Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbulan-bulan menagih janji, kegigihan Ina Mutmainnah tak mengendur. Tak menemukan "keadilan" di Mahkamah Agung, perempuan asal Lampung Selatan itu membawa perkaranya ke Mahkamah Konstitusi. Ina, 37 tahun, kini menggugat wewenang Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung dalam menjatuhkan sanksi kepada hakim yang melanggar kode etik. "Bila perlu, Bawas MA dihapus saja," kata kuasa hukum Ina, Dian Farizka, Selasa pekan lalu.
Semula Ina hanya menagih janji hakim Pengadilan Negeri Kalianda, Muhammad Hibrian, untuk menikahinya. Karena Hibrian tak kunjung menepati janji, Ina mengadu ke Komisi Yudisial. Komisi pengawas hakim itu pun telah merekomendasikan Hibrian dipecat. Namun rekomendasi tersebut mental di Mahkamah Agung.
Ina dan Hibrian mulai berkenalan sekitar Januari tahun lalu. Kala itu Ina bekerja sebagai customer service di sebuah bank pemerintah. Adapun Hibrian nasabah di bank itu. Menurut Ina, Hibrian, yang sudah beristri, ketika itu mengaku belum berkeluarga. Sewaktu menjalin hubungan yang "spesial", Hibrian berjanji menikahi Ina. Namun, ketika Ina hamil, Hibrian mengingkari janjinya.
Sewaktu melapor ke Komisi Yudisial, Ina menyertakan sejumlah foto yang menunjukkan kedekatan dengan Hibrian. Ina juga menyebutkan sejumlah hotel tempat dia pernah menginap bersama lelaki itu, antara lain di Lampung, Jakarta, Malaysia, dan Singapura.
Menurut anggota Komisi Yudisial, Taufiqurrahman Syahuri, foto digital yang diserahkan Ina telah diuji keasliannya. "Kami juga memastikan pemesanan kamar di hotel tersebut atas nama Hibrian," ucap Taufiqurrahman. Singkat cerita, Komisi Yudisial menyimpulkan Hibrian melanggar kode etik hakim. Lewat rapat pleno pada 6 Oktober 2014, Komisi merekomendasikan Hibrian dipecat dengan mendapatkan uang pensiun.
Akhir November tahun lalu, Komisi Yudisial menerima surat yang diteken Ketua Muda Kamar Pengawasan Mahkamah Agung Timur Manurung. Menurut surat itu, rekomendasi Komisi Yudisial tak bisa dijalankan karena Badan Pengawasan MA lebih dulu memeriksa Hibrian. Pada 2 Oktober 2014, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali pun telah menjatuhkan sanksi.
Masalahnya, sanksi Mahkamah Agung lebih ringan dari rekomendasi Komisi Yudisial. Hibrian dimutasi ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh sebagai hakim "nonpalu" alias tak diperbolehkan menyidangkan perkara. "Kalau sudah begini, Komisi Yudisial tak bisa apa-apa," ujar Taufiqurrahman.
Selasa pekan lalu, Tempo mendatangi Pengadilan Tinggi Aceh untuk menemui Hibrian. Setelah menunggu satu jam, Tempo diterima Kepala Humas Pengadilan Mahmud Fauzie. Menurut dia, Hibrian menolak diwawancarai. "Yang bersangkutan tak bersedia," tutur Mahmud.
Membentur jalan buntu, Ina mencari jalan baru dengan menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Dia menguji materi Pasal 32-A ayat 1 Undang-Undang Mahkamah Agung dan Pasal 39 ayat 3 Undang-Undang Kuasa Kehakiman. Kedua pasal itu menyebutkan pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan Mahkamah Agung. Ina meminta kedua pasal yang menjadi dasar keberadaan Badan Pengawasan itu dihapuskan.
Dalam sidang perdana pada 7 April lalu, kuasa hukum Ina, Dian Farizka, menjelaskan, pertentangan rekomendasi Komisi Yudisial dan Badan Pengawasan MA menimbulkan ketidakpastian hukum. "Hak konstitusional klien kami pun berpotensi terlanggar," kata Dian.
Menurut Dian, tak ada satu pun pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur kewenangan Mahkamah Agung untuk menjaga martabat dan perilaku hakim. Sebaliknya, menurut konstitusi, Komisi Yudisial merupakan satu-satunya pengawas, penjaga, dan penegak martabat hakim.
Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, menolak pembatasan wewenang Badan Pengawasan. Alasan dia, peran Badan Pengawasan menjadi sangat penting justru karena seringnya menjatuhkan sanksi. Suhadi juga mengklaim Badan Pengawasan tak "membentengi" hakim nakal dari sanksi berat yang direkomendasikan Komisi Yudisial. "Sistem pengawasan kami jelas, kok," ujar Suhadi.
Fransisco Rosarians, Adi Warsidi (banda Aceh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo