PERTAMA kalinya Departemen Tenaga Kerja akan bertindak tegas terhadap pengusaha yang menganggap remeh buruhnya. Tak kurang dari 10 pengusaha Jakarta -- mulai dari elektronik sampai garmen -- dalam waktu dekat ini akan dimejahijaukan. Mereka dianggap membandel karena membayar buruhnya di bawah upah minimal, Rp 1.600 per hari kerja. "Mereka akan diadili agar menghormati hukum," kata Dirjen Bina Hubungan Ketenagakerjaan dan Pengawasan Norma Kerja (Binawas) Departemen Tenaga Kerja, Suma'mur Prawira Kusumah. Tindakan pemerintah itu bukan diambil dengan mendadak. Selama ini, diam-diam, banyak pengusaha yang menggaji pekerjanya di bawah batas kelayakan. Tahun lalu, di Jakarta saja setidaknya ada sekitar 100 pengusaha dalam negeri yang ketahuan membayar pekerjanya kurang dari upah minimum itu. Setelah diperingatkan, sebagian besar pengusaha itu memang akhirnya membayar kekurangan upah tersebut. Tapi sebagian pengusaha rupanya mencoba tak menghiraukan peringatan tersebut. Akibatnya, sekitar 10 orang pengusaha di Jakarta terpaksa diperkarakan. Nasib serupa juga bakal menimpa dua pengusaha di Bekasi dan dua di Bogor. Mereka bisa diancam hukuman 3 bulan penjara atau denda Rp 100 ribu. Ternyata, seorang pengusaha tekstil di Karanganyar, Surakarta, Jawa Tengah, Tirto Rahardjo, 48 tahun, sudah lebih dulu menjadi kelinci percobaan undang-undang itu. Direktur Utama PT Bengawan Tekstil itu, pekan-pekan ini, terpaksa duduk di kursi terdakwa gara-gara soal upah. Ia dituduh tidak membayar upah pokok minimum kepada 712 orang pekerjanya, sejak Mei hingga September 1989. Menurut Jaksa Made Amin, sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 310/Men./1988, setiap perusahaan PMDN harus memberikan upah minimum Rp 1.100 per hari kerja. Tapi selama masa kerja tadi, kata jaksa, ternyata Tirto cuma membayar Rp 1.030 sampai Rp 1.090. Setidaknya Rp 2,8 juta hak para pekerja tak dibayarkannya. Kecuali itu, masih dalam dakwaan jaksa, Tirto tak pernah mengajukan permohonan penangguhan atas pelaksanaan ketentuan itu kepada Menteri Tenaga Kerja. "Kalau memang ia tak mampu membayar, kan bisa mengajukan keberatan ke Menteri Tenaga Kerja," kata Kakanwil Depnaker Karanganyar, Boestami Azis, yang mengaku telah tiga kali memperingatkan Tirto. Pengacara Tirto, Hendra Widjaya, sebaliknya menganggap perkara itu tak selayaknya diteruskan ke pengadilan. Alasannya, para petugas Depnaker yang mengusut kasus itu bukanlah penyidik (Polri), sebagaimana ditentukan hukum acara (KUHAP). Selain itu, kata Hendra, jumlah upah pekerja di perusahaan kliennya Mei sampai dengan September 1989 tersebut sebenarnya hasil kesepakatan pihak direksi dengan para pekerja, yang diwakili pengurus SPSI di perusahaan itu. Dalam kesepakatan tertulis itu, para pekerja bisa menerima alasan bahwa perusahaan sedang merugi. Beberapa mesin di pabrik itu, misalnya, ketika itu tak beroperasi. Kesepakatan itu, ujar Hendra lagi, juga sudah diketahui Kanwil Depnaker setempat. Toh Kakanwil Depnaker Karanganyar, Boestami Azis, menilai kesepakatan tadi tidak bisa dijadikan alasan. "Kan sudah ada ketentuannya. Ketentuan itu justru untuk melindungi buruh," kata Boestami. Mungkin Boestami benar. Tapi persoalannya, patutkah perkara begitu sampai ke pengadilan. Menurut Dirjen Binawas Depnaker, Suma'mur, upaya hukum di atas terpaksa ditempuh untuk mendidik masyarakat, khususnya kalangan pengusaha. "Sudah sering kita memberikan penyuluhan soal upah minimum itu. Apalagi tahun ini sudah dicanangkan sebagai tahun upah," kata Suma'mur. Hp.S., Slamet Subagyo (Yogyakarta), Tri Budianto S. (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini