Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Hukum dan nasib

Yenni tan melapor ke polisi, di aniaya camat waru, achmad sudjianto dalam kasus sengketa tanah antara emmy handayani & pt makarya binangun. tiba-tiba dalam bap (berita acara pidana) ia berubah jadi terdakwa.(hk)

21 Desember 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI namanya baru nasib: semula, Yenni Tan melaporkan ke polisi bahwa dirinya dianiaya Camat Waru, Drs. Achmad Sudjianto. Camat itu, tuduh Yenni, telah merenggut tangannya serta membenturkan kepalanya ke palang besi. Ternyata, setelah diperiksa polisi, justru dia bersama kakaknya, Emmy Handayani, dan adiknya, Yulianto, yang menjadi terdakwa. Persoalan berasal dari sengketa tanah antara Emmy Handayani dan PT Makarya Binangun sejak 1982. Tanah Emmy seluas 2.000 m2, di Desa Janti, Kecamatan Waru, Sidoarjo, terletak di pintu keluar proyek perumahan KPR BTN yang sedang dibangun PT Makarya. September 1982, tanpa diketahui Emmy, pihak Makarya mengaspal tanah untuk dijadikan jalan masuk ke perumahan. Bahkan, di situ dibangun puia gardu Satpam, dan jalan diberi palang besi serta digembok. Untuk menyelesaikan kasus itu, Emmy memberi kuasa kepada adiknya, Yenni Tan, dan suaminya, Sunandar. "Kok, enak saja membangun tanah orang tanpa izin," ujar Yenni. Padahal, sebelumnya, Direktur Makarya, Andy Suwatdi, pernah mengundang Emmy makan malam bersama di Hotel Hyatt, Surabaya, dan meminta kasus itu diselesaikan secara damai. Andy ketika itu berniat membeli tanah yang telah diaspal itu seluas 1.000 m2, sedangkan sisanya akan ditukar dengan rumah baru. "Ternyata, janji-janji yang diberikan hanya bualan belaka," kata Yenni, sengit. Begitu juga rencana Suwatdi untuk menukar lokasi tidak jauh dari tempat semula. "Tidak tahunya, tanah itu hanya disewa selama 20 tahun dari petani. Siapa yang mau?" tutur Yenni. MERASA dipermainkan, Yenni mengadukan perkara ini ke LBH Surabaya, DPRD, dan Bupati Sidoarjo. Anehnya, Bupati Sidoarjo, Suwandi, malah menegaskan bahwa tanah itu telah dibebaskan pihak Makarya dengan ganti rugi Rp 30 juta. "Karena itu, buldoser boleh jalan terus membuat jalan," ucap Suwatdi kalem. Tapi, ucapan itu tidak menurunkan semangat para penuntut. Giliran Camat Waru, Drs. Achmad Sudjianto, yang didesak agar jalan masuk ke proyek ditutup saja. Tetap tanpa hasil. Akhirnya kesabaran mereka habis. Pada 22 September 1983, Yulianto, pengusaha pabrik tegel, bersama beberapa buruhnya datang ke lokasi sengketa dan menancapkan papan pengumuman: "Bukan jalan umum, tanah ini belum dibayar". Keesokan harinya Yulianto kembali memarkir truknya melintang di jalan. Sementara itu, Yenni bersama suaminya memotret papan pengumuman dan menyiapkan sebuah tape recorder. Ketika aksi itu berlangsung mendadak, Camat Sudjianto datang ke lokasi. Menurut cerita Yenni, bagaikan cowboy, Sudjianto melompat dari jip safari yang masih berjalan pelan-pelan, mengejar Yenni. "Tangan saya direnggut-nya dan kepala saya dibenturkan ke palang pintu besi," ujar Yenni kepada TEMPO. Bukan itu saja, camat, yang maslh berseragam pamong praja itu, langsung mencabut pistol, berjalan ke arah Sunandar yang membawa kamera. "Ayo potret, kamu mau mati, ya?" teriak Sudjianto, sambil menodongkan pistolnya. Keesokan harinya, Yenni, suaminya dan Emmy, melapor ke polisi. Tapi berita acara pemeriksaan baru selesai setahun kemudian. Sedangkan Camat, yang dikenal "main koboi" itu, baru diperiksa Maret 1985. Menurut Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang ditulis oleh Lettu Pol. Sukarso "Bapak Camat saya periksa dalam perkara tindak pidana 2 di muka umum." Tapi apa lacur, seluruh BAP yang dibuat ternyata untuk tersangka Yenni, Emmy, dan Yulianto, bukan untuk camat yang telah dilaporkan Yenni menganiaya dirinya. "Padahal, BAP yang saya teken, semua lembarannya menyebutkan saya sebagai saksi, begitu juga yang untuk Emmy," kata Yenni lantang. "Tiba-tiba saya dipanggil kejaksaan disodori surat dakwaan, tanpa ditanya duduk perkara yang sebenarnya," tambahnya. Yenni kemudian meminta fotokopi BAP-nya di Pengadilan Negeri Sidoarjo. Ternyata, pada halaman terakhir terdapat perubahan, kata "saksi" menjadi terdakwa. Penyulapan BAP itu diprotes Wiyono Subagyo, penasihat hukum Yenni, di persidangan. Dalam eksepsinya, Wiyono menganggap, "BAP itu telah menyimpang dari pasal 75 (1) dan pasal 51 KUHAP." Jika penyidik mau mengubah BAP-nya, harus dilakukan pemeriksaan ulang. Bukannya main ubah saja," ujar Wiyono. Akibatnya, pengadilan, dalam sidang Desember lalu, memutuskan perkara itu tidak bisa diterima. Hakim memerintahkan polisi menyempurnakan BAP hasil sulapan itu. Namun, Yenni dan saudara-saudaranya tetap belum puas. Sebab, perkara penganiayaan oleh Camat Sudjianto tidak ada kabarnya. "Sudah tiga tahun saya mencari keadilan, saya akan tetap mempermasalahkannya," tutur Yenni. Camat Sudjianto, kepada TEMPO, membantah keras tuduhan Yenni. "Saya tidak menodong, kok, malah diisukan mau menembak orang apalagi dibilang membenturkan kepala cewek dan menganiayanya," ujar camat kelahiran Magelang itu. "Saya hanya ingin aman saja waktu itu," katanya. Rudy Novrianto Laporan Saiff Bakham (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus