PASAL penggelapan asal-usul seseorang (Pasal 277 KUHP) kembali dimanfaatkan peradilan pidana Indonesia. Pekan-pekan ini, sepuluh orang tersangka penyelundup sembilan bayi -- tujuh lelaki dan dua perempuan -- ke Malaysia, Nyonya Bong Kim dan kawan-kawan, diseret jaksa ke Pengadilan Negeri Singkawang, Kalimantan Barat, dengan pasal tersebut. Pasal yang mengancam pelakunya maksimum 6 tahun penjara ini pertama kalinya -- sejak dilahirkan seabad lalu -- diterapkan di pengadilan dalam kasus tertukarnya bayi Dewi-Cipluk, Juni 1988, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Komplotan Bong Kim, 48 tahun, dibekuk polisi Distrik Kuching di Kampung Telaga Air, Sibu, Serawak, Malaysia, pada Agustus silam. Ketika itu, mereka sedang memboyong sepuluh bayi berusia 2 sampai 3 bulan untuk diselundupkan ke negeri jiran itu. Hanya saja, polisi cuma bisa menahan enam wanita Kalimantan Barat dan tiga lelaki awak speedboat -- yang digunakan untuk membawa bayi itu. Sedangkan dua wanita lainnya, Bong Kim dan Moi Moi, lolos ke hutan. Di pemeriksaan awal, komplotan itu mengaku telah melakukan "bisnis bayi" itu sejak sebulan sebelumnya. Mereka membeli bayi dari keluarga Cina miskin di Singkawang dan Pontianak, dengan harga antara Rp 200 ribu dan Rp 500 ribu. Orok itu kemudian dijual kepada seorang tauke di Serawak seharga Rp 1 juta (bayi laki-laki) dan Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribu (bayi perempuan). Si tauke selanjutnya menjual bayi-bayi itu kepada warga Malaysia, seharga Rp 2-3 juta. Pengadilan Serawak, awal September lalu, cuma menghukum mereka karena memasuki wilayah Malaysia secara ilegal. Masing-masing divonis 2 bulan penjara dan denda sekitar Rp 1,3 juta. Sebulan kemudian, bayi-bayi tersebut -- seorang bayi lelaki meninggal di RSU Serawak -- dikembalikan ke Indonesia. Begitu juga para terhukum. Setelah menjalani hukuman di Kuching, mereka dikembalikan ke Indonesia. Belakangan, Bong Kim ditangkap polisi sewaktu ia kembali ke Kalimantan Barat. Hebatnya, wanita yang mengaku cuma bekerja sebagai penjual kue itu tertangkap ketika mencoba menyelundupkan dua bayi lelaki bersama Lusi -- masih buron -- dan tujuh kawanannya. Berkat penangkapan itu, Bong Kim dan komplotannya bisa diseret ke meja hijau. Jaksa membagi perkara itu dalam lima berkas, yang disidangkan secara terpisah. Perkara pertama dengan terdakwa Bong Nyat Lan alias Bong Kim. Sedangkan terdakwa di perkara kedua adalah pemilik speedboat, Tjhai Syak Pit, dan dua anak buahnya, serta enam wanita yang memboyong bayi tadi ke perbatasan. Perkara ketiga sampai kelima menyangkut kasus percobaan penyelundupan dua bayi lelaki -- Bong Kim masuk juga selaku terdakwa dalam perkara ini. Di persidangan, para terdakwa mengaku cuma orang suruhan Moi Moi. "Kita cuma bawa, semua Moi Moi yang mengatur," ucap Bong Kim. Menurut Bong Kim, Moi Moi yang mengatur, mulai dari pencarian, pengiriman, sampai penyerahan bayi-bayi itu. Hanya saja, tepatkah penggunaan Pasal 277 KUHP untuk kasus ini? Sebab, dalam sejarah hukum pidana kita, penggunaan pasal itu baru pertama kalinya dalam kasus bayi Dewi-Cipluk. Ketika itu, pengadilan menganggap Nuraini terbukti sengaja menukar Cipluk dengan Dewi dan memvonis wanita itu 6 bulan penjara. Baik Kepala Kejaksaan Negeri Singkawang, Supriyono Yudho, maupun Hakim T. Sihite menganggap penerapan pasal itu cukup tepat. Apalagi, "dibandingkan kasus Dewi-Cipluk, yang cuma karena kelalaian, kasus penyelundupan bayi ke Serawak ini memang punya unsur kesengajaan," kata Sihite. Akibat ulah komplotan Bong Kim tadi, memang hingga kini tak jelas siapa orangtua kandung bayi-bayi tersebut. Pendapat senada juga diutarakan ahli hukum pidana Dr. Andi Hamzah. "Dalam kasus itu, identitas bayinya pasti dipalsukan," ujarnya. Menurut Andi Hamzah, Pasal 277 itu semula diterapkan Belanda di Indonesia untuk kasus pemalsuan status bangsawan agar terhindar dari kerja paksa, misalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini