Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RENCANA Dewan Perwakilan Rakyat membubarkan Komisi Aparatur Sipil Negara tak lantas membuat Irham Dilmy kelimpungan. Alih-alih menentang, Wakil Ketua Komisi Aparatur ini malah mempersilakan lembaganya dibubarkan bila DPR dan pemerintah memang menghendakinya. "Kalau tidak diperlukan lagi, bubarkan saja," kata Irham, Rabu dua pekan lalu.
Irham berupaya menularkan sikapnya kepada hampir 70 pegawai Komisi Aparatur. Dia melarang pegawai menentang pembubaran lembaga tempat mereka bekerja. Irham pun tak mendorong upaya mencari dukungan publik supaya Komisi Aparatur tetap dipertahankan. "Ada yang mau bikin gerakan ‘save KASN’. Saya bilang jangan," ujarnya.
Irham menganggap lembaganya bisa menjaga eksistensi tanpa harus membentengi diri dari ancaman pembubaran. Menurut dia, pengawasan yang selama ini dilakukan Komisi Aparatur atas penggantian pejabat pemerintah pusat dan daerah dengan sendirinya menunjukkan pentingnya lembaga itu. "Publik pasti berpikir, ada komisi ini saja jual-beli jabatan masih terjadi. Apalagi kalau tidak ada."
Rencana pembubaran Komisi Aparatur kembali mencuat tak lama setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Bupati Klaten Sri Hartini pada 30 Desember tahun lalu. Sri diduga menerima suap dari pegawai yang hendak naik jabatan. Penyidik KPK menyita uang lebih dari Rp 2 miliar di rumah dinas Sri.
Dua pekan setelah itu, Komisi Aparatur merilis perkiraan jumlah uang dalam jual-beli jabatan di pemerintah daerah, yang mencapai Rp 35 triliun per tahun. "Kami mendapatkan informasi awal hal ini terjadi di hampir semua daerah," kata Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Sofian Effendi. Pada pengangkatan pegawai baru, Komisi Aparatur mensinyalir rata-rata uang "mahar" Rp 100 juta per orang. Sedangkan dalam pengisian jabatan kepala dinas, sogokan rata-rata Rp 1 miliar per jabatan.
Sepekan kemudian, DPR menyuarakan rencana pembubaran Komisi Aparatur. Rencana itu tertuang dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Draf revisi menghapus pasal tentang Komisi Aparatur, dari fungsi, tugas, wewenang, hingga keanggotaannya. Alasan DPR, fungsi pengawasan Komisi Aparatur tak jauh berbeda dengan fungsi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. "Kerja mereka tidak optimal," ujar Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan Arif Wibowo.
Arif menerangkan, sepanjang 2015 dan 2016, Komisi Aparatur Sipil Negara, yang dibentuk pada 2014, cuma mampu menghimpun 275 pengaduan tentang sistem karier pegawai. Menurut Arif, itu tak sebanding dengan total 4,4 juta aparat sipil negara. "Artinya, komisi ini tak proaktif mendengarkan aduan," kata anggota Komisi Pemerintahan DPR ini.
DPR sebenarnya telah membahas rencana membubarkan Komisi Aparatur sejak pertengahan tahun lalu. Kala itu, DPR memasukkan rencana revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dalam Program Legislasi Nasional 2015-2019. Usul revisi berasal dari Fraksi PDI Perjuangan. Tahun lalu, usul revisi masuk Program Legislasi Prioritas Tahunan.
Mulanya, revisi dimaksudkan untuk meminta pemerintah mengangkat tenaga honorer, pegawai tidak tetap, pegawai tetap non-pegawai negeri sipil, dan tenaga kontrak menjadi pegawai negeri. "Semangatnya memang seperti itu," ujar anggota Badan Legislasi dari Fraksi Partai Golkar, Mukhamad Misbakhun.
Belakangan, ruang revisi melebar. Saat pembahasan di Badan Legislasi, muncul usul menghapus Komisi Aparatur dari naskah rancangan undang-undang. Arif Wibowo dan sejumlah politikus PDI Perjuangan di Badan Legislasi paling lantang mengusulkan penghapusan itu. Sebagai Wakil Ketua Badan Legislasi, Arif merangkap Ketua Panitia Kerja Revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara.
Waktu itu, Arif dan kawan-kawan beralasan pembubaran Komisi Aparatur ini demi mengurangi lembaga yang fungsinya tumpang-tindih dan membebani anggaran negara. Mereka mengklaim rencana itu sesuai dengan keinginan Presiden untuk melakukan efisiensi kelembagaan negara. "Soal reformasi birokrasi, PDI Perjuangan sejalan dengan niat Presiden," kata Arif.
Sejumlah politikus Senayan yang mengetahui pembahasan revisi undang-undang ini menuturkan, ide awal pembubaran Komisi Aparatur berasal dari para bupati yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi). Ketika revisi undang-undang mulai dibahas, sejumlah bupati aktif melobi beberapa anggota DPR di Badan Legislasi. "Mereka mengeluhkan lamanya proses pengisian pejabat di daerah masing-masing," ujar seorang anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa.
Menurut para bupati, pengisian pejabat melalui lelang terbuka yang diawasi Komisi Aparatur bisa menghabiskan waktu berbulan-bulan. Padahal, dalam beberapa kondisi, ada jabatan yang mesti cepat diisi. Senayan kemudian mengakomodasi ide itu. "DPR menjadi pintu masuk para bupati," ujar seorang politikus Golkar.
Wakil Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Irham Dilmy mengaku pernah mendengar protes sejumlah bupati terhadap pengawasan yang dilakukan lembaganya. "Kami mendapat informasi bahwa kepala daerah melapor ke DPR," ucapnya. Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara Sofian Effendi menceritakan hal yang sama. "Mereka melobi DPR supaya bisa melakukan jual-beli jabatan," kata Sofian.
Arif Wibowo tak menyangkal adanya keluhan terhadap Komisi Aparatur dari sejumlah kepala daerah. Bahkan, menurut dia, keluhan juga datang dari sejumlah kementerian dan lembaga di Jakarta. "Fungsi Komisi Aparatur dianggap menghambat proses penggantian pejabat," ujarnya. Meski draf revisi menghapus Komisi Aparatur, Arif meyakini fungsi pengawasan tetap bisa dijalankan lembaga lain. "Pengawasan harus dipertahankan karena kami tak ingin ada jual-beli jabatan."
Ketua Umum Apkasi Mardani H. Maming membenarkan kabar bahwa lamanya proses penggantian pejabat daerah pernah dibahas dalam beberapa rapat resmi Apkasi. Namun dia menyangkal ada anggota Apkasi yang melobi DPR untuk membubarkan Komisi Aparatur. "Itu tidak benar," kata Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, ini.
Sejak diusulkan, gagasan pembubaran Komisi Aparatur bergulir cepat di Senayan. Rencana itu beberapa kali dibicarakan dalam rapat harmonisasi Panitia Kerja Revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang dipimpin Arif. Dari situ, rencana pembubaran Komisi Aparatur disepakati masuk draf revisi.
Usul pembubaran Komisi Aparatur kemudian dimasukkan ke draf laporan Ketua Panitia Kerja untuk dibahas di Badan Legislasi. Dalam draf yang salinannya diperoleh Tempo, tercantum 15 poin yang disepakati Panitia Kerja bersama pengusul revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Salah satunya: menghapus semua pasal yang terkait dengan Komisi Aparatur.
Laporan itu telah disampaikan Arif dalam rapat pleno Badan Legislasi pada 30 November 2016. Badan Legislasi kemudian menyetujui revisi undang-undang itu sebagai usul inisiatif DPR. Pada Selasa dua pekan lalu, rapat paripurna DPR sepakat mengusulkan pembahasan bersama revisi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara kepada Presiden Joko Widodo.
Presiden Jokowi punya waktu 60 hari untuk menentukan kelanjutan pembahasan revisi undang-undang itu. Dalam rapat kerja bersama Komisi Pemerintahan DPR pada Kamis pekan lalu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur mengatakan kementeriannya belum bisa mengambil sikap sepakat atas revisi undang-undang itu. "Harus dibicarakan dulu," ujarnya.
Prihandoko | Indri Maulidar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo