ARANG kayu hampir tak ada harganya di kepulauan Riau: sekitar
Rp 15 ribu sampai Rp 20 ribu setiap ton. Itupun kalau ada yang
berminat beli. Padahal di Singapura atau di Batu Lahat,
Malaysia, hasil bakaran hutan itu punya pasaran baik. Inilah
yang sering disebut "penyelundupan tradisionil" oleh penduduk
setempat--memanfaatkan hasil ini untuk membiayai hidup
sehari-hari. Belum kelihatan ada usaha yang agak besar untuk
mengekspor arang Riau, kecuali koperasi milik Angkatan Laut
yang secara tetap memanfaatkan komoditi ini. Itu pula sebabnya
hingga sekarang arang tetap jadi bahan untuk diselundupkan
rakyat kecil tadi. Walau satu dua orang di antara mereka sudah
mencoba duduk dimuka Hakim dan menerima hukuman perbuatan itu
tentu saja terus berlangsung.
Di perairan Karang Banteng, bulan Maret lalu, kapal patroli Bea
& Cukai (BC) telah merazia sebuah perahu layar Sri Jaya.
Perahu ini, 50 ton, kedapatan tengah menerobos perbatasan hendak
melego arang ke Singapura. Ketika diperiksa petugas, mereka cuma
punya daftar muatan arang 17 ton padahal perahu itu bukan main
padat dan saratnya. Ketika isinya ditimbang di pelabuhan Tanjung
Balai Karimun, nah, benar saja: arang itu semuanya berbobot
lebih dari 48 ton. Tentu saja B (25), sebagai nakhoda, bersama
awak kapalnya harus mempertanggungjawabkan pekerjaan mereka.
Akhir Mei lalu perkara mereka diperiksa pengadilan.
Dalam sidang, B menyatakan bahwa arang dalam kapalnya itu milik
tauke, yang diangkut dari dapur arang di Bintan Utara. B hanya
menerima upah tambang belaka. Segala dokumen yang diperlukan
untuk pemerahuan, semuanya diurus oleh CV Arena. B yang udik ini
terlalu percaya pada keberesan surat angkutan yang telah diurus
orang yang lebih pintar darinya. Dan ini bukan kelalaian si
nakhoda semata. Sebab ia nemang betul-betul tak kenal peraturan
ekspor segala macam. Sehingga hlakim De Bur yang memeriksa
perkara ini berkeringat-keringat, ketika B cuma melongo waktu
ditanya prosedur ekspor.
Orang Upahan
Satu-satunya pembelaan tertuduh cuma: minta agar awak kapal
lainnya dibebaskan. karena mereka cuma mengikuti kerja nakhoda.
Tapi hakim geleng kepala. Katanya: "Senang sama senang, jadi
kalau susah semuapun harus ikut susah". Sang nakhoda diganjar
hukuman penjara tiga bulan dan S awak kapalnya kena dua bulan.
Perahu beserta isinya disita untuk negara. Hukuman tambahan bagi
B, dia harus membayar denda Rp 12.500. Tak ada yang keberatan -
baik jaksa maupun terdakwa.
Tauke K sendiri, yang mula-mula menjadi saksi dalam perkara B,
disusul kan pula ke pengadilan sebagai terdakwa. Dituduh
menyalahi ketentuan ekspor dan memanipulir jumlah muatan ketika
mengisi manifes. Ia dihukum satu setengah bulan penjara dan
denda Rp 15 ribu. Tak heran bila ada orang yang mempergunjingkan
perkara hukuman yang dijatuhkan di pundak B dan taukenya. K,
yang jelas memanfaatkan tenaga B untuk memperkaya diri sendiri,
cuma dihukum penjara dan denda sekian saja.Sedang B, yang cuma
orang upahan sekitar Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu, dan tak tahu
menahu urusan dagang di Singapura, telah menerima hukuman yang
cukup berat. Begitulah adanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini