Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI sela kesibukan menyidangkan tunggakan 4.000-an perkara, tiga hakim agung sempat-sempatnya menghadiri sidang di Mahkamah Konstitusi, Kamis dua pekan lalu. Tapi, berbeda dari biasanya, kali ini mereka tak menempati kursi majelis hakim "yang mulia". Selama hampir 45 menit, mereka duduk di deretan kursi pemohon uji materi, persis di depan kursi majelis hakim konstitusi.
Ketiga hakim agung itu adalah Imam Soebechi, Abdul Manan, dan Burhan Dahlan. Mereka mewakili enam hakim agung yang mengajukan judicial review atas nama Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi). Siang itu sidang perdana gugatan mereka.
Ikahi menggugat tiga undang-undang sekaligus. Mereka mempersoalkan Pasal 14A ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, serta Pasal 14A ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal-pasal tersebut menyatakan pemilihan hakim dilakukan Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung. "Hak konstitusional kami dirugikan," kata hakim agung Suhadi, salah seorang pemohon uji materi, Rabu pekan lalu.
Suhadi buru-buru menepis anggapan uji materi itu disampaikan atas perintah Mahkamah Agung. Menurut dia, gugatan itu murni inisiatif anggota Ikahi yang memang menghendaki Mahkamah Agung merekrut calon hakim tanpa "direcoki" Komisi Yudisial.
Toh, Komisioner Komisi Yudisial Bidang Rekrutmen Hakim Taufiqurrahman Syahuri tetap melihat ada kepentingan Mahkamah Agung di balik gugatan tersebut. "Mereka tampaknya ingin menggembosi kewenangan kami dalam rekrutmen calon hakim," ujar Taufiqurrahman, Selasa pekan lalu.
GUGATAN para hakim agung itu menambah panjang daftar gesekan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Sejak Komisi Yudisial berdiri pada 2005, perseteruan Komisi dengan Mahkamah Agung berkali-kali meletup.
Pada Februari 2006, misalnya, sejumlah hakim agung melaporkan Ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Mereka marah terhadap pernyataan Busyro kepada media bahwa ada 13 hakim agung bermasalah. Setelah Busyro mengklarifikasi pernyataannya, para hakim agung mencabut laporan mereka.
Ketegangan kembali muncul ketika pimpinan Komisi Yudisial mencetuskan gagasan menyeleksi ulang 49 hakim agung. Gagasan itu mencuat dalam pertemuan pimpinan Komisi Yudisial dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara.
Membalas manuver Komisi Yudisial itu, 31 hakim agung mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Mereka menggugat pasal-pasal yang mengatur pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial. Melalui putusan Nomor 005/PII-IV/2006, Mahkamah Konstitusi menyatakan kewenangan Komisi Yudisial dalam pengawasan hakim tidak berlaku. Sejak itu, Komisi Yudisial hanya diberi ruang untuk mengawasi kepatuhan hakim atas kode etik.
Pada 2011, hubungan kedua lembaga kembali meruncing. Komisioner Komisi Yudisial Suparman Marzuki dilaporkan Mahkamah Agung ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama lewat media. Setelah Suparman meminta maaf, Mahkamah Agung kembali mencabut laporannya.
Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung sempat berembuk menyusun Panduan Penegakan Kode Etik dan Perilaku Hakim pada 2012. Perwakilan kedua lembaga pun beberapa kali duduk di Majelis Kehormatan Hakim untuk "mengadili" hakim yang diduga melanggar kode etik.
Meski begitu, kerja sama kedua lembaga tak pernah sepenuhnya cair. Dalam catatan Komisi Yudisial, setidaknya ada 12 rekomendasi mereka tentang pelanggaran kode etik yang mental di Mahkamah Agung.
Komisi Yudisial, misalnya, pernah merekomendasikan pemberhentian secara tidak hormat hakim Pengadilan Negeri Bekasi, Puji Wijayanto. Sang hakim tertangkap memakai narkotik dan bertemu dengan pihak yang beperkara. Namun Mahkamah Agung menolak memecat langsung Puji dengan alasan menunggu putusan pengadilan. Beberapa bulan lalu, rekomendasi Komisi Yudisial soal pemecatan hakim Pengadilan Negeri Kalianda, Lampung Selatan, juga ditolak Mahkamah Agung. Alasannya, kasus dugaan perselingkuhan hakim itu lebih dulu diselidiki Badan Pengawasan Mahkamah Agung (lihat: "Ingkar Janji Berbuah Uji Materi").
GUGATAN sejumlah hakim agung yang masuk ke Mahkamah Konstitusi, Maret lalu, membuat kaget pimpinan Komisi Yudisial. Sebelum gugatan itu melayang, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sudah sembilan bulan membahas sistem seleksi calon hakim, terutama untuk hakim tingkat pertama (pengadilan negeri).
Menurut Taufiqurrahman, draf itu mengatur seleksi hakim dengan cukup ketat. Setelah lolos seleksi tertulis berbasis komputer, calon hakim harus menjalani psikotes. Lalu ada ruang bagi masyarakat untuk memberi masukan. Petugas seleksi mengumpulkan informasi seputar perilaku calon hakim dari lingkungan kampus, tempat tinggal, atau tempat kerja sebelumnya.
Pada September 2014, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial menyelesaikan draf perjanjian mengenai mekanisme seleksi hakim itu. Setelah ditandatangani pimpinan Komisi Yudisial, draf itu diserahkan ke pimpinan Mahkamah Agung.
Meski waktu pembahasan tak ada perdebatan mendasar, hingga akhir 2014 pimpinan Mahkamah Agung tak kunjung menandatangani draf tersebut. "Tadinya kami sudah senang. Penerimaan calon hakim akan dibuka pada Oktober 2014," ucap Taufiqurrahman.
Rencana seleksi hakim pun batal. Anggaran yang telah disiapkan untuk merekrut 350 hakim akhirnya dikembalikan ke negara.?Padahal, dalam beberapa kesempatan, pimpinan Mahkamah Agung menyatakan saban tahun perlu rekrutmen sekitar 350 calon hakim. Penjaringan terakhir calon hakim dilakukan pada 2009.
Menurut Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung, hakim di tingkat pertama hanya berjumlah 3.014 orang. Itu pun yang aktif menyidangkan perkara hanya 2.914 hakim. Mereka terbebani tumpukan perkara yang bertambah sekitar 142 ribu per tahun.
Komisi Yudisial telah melaporkan hubungan "panas-dingin" dengan Mahkamah Agung itu kepada Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam pertemuan dengan Presiden, pertengahan Januari lalu, pimpinan Komisi Yudisial meminta Jokowi menerbitkan peraturan presiden sebagai payung hukum seleksi calon hakim. Kemudian, dalam pertemuan dengan Jusuf Kalla pada 10 April lalu, Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki juga menyampaikan kekecewaannya atas uji materi di Mahkamah Konstitusi.
Toh, para hakim agung tetap maju dengan agenda mereka. Kuasa hukum pemohon uji materi, Lilik Mulyadi, berdalil kewenangan Komisi Yudisial bersifat limitatif. Sesuai dengan Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945, wewenang Komisi Yudisial terbatas pada pengusulan pengangkatan hakim agung. Wewenang Komisi, kata Lilik, tak menjangkau seleksi hakim pada peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara.
Menurut Taufiqurrahman, Pasal 24 UUD 1945 mengenai kekuasaan kehakiman memang tidak dengan tegas menyatakan kewenangan seleksi hakim itu milik?Mahkamah Agung atau Komisi Yudisial. Namun Pasal 24B ayat 1 menyebutkan, di samping urusan pengangkatan hakim agung, Komisi Yudisial punya wewenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Menurut Taufiqurrahman, upaya menjaga kehormatan hakim harus dimulai dari "pembibitan" para calon hakim. Ibarat bayi, calon hakim harus dijaga dari aneka virus jahat, seperti kebiasaan berbohong, menipu, dan menerima suap.?"Seleksi yang baik sangat menentukan integritas para hakim," ujar Taufiqurrahman.
Meski tidak terang-terangan menyokong gugatan Ikahi, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengakui uji materi itu terkait dengan rencana percepatan rekrutmen hakim di pengadilan negeri. "Ini kan sudah lima tahun tidak ada rekrutmen hakim. Artinya, kami mau jalan sendiri," kata Hatta.
Yuliawati, Reza Aditya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo