ASMARA tiga belas tahun, akhirnya kandas lewat secangkir racun serangga. Adalah Fatma Tangguda, 43, dan Ainari Podungge, 44 -- keduanya kaum Hawa -- yang tampaknya saling membutuhkan. Setelah hubungan cinta sejenis -- lazim disebut lesbian -- berlangsung bertahun-tahun tanpa gangguan, suatu hari tiba-tiba gangguan datang. Dan karena itu, akhirnya Fatma, perawat puskesmas Kecamatan Tapa, Kabupaten Gorontalo, Sulawesi Utara, harus kehilangan nyawa. Ainari karyawan Departemen P & K, di daerah yang sama, karenanya, mulai Agustus silam, harus tampil di bangku terdakwa Pengadilan Negeri Gorontalo. Ia dituduh telah menghabisi hidup pacarnya sendiri. Namun, dalam sidang, yang selalu dihadiri sekitar 3.000 orang itu, Ainari tetap tak mau mengakui tuduhan Jaksa Nyonya Maaruf Soleiman. Sidang ini memang menarik masyarakat. Kasusnya tergolong jarang, melibat tertuduh yang diduga lesbian. Selain itu, kasus ini pun diduga punya kaitan dengan peristiwa pembunuhan sebelumnya yang masih misterius. Perkara ini pun melibat seorang terpandang di daerah ini. Usman Podungge, yang menjabat Ketua Majelis Dakwah Islam Kecamatan Tapa, dituduh berkomplot dengan adiknya, Alnari. Keintiman Ainari dengan Fatma alias Ina itu sendiri dimulai ketika Fatma berpisah dengan suaminya. Waktu itu Fatma, yang sudah menjadi pegawai negeri, terpaksa melepaskan suaminya yang ternyata terlibat G-30-S/PKI. Tak lama setelah ia hidup menjanda, Fatma akrab dengan Ainari, teman lamanya yang, kata orang, bersifat kelaki-lakian. Demikian keterangan yang diperoleh wartawan TEMPO, Phill M. Sulu dari berbagai sumber. Agaknya, Ainari, yang kabarnya belum pernah bersuami, memang amat menyayangi Fatma dan tak mau kehilangan wanita itu. Dengan caranya sendiri, ia mengawasi kekasihnya. Tampaknya, Fatma, meski sudah lebih 13 tahun "kumpul kebo" dengan sejenisnya, tak bisa melupakan bekas suaminya. Apalagi kini anaknya, Sukri, yang didapat dari suaminya, tentu, sudah waktunya dikhitan. Niat untuk kembali berkumpul dengan suaminya semakin besar. Dan diam-diam, entah bagaimana ceritanya, dicapai kata sepakat dengan suaminya. Maret tahun ini, mereka akan rujuk. Tentu saja, Fatma tak menceritakan niat ini kepada Ainari. Kepada Ratna Pakaya, teman sejawatnya, Fatma pernah memberitahukan rencananya ini sekaligus menceritakan ketakutannya kepada Ainari. Mendekati hari rujuk itu, Fatma menjadi lebih tak tenang. Kepada Ainari ia hanya mengaku sering gelisah dan jantung berdebar-debar. Naluri Ainari agaknya cukup tajam. Ia mencium sesuatu yang tak beres pada Fatma, dan segera diselidikinya. Akhirnya rencana "teman hidup"-nya itu diketahuinya juga, meski ia untuk sementara tetap diam. Kesedihan hatinya hanya dituangkan dalam selembar surat, yang diberi judul "Sekilas Pikat". Surat itu bertutur tentang perasaannya terhadap Fatma. Suatu hari, 19 Februari, Fatma minta dicarikan obat dukun untuk menyembuhkan jantungnya yang berdebar-debar itu. Ainari langsung menyanggupinya, dan berjanji esok malam akan membawakan obat itu ke rumah Fatma. Esok paginya, Fatma diketahui lenyap dari rumahnya. Semula disangka ia sedang menggarap sawah miliknya. Tapi ditunggu sampai siang hari, ia tetap tak muncul. Desa Ayula Utara pun, tempat tinggal Fatma, gempar. Petang hari, seorang penduduk menemukan sesosok mayat wanita di sungai. Dan mayat itu memang Fatma, yang hilang sejak subuh. Hasil visum dokter menyatakan, dalam rongga mulut dan lambung wanita itu terdapat cairan putih, sekitar 250 gram. Setelah diperiksa, ternyata itu bahan kimia jenis pestisida organo fosfat (racun hama). Selain itu, wajah Fatma juga menunjukkan adanya bekas-bekas pukulan benda keras. Polres Gorontalo segera mengusut kasus pembunuhan ini. Salah seorang yang diperiksa intensif adalah Ayuba Hutu Pulilati, 79, salah seorang paman Fatma. Pada mulanya, paman yang tinggal di belakang rumah Fatma ini mengaku tak melihat keponakannya di hari ia hilang. Namun akhirnya, dengan bercucuran air mata ia mulai bercerita. Malam itu, 19 Februari, ia berjumpa dengan Fatma yang berjalan beriringan dengan Ainari dan Usman. Waktu itu, ia hanya sempat bertegur sapa sejenak. lalu langsung pulang dan tidur. Belum lama Ayuba tidur, pintu rumahnya diketuk orang. Ternyata, Ainari dan Usman yang bermaksud menitipkan sesuatu. Titipan itu, tak lain, mayat Fatma dalam karung goni. Tentu saja Ayuba keberatan, tapi penjual jagung ini tak kuasa menolak, sebab diancam Ainari dan abangnya. Ayuba lantas memberi tahu istrinya, yang karena ketakutannya lantas kabur dari rumah mereka keesokan harinya. Menjelang magrib, 20 Februari, Anairi dan kakaknya itu datang lagi ke rumah Ayuba, menjemput barang titipannya. Berdasarkan penuturan Ayuba inilah, Anairi mulai diperiksa polisi. Meski ia menyangkal tuduhan membunuh Fatma, polisi berhasil mendatangkan Syarifuddin Gobel, yang kesaksiannya memberatkan Ainari. Menurut saksi, dua hari menjelang pembunuhan itu, Ainari memaksa dia memberikan racun hama yang agak keras, tapi ia menolak. Gagal dari saksi, Ainari berhasil mendapatkan Basudin Diazinon dari Hamsyah Salamanya, juga karyawan puskesmas Tapa demikian kesaksian Syarifuddin. Racun ini identik dengan cairan yang ada dalam tubuh Fatma. Pekan ini jaksa akan membacakan tuntutannya. Salah seorang saksi, Rusmin Lihawa dalam kesaksiannya malah menyangkutkan perkara pembunuhan ini dengan peristiwa pembunuhan yang terjadi tiga tahun silam. Menurut dia, korban pernah bercerita tentang keterlibatan Usman, kakak Ainari, dalam kasus kematian pembantu rumah tangga, Aisyah Abas, yang ditemukan tewas tergantung. Namun, setelah diautopsi, ternyata wanita itu mati karena abortus. Tak lama setelah itu, seorang pria bernama Idris juga ditemukan tewas tergantung di dalam hutan. Mayat ini sudah mulai membusuk. Dengan bisik-bisik Fatma pernah bercerita pada Rusmin bahwa Usmanlah yang bertanggung jawab terhadap semua pembunuhan itu. Juga terhadap seorang pembantu rumah tangga orangtuanya, yang ditemukan mati. Sekali lagi, semua itu sepanjang penuturan Fatma (konon), yang orangnya juga sudah tiada. Erlina Agus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini