Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ikan Besar Pelindung James Bon

TNI Angkatan Laut belum memberikan baju dan proyektil yang diperlukan polisi untuk mengungkap kebrutalan geng motor rambut cepak. Angkatan Laut juga dikabarkan menarik diri dari tim gabungan penyelidik kasus ini.

30 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UNTUK kedua kalinya surat itu dikirim ke kantor Polisi Militer TNI Angkatan Laut. Pengirimnya: tim gabungan penyelidikan kasus gerombolan sepeda motor di Jakarta. Seperti sebelumnya, surat yang dikirim pekan lalu itu berisi permohonan agar penyidik pihak Angkatan Laut menyerahkan baju yang tertembus peluru berikut proyektilnya.

"Hingga sekarang kedua barang bukti itu belum ada di tangan polisi," kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Jakarta Pusat Ajun Komisaris Besar Hengki Haryadi. Tim gabungan terdiri atas reserse Polres Jakarta Pusat serta penyidik Polisi Militer TNI Angkatan Laut dan Angkatan Darat. Di tim ini polisi sebagai pemimpinnya.

Proyektil dan baju yang diminta merupakan petunjuk penting pengusutan kasus geng motor rambut cepak yang mengamuk tiga dan dua pekan lalu di Jakarta. Proyektil itu berasal dari senjata api yang menyalak pada Jumat dinihari tiga pekan lalu dan menembus dada kanan Prajurit Dua Akbar Fidi Aldian. Akbar adalah anggota Batalion Infanteri Lintas Udara 503 Komando Strategis Angkatan Darat. Baju yang jadi "rebutan" itu milik Akbar. Adapun Kelasi Satu Sugeng Riyadi, anggota Lembaga Farmasi TNI Angkatan Laut, terkena serpihan peluru. Keduanya tertembak di Jalan Pramuka, Jakarta Timur.

Bersama puluhan teman mereka, Akbar dan Sugeng saat itu diduga usai berkonvoi dari sejumlah jalan di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dari sana, rombongan yang terdiri atas lebih dari seratus motor tersebut meluncur ke Jalan Pramuka, sebelum melanjutkan konvoi mereka ke arah Salemba. Di Jalan Pramuka itulah, selain memukul dan menyerang para anak muda di sana, yang menyebabkan seorang remaja tewas, geng motor rambut cepak tersebut parkir, berputar-putar, dan sekaligus memblokade jalur cepat jalan itu.

Ketika itulah muncul sebuah city car, yang dengan cepat dihadang gerombolan motor tersebut. Sempat adu mulut sebentar, tiba-tiba terdengar letusan senjata dua kali, dor, dor. Gerombolan itu langsung bubar. Di sana kemudian diketahui tersungkur Akbar dan Sugeng. Keduanya segera dilarikan dengan taksi ke Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto, Jakarta Pusat.

Polisi kesulitan mengungkap penembak­an itu. Jenis senjata tak bisa ditentukan. Dengan uji balistik, proyektil yang diminta itu akan menuntun penyidik kepada jenis senjata api yang digunakan pelaku, apakah berasal dari senjata gelap atau senjata organik milik aparat. Baju milik Akbar juga penting lantaran kadar jelaga yang terpapar di baju itu akan menunjukkan ia ditembak dari jarak dekat atau jauh. Termasuk untuk mengetahui arah tembakan: apakah dari depan atau punggung Akbar. "Proyektil dan baju itu menjadi kunci penembakan di malam itu," kata Hengki.

l l l

Puluhan sepeda motor berkumpul di kawasan Monumen Nasional ke arah Jalan Veteran, Jakarta Pusat, Kamis malam tiga pekan lalu. Suaranya menderu-deru, memekakkan kuping. Berambut cepak dan berbadan tegap, sebagian besar pengendara berikut yang membonceng sepeda motor itu memakai pita kuning di dada kanan mereka. Kamera CCTV yang terpasang di sejumlah kawasan menangkap jumlah sepeda motor geng rambut cepak itu sebanyak 79. Pemboncengnya menggenggam pedang samurai, balok, dan bambu.

Pemimpin kelompok itu membawa pengeras suara Toa. Lewat perangkat itu, ia berteriak memberi komando. Suaranya tegas. Ia meminta orang-orang yang berada di depannya dan menunggang motor itu siap menghadapi segala kemungkinan. "Musuh kita sudah jelas, jangan ragu menghadapi mereka. Bila perlu, kita gunakan senjata api milik kita untuk melawan senjata api yang mereka pakai," kata pria itu seperti ditirukan sumber Tempo.

Pemimpin ini, menurut sumber Tempo, berpangkat letnan satu dengan panggilan berinisial V. "Dia anggota TNI AL," kata sumber itu. Dia bukanlah tentara organik yang sehari-hari di dalam barak, melainkan seorang tentara di bagian kerohanian. Menurut sumber Tempo, orang inilah yang mengirim sejumlah pesan pendek (SMS) provokasi kepada para anggota TNI Angkatan Laut dan Darat. Mereka yang merespons SMS itu dan bergabung dengan gerombolan "geng cepak" adalah para "James Bon"—sebutan untuk para tentara yang biasa bertugas menjaga mes dan kebon atau tanah kosong milik TNI. Tapi perihal adanya SMS itu dibantah polisi. "Buktikan kepada kami kalau SMS itu memang ada," kata juru bicara Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, Komisaris Besar Rikwanto.

Yang pasti, dari kawasan Monas, kelompok ini bergerak ke arah Kemayoran dan sempat tertangkap kamera CCTV di kawa­san Kwitang. Konvoi tersebut berjalan dengan membentuk formasi garpu tala. Dua kelompok sepeda motor di depan memimpin dan puluhan sepeda motor lainnya mengikuti. Letnan Satu V berada persis di belakang kedua ujung garpu tala. Dua kelompok di depan bertugas sebagai penyapu dan memberi sinyal komando kepada Lettu V. Di perjalanan, gerombolan ini bertambah jumlahnya karena beberapa rekan mereka kemudian ikut bergabung.

Gerombolan ini menyisir kawasan Tanjung Priok, Kemayoran, Senen, dan Salemba. Mereka mencari anggota geng Y-Gen alias Young Generation, yang mereka tuduh pembunuh Kelasi Satu Arifin Sirih, rekan mereka. Selama perjalanan, gerombolan ini melukai belasan para pengendara sepeda motor yang tengah berkumpul di pinggir jalan, termasuk para pedagang kaki lima. Seorang remaja berambut gondrong, Anggi Darmawan, 19 tahun, yang tengah nongkrong di warung di Jalan Pemuda, menjadi korban. Anggi tewas terkena hantaman balok dan tusukan pedang samurai yang diduga dilakukan kelompok tersebut.

Teror geng cepak itu diduga kuat berasal dari kekecewaan mereka atas kematian Arifin pada 31 Maret lalu. Anggota staf khusus Panglima Komando Armada Barat ini tewas di tangan anggota trek-trekan sepeda motor di kawasan Pademangan, Jakarta Utara. Selama sepekan, kasus ini jalan di tempat. Polisi tak kunjung menangkap para pelaku. Para tentara tersebut berang dan kemudian diduga berinisiatif menghukum sendiri para pelaku. Pada 7 April lalu, mereka pun bergerak. Demikian pula esoknya. Pada teror pertama ini, seorang remaja, Ismail Soleh, 17 tahun, tewas terkena bacokan. Sedangkan puluhan lainnya luka-luka terkena bacokan. Menurut sumber Tempo, kebrutalan geng cepak itu ada sebabnya. "Mereka diduga menggunakan narkoba sebelum beraksi," katanya.

l l l

Komando Daerah Militer Jakarta Raya bergerak sigap dengan memeriksa personel mereka yang diduga terlibat gerombolan brutal itu. Para personel itu adalah Sersan Dua Yogi Pramana, Sersan Dua Jaka Trima, Prajurit Kepala Mazuri, dan Prajurit Satu M. Khotibul Imam. Keempatnya berasal dari Artileri Pertahanan Udara VI Tanjung Priok. Pangdam Jaya Mayor Jenderal Waris menyebutkan mereka ada dalam gerombolan brutal itu. "Kalau terbukti menganiaya, mereka akan ditindak," katanya.

Polisi juga tak mau ketinggalan. Mereka menangkap lima orang yang diduga menganiaya dan membunuh Arifin, yaitu Joshua Reynaldo Radja Gah, 21 tahun, Abdul Kahar alias Idung (22), Z alias Asoi (17), Adrian Pance, dan Michael Tri Fernando, yang diduga memprovokasi para tersangka agar mengeroyok Arifin. Sejumlah orang yang diduga ikut menyebabkan pembunuhan itu hingga kini masih dikejar polisi.

Tapi penangkapan ini, ujar sumber Tempo, tak membuat teman-teman Arifin tenang, termasuk para atasannya. "Mereka telanjur marah," kata sumber itu. Bentuk kemarahan itu salah satunya, ya, aksi gerombolan tersebut. Motor gerombolan ini, ujar sumber itu, tentara dari Angkatan Laut. Aksi gerombolan itu diduga sebenarnya diketahui atasan mereka yang menjadi pejabat teras di TNI Angkatan Laut. Pejabat ini pula yang diduga melindungi gerombolan itu dengan alasan esprit de corps. "Mereka tertutup karena khawatir tim gabungan akan mengungkap big fish (ikan besar) di balik gerombolan itu," kata sumber itu.

Sikap tertutup inilah, menurut sumber itu, yang menyebabkan penyelidikan kasus tersebut terancam membentur tembok. Tim gabungan yang dibentuk sejak kasus ini meletup bahkan nyaris bubar. Setelah tiga pekan berlalu dari peristiwa ­"Jumat dinihari berdarah" itu, nyaris tak ada perkembangan berarti dari penyelidikan kasus ini. Tak ada bukti dan saksi baru. Penyidik sudah mengetahui saksi kunci yang bisa mengungkap kasus ini, tapi tak bisa dibuka karena ada "perlindungan" dari teman-temannya. Pekan lalu, sumber Tempo lain bahkan menyatakan TNI Angkatan Laut telah mengundurkan diri dari tim gabungan. "Di tim gabungan kini hanya ada polisi dan TNI AD," katanya.

Tanda-tanda Angkatan Laut berniat mundur dari tim gabungan, ujar sumber ini, sudah terlihat sejak awal penyelidikan. Mereka, misalnya, enggan memberikan informasi apa pun kepada tim gabungan. Berbeda dengan Polisi Militer Angkatan Darat, yang mengumumkan pemeriksaan personel mereka, tak ada kabar perihal pemeriksaan internal yang dilakukan Polisi Militer Angkatan Laut. Sebaliknya, mereka terkesan cenderung "agresif", melakukan hal-hal yang semestinya ditangani polisi. Misalnya mengamankan proyektil dan baju milik Akbar. "Padahal kewenangan uji balistik ada pada polisi," kata sumber itu.

Dua pekan lalu, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono membuat pernyataan mengejutkan. Dia menyatakan proyektil dan baju itu sudah diserahkan kepada polisi. Tampaknya, Agus mendapat informasi yang keliru. Sebab, belakangan pernyataan tersebut dikoreksi Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Laut Laksamana Pertama Untung Suropati. "Proyektil dan baju itu masih kami simpan untuk dilakukan uji balistik," katanya. Pengujian ini, kata Untung, hingga sekarang masih dalam proses.

Untung juga membantah pihaknya keluar dari tim gabungan dan menutup informasi kepada tim. Ia mengatakan Polisi Militer Angkatan Laut masih intensif berkoordinasi dengan tim gabungan, khususnya polisi. Salah satu contohnya, ujar Untung, pihaknya telah menyerahkan Kelasi Satu Albert Tabra, yang menjadi saksi pembunuhan Arifin, untuk diperiksa polisi. "Hubungan kami masih sangat bagus dengan polisi, yang menangani kasus ini," katanya.

Ia juga menangkis kabar yang menyebutkan keterlibatan seorang perwira tinggi yang mengomandoi gerombolan geng cepak tersebut. "Dalam kasus ini, TNI Angkatan Laut adalah korban," katanya. Untung justru meminta polisi segera mengungkap pelaku kekerasan pada Jumat dinihari dua pekan lalu, termasuk pelaku penembakan di Jalan Pramuka, tersebut. "Itu jadi tugas polisi karena terjadi di area publik," katanya.

Mustafa Silalahi


Teka-teki di Seputar Geng Cepak

SALAH satu hal yang juga masih menjadi teka-teki dalam kasus kebrutalan geng motor cepak adalah soal city car yang dihadang gerombolan itu di Jalan Pramuka, Jakarta Timur. Hingga kini, mobil tersebut belum terlacak identitasnya. Dari berbagai pertemuan reserse yang Tempo ikuti, polisi kesulitan mengidentifikasi kendaraan tersebut lantaran informasi yang simpang-siur.

Padahal soal ini penting karena saat terjadi pertengkaran antara geng motor dan pengemudi mobil itulah meletus senjata api. Letusan itu menyebabkan dua anggota geng motor, Sugeng Riyadi dan Akbar Fidi Aldian, tersungkur. "Apakah tembakan itu dari arah mobil atau dari gerombolan itu sendiri, kami masih meraba-raba," kata seorang reserse kepada Tempo. Pihaknya juga belum yakin apakah mobil yang disebut-sebut itu jenis Yaris seperti dikatakan sejumlah orang.

Sumber Tempo menyebutkan hingga kini masih ada satu orang yang diduga dibawa gerombolan itu. Orang tersebut dibawa ke sebuah tempat dan kini belum kembali. Polisi tengah menelusuri kebenaran laporan itu. Polisi juga tengah meneliti sejumlah orang yang menjadi korban keganasan geng motor tersebut. Penyidik menyebutkan para korban tak saling kenal dan diduga mereka dianiaya secara acak. Sedangkan sumber lain mengatakan hal yang berbeda. "Aksi mereka ini terencana dan korbannya telah dipilih," ujar sumber itu.

Meski Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Waris telah mengumumkan nama anggotanya yang diduga hadir dalam gerombolan itu, peran mereka masih belum jelas. Padahal ini penting untuk mengungkap motif utama gerombolan itu. Menurut sumber Tempo yang dekat dengan tim gabungan, munculnya teror geng motor itu bukan semata karena kecewa atas penyidikan polisi terhadap pembunuhan Kelasi Satu Arifin Sirih yang dianggap lelet. Namun juga dipicu oleh persaingan antara TNI dan polisi, antara lain dalam jasa pengamanan di wilayah Tanjung Priok.

Yang mengejutkan, di tengah penyelidikan kasus ini, Kepala Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Inspektur Jenderal Untung S. Radjab pekan lalu mengganti Kepala Kepolisian Resor Jakarta Utara dan Kepala Kepolisian Sektor Pademangan. Sumber Tempo menyebutkan mutasi ini sebagai hukuman karena mereka lamban menangani kasus pembunuhan Arifin. Tapi juru bicara Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto, membantah kabar bahwa pencopotan di tengah "panasnya" penyelidikan kasus pembunuhan Arifin dan teror geng motor cepak itu merupakan hukuman. "Ini rotasi biasa," katanya.

Mustafa Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus