Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BOLA panas dugaan korupsi karnaval Asian Games XVIII di Surabaya melambung ke Syamsul Arifin, adik kandung Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi. Pengacara Alamsyah Hanafiah menyebut nama Syamsul dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. "Kami memiliki bukti bahwa Syamsul juga menerima uang," kata Alamsyah, Senin pekan lalu.
Dalam perkara ini, Alamsyah menjadi kuasa hukum Anjas Rivai, Bendahara Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Anjas menggugat ke praperadilan karena tak terima dijadikan tersangka oleh Kepolisian Daerah Metro Jaya. Alamsyah mengaku sudah menyerahkan salinan tanda terima uang dari panitia Asian Games yang diteken Syamsul ke hakim praperadilan.
Polisi juga menetapkan dua tersangka selain Anjas. Mereka adalah Doddy Iswandi, Sekretaris Jenderal KOI, dan Ihwan Agus Salim, Direktur PT Hias Gitalis Indonesia. Alamsyah juga menjadi kuasa hukum kedua tersangka yang ditahan sejak 5 Januari lalu itu.
Alamsyah menuding polisi tebang pilih dalam menetapkan tersangka. Menurut dia, PT Hias Gitalis hanya "boneka" dalam penyelenggaraan karnaval di Surabaya. Penyelenggara karnaval sesungguhnya adalah CV Cita Entertainment yang dibawa Syamsul. "Klien saya hanya korban," ujar Alamsyah.
Kepala Subdirektorat Korupsi Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Ferdy Irawan menolak disebut tebang pilih. Menurut dia, polisi juga mengantongi salinan tanda terima uang seperti yang ditunjukkan Alamsyah. Untuk memperjelas duduk perkara, polisi telah memeriksa Syamsul sebagai saksi. "Kami sudah meminta keterangan banyak saksi," kata Ferdy, Kamis dua pekan lalu. "Jika memang ada keterlibatan adik menteri, polisi tak akan tebang pilih."
Ferdy menambahkan, polisi mengusut dugaan korupsi proyek Asian Games setelah mendapat laporan beberapa kegiatan fiktif dalam karnaval sosialisasi di Surabaya pada akhir Desember 2015. "Ada juga dugaan kemahalan harga," ujar Ferdy.
Selain di Surabaya, karnaval sosialisasi Asian Games berlangsung di Banten, Balikpapan, Medan, Makassar, dan Palembang. Setelah mengendus bau korupsi di Surabaya, kepolisian menelisik dugaan penyimpangan dalam pawai di lima kota lain. Senin pekan lalu, Polda Metro Jaya menurunkan tim ke kota-kota tersebut.
PERMINTAAN itu datang ketika Ihwan Agus Salim menghadiri rapat penentuan vendor karnaval enam kota di kantor Komite Olimpiade Indonesia, FX Sudirman, Jakarta Pusat, pertengahan Desember 2015. Agenda rapat hari itu memilih enam dari sembilan perusahaan yang mendaftar sebagai calon pelaksana pawai Asian Games XVIII.
Menurut Alamsyah, Syamsul kala itu meminta "jatah" untuk menjadi penyelenggara karnaval. "Tapi CV milik dia tak memenuhi syarat," kata Alamsyah. Sebelum rapat, Syamsul mendekati Ihwan. Dia meminta Ihwan meminjamkan bendera PT Hias Gitalis. Ihwan langsung setuju karena dijanjikan menerima "bagian". Status Syamsul sebagai adik kandung Menteri Pemuda dan Olahraga, menurut Alamsyah, juga membuat Ihwan lebih yakin untuk meminjamkan perusahaannya.
Syamsul kemudian melobi Muddai Madang, Wakil Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia, untuk memenangkan PT Hias Gitalis. Tak perlu waktu lama, menurut Alamsyah, Muddai pun setuju. Tersangka Doddy Iswandi juga menyebutkan peran Muddai menunjuk Hias Gitalis ketika diperiksa polisi pada November tahun lalu.
Muddai membantah pernah cawe-cawe dalam proyek Asian Games. "Saya satu-satunya orang KOI yang enggak ikut campur urusan itu," katanya Kamis malam dua pekan lalu. Ihwal keterlibatan Syamsul, Muddai hanya mengatakan, "Dia itu subkontrak. Detailnya seperti apa, saya tidak tahu."
Pada 22 Desember 2015, sebagai Direktur Hias Gitalis, Ihwan meneken kontrak pelaksanaan karnaval senilai Rp 4,7 miliar. Namun, menurut Alamsyah, karnaval di Surabaya kemudian dikerjakan oleh perusahaan milik Syamsul, CV Cita Entertainment. Syamsul juga mendapuk dirinya sebagai ketua pelaksana karnaval Surabaya yang berlangsung serempak dengan pawai di lima kota lain pada 31 Desember 2015.
Dugaan penyimpangan anggaran karnaval di enam kota terungkap dalam audit "dengan tujuan tertentu" yang dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan ke DPR, pertengahan Oktober tahun lalu. Dalam audit khusus itu, auditor negara, misalnya, menemukan kelebihan pembayaran kegiatan karnaval di enam kota sebesar Rp 5,3 miliar-dari total anggaran Rp 27 miliar. Indikasi penggelembungan harga paling besar muncul di Surabaya. Dari nilai kontrak Rp 4,3 miliar, ada indikasi harga sejumlah item yang terlalu mahal sekitar Rp 1,3 miliar. Berdasarkan audit khusus inilah, menurut Ajun Komisaris Besar Ferdy Irawan, polisi memprioritaskan pengusutan karnaval Surabaya.
Seorang penyidik di kepolisian mengatakan, dari nilai kontrak Rp 4,3 miliar, Syamsul telah menerima uang dari Indonesia Asian Games Organizing Committee (Inasgoc) sebesar Rp 1,2 miliar. Dalam catatan pengeluaran, dana itu disebut sebagai "uang muka" pekerjaan karnaval. Sebagai Bendahara KOI dan Inasgoc, Anjas Rivai membayarkan "uang muka" itu pada akhir Desember 2015.
Inasgoc dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2015 pada 30 April 2015. Di dalamnya bercampur unsur Kementerian, gubernur provinsi tempat berlangsungnya Asian Games, pengusaha, dan perwakilan Komite Olimpiade Indonesia. Berdasarkan Keputusan Presiden, Inasgoc harus membentuk panitia pelaksana Asian Games. Panitia pelaksana itulah yang berwenang menggunakan anggaran. Masalahnya, sampai acara karnaval digelar di enam kota pada akhir Desember 2015, Inasgoc belum membentuk panitia pelaksana.
Polisi menetapkan Anjas sebagai tersangka antara lain karena dia mencairkan "uang muka" sebelum panitia pelaksana Asian Games terbentuk. Berdasarkan Petunjuk Teknis Panitia Asian Games, "Uang seharusnya dibayarkan setelah pekerjaan selesai," ujar si penyidik. Syarat lainnya, pembayaran baru bisa dilakukan setelah ada audit oleh inspektorat di Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Alamsyah menguatkan keterangan penyidik. Menurut dia, Anjas menyerahkan uang Rp 1 miliar kepada Syamsul pada 30 Desember 2015, satu hari sebelum pelaksanaan karnaval di Surabaya. "Syamsul memaksa Anjas memberikan uang tersebut," kata Alamsyah. Sedangkan Rp 200 juta sisanya dibayarkan dalam bentuk tiket pesawat dan kamar hotel di Surabaya.
Polisi juga menganggap penggunaan uang oleh Syamsul bermasalah. Polisi merujuk pada audit BPK yang menyebutkan, dari anggaran sekitar Rp 740 juta untuk uang muka karnaval, sekitar Rp 400 juta tidak bisa dipertanggungjawabkan. Misalnya, konsep karnaval tidak sesuai dengan rencana, dari pawai jalanan (road carnival) menjadi hanya panggung hiburan. Contoh lainnya, jumlah kamar hotel yang disewa lebih sedikit dari yang dilaporkan.
Uang diduga tak hanya mengalir ke Syamsul. Pada medio Februari 2016, polisi menemukan jejak transfer sebesar Rp 1,7 miliar dari Inasgoc ke rekening Hias Prima Gitalis, dengan keterangan "pelunasan kegiatan". "Uang tersebut dikirim oleh Anjas atas perintah Doddy," ucap seorang penyidik. Pada awal Maret lalu, Ihwan selaku Direktur Hias Prima Gitalis juga mengirimkan uang Rp 50 juta ke rekening Anjas. "Dugaan kami itu kick back," ujar si penyidik. "Itu sedang kami dalami."
Alamsyah tak membantah atau membenarkan soal uang Rp 50 juta tersebut. Yang pasti, kata dia, Syamsul terus mendesak Ihwan, Doddy, dan Anjas untuk mencairkan uang Rp 1,3 miliar-sisa anggaran karnaval Surabaya. "Klien saya menolak karena kasus ini sudah menjadi sorotan BPK," ucap Alamsyah. "Sisa uangnya juga sudah dikembalikan ke Inasgoc."
Tempo berusaha menghubungi Syamsul untuk meminta tanggapan. Kamis dua pekan lalu, dia sempat menjawab beberapa pertanyaan. Namun, di akhir wawancara per telepon itu, Syamsul meminta jawabannya tidak dikutip. "Saya menyerahkan sepenuhnya urusan kasus ini ke kepolisian," katanya. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi pun irit bicara ketika ditanya soal perkara yang melilit adiknya. "Silakan ditulis dengan fakta dan data yang benar," ujar Imam melalui pesan pendek.
SYAILENDRA PERSADA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo