SELAMA ini banyak pengamat hukum yang menyayangkan Mahkamah Agung (MA) tidak punya hak uji materiil (judicial review) terhadap undang-undang. Menurut undang-undang, MA hanya berhak menguji secara materiil peraturan di bawah undang-undang. Karena itu, misalnya, undang-undang antisubversi, yang dianggap banyak pengamat sebagai produk orde lama, tak bisa dikesampingkan mahkamah. Ternyata, diam-diam Makamah Agung sudah melakukan pengujian materiil terhadap undang-undang. "Dalam hal produk hukum dari MA, yang berupa surat edaran (SEMA), MA sering secara sembunyi-sembunyi melakukan pengujian materiil itu," kata Kolonel Ahmad Roestandi di seminar "Kewenangan MA Membuat Peraturan Perundangan dalam Kehidupan Kenegaraan Berdasarkan UUD 1945" di Universitas Islam Nusantara (Uninus), Bandung, Rabu pekan lalu. Contohnya, berbagai SEMA, antara lain SEMA yang menghapuskan beberapa ketentuan dalam KUH Perdata (BW), pembatasan pelaksanaan putusan serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad), dan penghapusan lembaga sandera (gijzeling). Padahal, "Pembuatan peraturan SEMA, yang mengikat umum seperti itu, termasuk wilayah hitam yang tak boleh dijamah MA," kata Roestandi, penyaji tunggal di seminar yang dihadiri sekitar 160 orang peserta tersebut. Mestinya, masih menurut Roestandi, anggota Komisi III DPR dari F-ABRI, peraturan yang dibuat MA hanyalah sebatas petunjuk bagi pejabat peradilan. Tapi tidak melampaui pengaturan yang menyangkut hak dan kewajiban warga negara, yang menjadi wewenang lembaga pembentuk undang-undang. Begitu juga dalam soal produk-produk yurisprudensi MA. Nah, "Kalau MA sudah melakukan kekeliruan, siapa lagi yang akan mengujinya? Kecuali yang di atas, Tuhan," tambah Roestandi. Pendapat itu dibantah Hakim Agung Prof. Busthanul Arifin, yang menjadi salah seorang pembahas di acara itu. Menurut Busthanul, apa yang diutarakan Roestandi itu bukanlah termasuk kategori wewenang pengujian materiil MA. Tapi, itu semacam perluasan wewenang MA dalam membuat peraturan (rule making). Lagi pula, "Pembuatan produk hukum SEMA itu masih termasuk wilayah putih wewenang MA," kata Ketua Muda Bidang Peradilan Agama MA itu. Menurut Busthanul, dalam soal-soal tertentu yang cukup prinsipiil, MA dapat mengesampingkan ketentuan dari perundang-undangan produk Belanda, yang secara formal masih berlaku. Dalam soal putusan serta-merta itu, misalnya, MA hanya bermaksud agar SEMA itu sebagai petunjuk saja, supaya pengadilan lebih hati-hati. Semacam pembatasan sekaligus jaminan. "Supaya jika putusan perkaranya berubah, tak sulit mengembalikannya," tambahnya. Toh peserta seminar itu masih juga ada yang mencoba menguak wewenang pengujian materiil MA, yakni menguji berbagai ketentuan di bawah undang-undang. Menurut beberapa peserta, banyak peraturan perundangan yang bertentangan dengan undang-undang, tanpa dipersoalkan MA. Salah seorang peserta seminar mempertanyakan salah satu contoh di mana grosse akta hipotek, yang nota bene diatur dalam BW, bisa dibekukan hanya oleh peraturan menteri. Padahal, mestinya oleh undang-undang. "Sejauh mana kewenangan MA dalam mengawasi tindakan itu?" tanyanya. Untuk soal itu, Busthanul mengembalikannya pada ketentuan perundang-undangan tadi. Bagaimanapun, katanya, MA hanya bisa menguji masalah itu jika ada perkara. "Jadi, ajukan saja sebagai perkara," ucap Busthanul. Artinya, tanpa jadi perkara, peraturan itu tetap saja centang-perenang. Atau seperti cerita Busthanul tentang seorang sarjana hukum Indonesia, yang ditanya temannya di luar negeri tentang keadaan hukum Indonesia. "Lihatlah situasi lalu-lintas di Jakarta, begitulah keadaan hukum Indonesia," jawabnya. Laporan Riza Sofyat (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini