Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Malam Terakhir Si Saksi Kunci

Saksi kunci kasus perbudakan di Benjina meninggal di Jakarta. Menyimpan banyak informasi permainan lancung yang melibatkan aparat.

27 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR kematian Yoseph Sairlela pada Sabtu malam dua pekan lalu segera membuat heboh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Berita itu tak hanya dibahas dalam percakapan pegawai biasa. Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pun "kasak-kusuk" mencari tahu kebenaran kabar tersebut. "Ini kehilangan luar biasa," kata Susi, Selasa pekan lalu.

Jabatan Yoseph di Kementerian Kelautan sebetulnya tidak mentereng. Ia hanya Koordinator Pos Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. Jika Yoseph ditarik ke kantor di Jakarta, jabatannya hanya setara dengan anggota staf fungsional bergaji sekitar Rp 4 juta per bulan. Tapi Oce-begitu Yoseph biasa disapa-bukan sembarang pegawai. Dia saksi kunci kasus dugaan "perbudakan" di Benjina yang sedang disidik Markas Besar Kepolisian RI.

Curiga terhadap penyebab kematian yang mendadak itu, Menteri Susi pun meminta agar jenazah Oce diotopsi lengkap. Visum awal dilakukan pada Ahad pekan lalu, sekitar pukul 01.30, di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Siang harinya, sekitar pukul 12.00, jenazah Oce diotopsi.

Ketika otopsi berlangsung, hadir di rumah sakit perwakilan Kementerian, kepolisian, dan keluarga mendiang. Direktur Jenderal PSDKP Asep Burhanuddin, yang sempat melihat jenazah Oce, mengatakan ada lebam-lebam pada bagian kepala. Dari foto jenazah yang diperoleh Tempo, lebam-lebam itu tampak jelas pada bagian lutut dan pelipis kanan jenazah. "Hasil otopsi baru keluar dua pekan lagi," ujar Asep.

Keluarga memilih irit bicara soal kematian Oce. "Terima kasih atas belasungkawanya," kata Nike Sairlela, anak kandung Oce, melalui pesan pendek kepada Tempo. Jenazah lelaki 51 tahun itu dimakamkan di kampung halamannya di Tual, Nusa Tenggara Barat, pada Selasa pekan lalu.

****

DUGAAN praktek perbudakan di Benjina terungkap ketika kantor berita Associated Press mengeluarkan laporan berjudul "Was your seafood caught by slave?" pada akhir Maret lalu. Laporan itu membeberkan praktek perbudakan anak buah kapal yang diduga dilakukan PT Pusaka Benjina Resources.

Pusaka Benjina mulai menebar jaring di perairan Aru pada 2007. Perusahaan yang bermarkas di Kepulauan Maikoor, Kecamatan Benjina, itu mengakuisisi salah satu anak usaha Djajanti Group yang sudah bangkrut, milik taipan Burhan Uray. Di perairan Aru, Pusaka Benjina kini mengoperasikan 96 unit kapal tangkap ikan dengan nama Lambung Antasena.

Awal April lalu, Menteri Susi mengirim tim Satuan Tugas Anti-Illegal Fishing ke Benjina. Mereka diminta mengumpulkan bukti terkait dengan perbudakan anak buah kapal itu. Di sana utusan Menteri Susi bertemu dengan Oce, yang mau bicara blakblakan. "Dia banyak tahu soal lain juga," kata Yunus Husein, Wakil Ketua Satuan Tugas.

Bukan hanya soal perbudakan, Oce juga bernyanyi seputar dugaan suap yang dilakukan PT Pusaka Benjina. Kepada Tempo, awal April lalu, ia sendiri mengaku bisa mengantongi hingga Rp 40 juta per bulan. "Tiap izin ada harganya," kata Oce waktu itu. Misalnya ia mengaku mendapat Rp 150 ribu untuk surat laik operasi setiap kapal yang diterbitkan pos pengawasan.

Menurut Oce, selama ini aparat tutup mata atas praktek bongkar-muat di tengah laut atau transshipment yang dilakukan kapal-kapal milik Pusaka Benjina. Tentu saja itu ada harganya. "Ya, sekitar Rp 1 juta per kapal," ujar Oce.

Modus bongkar-muat di tengah laut dilakukan untuk mengakali laporan ekspor perusahaan. Menurut data resmi di Kementerian Kelautan, Pusaka Benjina rata-rata mengekspor 7.000-8.000 ton ikan per bulan. Tapi tim Satgas Anti-Illegal Fishing menduga jumlah ekspor Pusaka Benjina jauh lebih besar dari angka tersebut. "Transshipment lazim dalam pencurian ikan," kata Yunus.

Tim Satgas juga menemukan fakta bahwa Pusaka Benjina kerap memalsukan dokumen kerja anak buah kapal yang mayoritas warga negara Thailand, Myanmar, dan Kamboja. Pada 2008, misalnya, Pusaka Benjina memulangkan 2.000-an anak buah kapal mereka ke Thailand dan Myanmar karena kedapatan tidak memiliki dokumen sah.

Direktur PT Pusaka Benjina Resources Hermanwir Martino membenarkan praktek suap tersebut. Menurut dia, dalam sebulan, perusahaan bisa mengeluarkan uang lebih dari Rp 30 juta. "Semua pihak, dari imigrasi sampai syahbandar, mendapat bagian," ujar Hermanwir kepada Tempo, awal April lalu. Namun ia membantah jika disebut memalsukan dokumen anak buah kapal. "Kami terima dari agen penyalur dengan dokumen seperti itu," katanya.

Pertengahan April lalu, Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas untuk membahas kasus Benjina. Menurut Menteri Susi, Presiden telah memerintahkan pembentukan tim khusus untuk mengusut kasus tersebut. "Bukan hanya perdagangan manusia, tapi juga kasus pencurian ikan dan suap," kata Susi.

Sejauh ini Markas Besar Kepolisian RI sudah menetapkan dua petugas lapangan Pusaka Benjina sebagai tersangka kasus perbudakan. Menurut Kepala Unit Perdagangan Manusia Polri Ajun Komisaris Besar Ari Darmanto, Oce adalah saksi kunci yang paling mengetahui praktek perbudakan di sana.

Polisi baru menjadwalkan pemeriksaan Oce sebagai saksi pekan ini. Namun entah kenapa Oce pergi ke Jakarta lebih cepat. "Kematiannya bisa mengganggu penyidikan," ujar Ari.

Kementerian Kelautan juga membentuk tim khusus untuk menelusuri jejak terakhir Oce. Menurut Direktur Jenderal PSDKP Asep Burhanuddin, Oce terbang dari Tual pada 16 April lalu. Kepada bawahannya, dia pamit untuk membeli suku cadang speedboat di Jakarta. Sebelum ke Ibu Kota, Oce mampir di Surabaya. Di sana dia bertemu dengan seseorang. "Orang itu masih dicari identitasnya," kata Asep.

Pada 17 April lalu, Oce tiba di Jakarta. Dia check-in di Hotel Treva International, Menteng, sekitar pukul 20.00. Menurut Manajer Personalia Hotel Treva Mohammad Widodo, Oce kala itu datang sendirian. Oce, yang merupakan pelanggan hotel tersebut, meminta tolong dicarikan mobil sewaan.

Keesokan harinya, Oce mengunjungi sejumlah tempat di Jakarta. Dia baru kembali ke hotel sekitar pukul 18.00. "Dia bilang mau kembali ke Tual malam itu juga," ujar Widodo. Namun, setengah jam kemudian, Oce meminta tolong pegawai hotel memanggil tukang pijat langganannya yang biasa dipanggil Hana. Perempuan 25 tahun itu tiba di hotel pukul 19.15.

Kepada Tempo, Hana bercerita, baru setengah jalan dipijat, Oce tiba-tiba mengeluh sakit di bagian dada. Hana pun membantu Oce bangkit dari tempat tidur. Ketika hendak pindah ke kursi, Oce terjatuh ke lantai. "Dia batuk-batuk. Dari mulutnya keluar busa," kata Hana.

Hana lalu menghubungi petugas hotel dan meminta tolong. Dua petugas keamanan hotel membawa Oce ke Rumah Sakit Menteng Mitra Avia, yang jaraknya hanya 500 meter. Sepanjang perjalanan, Oce tidak sadarkan diri. Tiba di rumah sakit pukul 20.30, Oce dinyatakan meninggal oleh dokter delapan menit kemudian.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Jakarta Pusat Komisaris Besar Tatan Dirsan mengatakan, untuk sementara, polisi menyimpulkan penyebab kematian Oce adalah serangan jantung. Soal lebam-lebam di tubuh Oce, Tatan menolak berspekulasi. "Kami masih menyelidikinya. Menunggu hasil otopsi," ucapnya.

Syailendra Persada, Singgih Soares, Devy Ernis (benjina)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus