Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menjaga Daya Magis Indonesia

30 April 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Destry Damayanti *

DI tengah meningkatnya ketidakpastian ekonomi global, yang ditandai oleh perlambatan pertumbuhan ekonomi di dua negara besar Asia: Cina dan India, momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia masih terus berlanjut. Beberapa indikator ekonomi pada akhir kuartal pertama 2012 menunjukkan kinerja yang solid. Konsumsi semen, misalnya, meningkat hingga 18,2 persen dibanding periode yang sama pada 2011. Penjualan mobil juga meningkat 11 persen. Sedangkan indeks penjualan retail meningkat 11,3 persen.

Angka-angka itu menunjukkan aktivitas bisnis terus tumbuh. Konsumsi masyarakat yang terus meningkat didukung oleh kepercayaan konsumen yang makin baik. Hal itu tecermin dalam survei indeks kepercayaan konsumen yang digelar Bank Indonesia dan mencapai 107,3.

Pertumbuhan aktivitas bisnis tecermin pula dalam indeks produksi, yang mencapai 105,3 pada Februari 2011. Peningkatan yang pesat terutama terjadi di sektor makanan dan minuman, otomotif, serta konstruksi, yang memang lebih berorientasi pada pasar domestik.

Di sektor keuangan, kredit terus tumbuh dan per Februari 2012 mencapai 24 persen year on year. Kualitas kredit itu tetap terjaga dengan angka kredit seret (nonperforming loan/NPL) di tingkat 2,4 persen. Faktor positifnya: pertumbuhan kredit masih tetap dominan di sektor produktif ketimbang di sektor konsumtif. Hal itu terlihat dari kredit investasi dan modal kerja yang meningkat sebesar 33,2 persen dan 23,4 persen. Sedangkan kredit konsumsi terjaga di tingkat 19,6 persen.

Posisi Indonesia di mata investor asing juga terus membaik seiring dengan naiknya peringkat utang menjadi investment grade oleh Fitch dan Moody. Penanaman modal asing meningkat secara signifikan hingga mencapai US$ 19,5 miliar pada 2011, dari sekitar US$ 16 miliar pada 2010.

Belum lama ini produsen otomotif Jepang menyatakan Indonesia akan menjadi salah satu hub industry bagi principal otomotif mereka. Hal serupa terlihat di sektor bisnis retail, karena pelaku bisnis retail global terus merambah pasar Indonesia.

Di sektor keuangan, tingginya minat investor asing tecermin dengan banjirnya permintaan akan global bond pemerintah, yang diterbitkan pekan lalu. Banjir order surat utang itu mencapai US$ 7,9 miliar, sementara yang diserap oleh pemerintah hanya US$ 2,5 miliar.

Adapun kupon yang ditawarkan juga relatif rendah, yaitu 3,75 persen untuk tenor 10 tahun. Bandingkan dengan penerbitan surat utang tahun 2011, yang kuponnya sebesar 5,1 persen. Bahkan kupon 3,75 persen ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan di negara lain yang peringkat utangnya lebih tinggi, misalnya Rusia dan Italia, yang menawarkan kupon 4,3 persen dan 6,5 persen.

Momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sangat baik ini disebut pula oleh Jim O’Neill, mantan Kepala Ekonom Goldman Sachs yang saat ini menjadi CEO Goldman Sachs Asset Management. Dia adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep BRIC (Brasil, Rusia, India, dan Cina) pada 2001.

Dalam buku terbarunya, The Growth Map (2011), O’Neill mengatakan, setelah BRIC, ada 11 negara lain yang berpeluang menjadi kekuatan ekonomi global baru, yang disebut Next Eleven (N-11). Selanjutnya, N-11 dikelompokkan kembali menjadi N-4, yang merupakan negara-negara yang dalam jangka menengah berpeluang tumbuh cepat, seperti yang dialami BRIC. Indonesia bersama Meksiko, Turki, dan Korea masuk kelompok N-4 dan diperkirakan ke depan memainkan peran penting dalam perekonomian global.

Keyakinan tinggi terhadap ekonomi Indonesia juga disampaikan oleh Bank Dunia. Dalam salah satu laporannya, lembaga keuangan internasional itu menyebutkan Indonesia akan menjadi salah satu dari tujuh negara penyumbang pertumbuhan ekonomi global terbesar pada 2025. Negara lainnya di antaranya Cina, Amerika Serikat, India, Jepang, dan Inggris.

Pasar domestik yang kuat, struktur demografi yang sehat dan terkonsentrasi pada usia produktif, serta sumber daya alam yang berlimpah diimbangi fundamental ekonomi makro yang relatif kuat membuat Indonesia menjadi salah satu pusat tujuan investasi baru bagi investor global. Kajian Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan, sementara pada 2004 Indonesia berada di peringkat ke-19 dalam kemampuan menarik pemodal asing secara global (untuk kelompok negara berkembang), pada 2010 peringkatnya melonjak menjadi urutan ke-8, di bawah Cina, Brasil, Rusia, Meksiko, India, Polandia, dan Turki.

Peningkatan investasi asing ini diikuti pula oleh penanaman modal dalam negeri. Akibatnya, rasio investasi terhadap produk domestik bruto terus meningkat menjadi 32 persen pada 2011 dari hanya 22 persen pada 2004. Posisi ini kurang-lebih sama dengan saat perekonomian Jepang tumbuh pesat pada 1950-an, juga Korea pada 1980-an, dengan prioritas pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Pola ini semestinya dapat ditiru oleh Indonesia. Berfokus pada pembangunan infrastruktur tidak dapat ditunda lagi jika Indonesia menginginkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan berkesinambungan. Adanya Master Plan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia tentu akan mempermudah pemerintah dan swasta merealisasi pembangunan investasi dan infrastruktur karena adanya skala prioritas dan spesialisasi tiap wilayah sesuai dengan potensi dan kebutuhannya.

Ironisnya, dalam survei Global Competitiveness Index (GCI), yang disampaikan dalam World Economic Forum 2012, peringkat GCI Indonesia pada 2011 turun menjadi ke-46 dari urutan ke-44 pada tahun sebelumnya (jumlah sampel 139 negara). Ada enam penghambat investasi di Indonesia, yaitu korupsi, inefisiensi birokrasi pemerintah, kurang memadainya infrastruktur, ketidakstabilan politik, kurangnya akses ke sektor keuangan, serta kurangnya tenaga kerja yang berpendidikan dan mempunyai keterampilan.

Masalah besar di sektor keuangan adalah akses yang terbatas, bukan tingginya suku bunga. Hal ini sangat wajar mengingat financial deepening kita masih sangat rendah, yaitu baru 30 persen (rasio kredit terhadap PDB). Bandingkan dengan negara lainnya, misalnya Thailand, yang sudah mencapai 85 persen.

Financial inclusion di Indonesia juga masih rendah karena 49 persen penduduk negeri ini belum mempunyai akses keuangan. Bandingkan dengan Thailand dan Malaysia, yang hanya 40 persen dan 35 persen. Konsekuensinya adalah perbankan Indonesia perlu melakukan investasi yang lebih besar untuk meningkatkan akses yang lebih tinggi lagi di sektor keuangan.

Selanjutnya dilihat secara regional, berdasarkan survei Bank Dunia dalam laporannya, Doing Business in Indonesia 2012, ada beberapa hal yang menarik untuk diperhatikan. Batam, sebagai daerah yang selama ini difokuskan sebagai kawasan industri, ternyata mempunyai peringkat lebih rendah dibanding daerah lainnya dalam hal dimulainya bisnis, pengurusan izin konstruksi, dan registrasi properti. Daerah yang terbaik dalam hal dimulainya bisnis adalah Yogyakarta, untuk pengurusan izin konstruksi adalah Balikpapan, dan untuk registrasi properti adalah Bandung.

Apabila faktor penghambat investasi itu dapat diatasi pemerintah, sangat mungkin Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi baru dalam jangka menengah dan tidak perlu menunggu hingga 2025, seperti yang diramalkan Bank Dunia.

Salah satu pelajaran yang menarik dari India, seperti ditulis The Economist edisi Maret lalu, adalah bagaimana India kehilangan daya magisnya (India’s Economy: Losing Its Magic) karena konflik politik yang berkepanjangan dan akhirnya mengor­bankan momentum pertumbuhan ekonomi. Hal serupa terjadi di Indonesia pada saat terjadi tarik-ulur antara kepentingan ekonomi dan politik dalam penentuan kebijakan bahan bakar minyak Maret lalu, yang berakhir dengan penundaan kenaikan harga BBM.

Keputusan itu harus dibayar mahal dengan mengorbankan anggaran pemerintah dan penurunan daya beli masyarakat secara riil karena meningkatnya ekspektasi inflasi (tanpa adanya kompensasi bagi masyarakat kelas bawah). Jangan sampai Indonesia kehilangan momentum pertumbuhan ekonomi seperti yang terjadi di India. Potensi yang besar tanpa bisa merealisasinya ibarat macan ompong di tengah rimba yang semakin ganas.

*) Kepala Ekonom Bank Mandiri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus