy, orang dari PT Marino Pelita Indonesia, dan pemilik pabrik sepatu di daerah Parung, Bogor. Sepatu produkisinya itu, menurut sebuah sumber, khusus untuk ABRI. Roy, kabarnya, memang seorang rekanan. Hasil pemeriksaan terhadap Roy masih belum diketahui. Tapi, konon, menurut sebuah sumber TEMPO, ia mengaku tak tahu banyak tentang Dice. Sementara itu, sumber lain menyatakan bahwa Roy-lah yang menghubungkan korban dengan bekas pejabat di atas. Ia juga diduga berperan dalam pengontrakan rumah di Jalan Tumaritis. "Dalam perjanjian, rumah itu dikontrak atas nama Sutarman. Setiap tahun nilai kontraknya US$ 400," kata sebuah sumber lain yang mengetahui. Sampai disini, jejak pembunuh memang masih kabur. Tapi kesungguhan "Tim Kalibata" dan kesadaran para penegak hukum untuk berkerja sama, juga melihat semangat mereka yang tak pernah kendur, ada harapan kasus Dice akan terungkap. Setidaknya, selangkah demi selangkah orang-orang yang dicurigai mulai terseleksi: mana yang perlu diusut lebih lanjut, mana yang tak usah lagi dibuntuti, misalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini