IMPIAN masa kini, dasawarsa para yuppies: menjadi seorang eksekutif. Dalam impian ini, eksekutif adalah yang naik mobil mentereng, dengan sekretaris cantik, dan rumahnya layak dipotret untuk sebuah majalah desain. Maka, makin banyak orang memburu gelar MBA Master of Business Administration -- supaya bisa nongkrong di kursi eksekutif, lambang puncak karier seorang manajer. Tapi benarkah itu tanda hidup bahagia, apa pun artinya kata ini? Jawabannya bisa "tidak". Setidaknya, itulah yang terdengar dari pembicaraan para ahli -- dan para eksekutif sendiri. Ini zaman sulit, Bung, setelah dolar turun nilai, setelah Crash 1987 dan pasar menyempit di mana-mana. Maka, gangguan klasik para eksekutif konon terasa lebih akut: stres. Bila Anda tak percaya, datanlah ke seminar. Dengan atau tanpa penelitian ilmiah, seminar tentang stres tampak kian diminati. Mungkin, sebab itulah di Semarang, misalnya, dalam setengah bulan diselenggarakan dua seminar serupa. Yang pertama 28 November, dengan judul "Aku Seorang Eksekutif". Lalu disusul dengan "Peranan Eksekutif & Stress dalam Management", Sabtu dua pekan lalu. Pada kedua seminar itu dibicarakan betapa repotnya jadi seorang eksekutif. "Sebenarnya, para eksekutif adalah manusia paling menderita," ujar Loekman Sutrisno, doktor sosiologi Universitas Gadjah Mada, dalam seminar pertama. Yang menarik, karena ini hasil pengamatan di Indonesia, adalah pembagiannya atas dua jenis eksekutif. Menurut Loekman, untuk menelusuri "penderitaan" para eksekutif perlu diperjelas dulu: yang bersangkutan termasuk seorang eksekutif pemerintah atau swasta. "Karena penyebabnya bisa berbeda," katanya. Stres pada eksekutif pemerintah bisa timbul lantaran harus berhadapan dengan pilihan mau jujur atau tidak. Mau jujur silakan, asal jangan sirik kalau rekan sekantornya kaya mendadak. Mau lapor ke atasan juga boleh asal jangan shock kalau ternyata malah ditendang sendiri atau tak digubris. Manusia super, seperti sering dituntut massyarakat kepada eksekutif pemerintah, juga tak kalah runyam. Seorang gubernur tak boleh kelihatan loyo, meskipun sedang masuk angin. Dia harus menghadiri berbagai acara, undangan, dan siap menerima tamu yang sudah lama antre. "Ia tidak boleh hidup normal seperti manusia lain, karena itu selalu ada konflik kejiwaan dalam dirinya," ujar Loekman. Persoalan besar lainnya adalah adanya kewajiban untuk melayani atasannya tanpa reserve. Akibatnya, banyak keputusannya yang rasional bisa dijungkirbalikkan sesuai dengan kehendak bos. Ketimbang diri sendiri kena gusur. Tingkah laku para istri, kata Loekman, juga mengantar para eksekutif pemerintah lebih cepat kena stres. Manifestasinya: si ibu minta macam-macam dan mencampuri pekerjaan kantor. Suami bingung, demikian pula bawahannya, yang sering diberi tugas oleh ibu, dari menjemput anak sekolah sampai mengantar undangan arisan RT. Baru-baru ini Gubernur DKI Jakarta Wiyogo mengecam kecenderungan istri-jadi-bos itu, suatu indikasi bahwa "penyakit" khas birokrasi Indonesia ini sudah masya Allah. Sumber stres eksekutif swasta lain lagi. Salah satunya adalah mereka sering dianggap sebagai sumber rezeki para birokrat. Menyogok sudah jadi semacam adat. Bahkan, menurut Loekman, para eksekutif itu bisa menghabiskan separuh dana proyeknya untuk menyuap. "Ini menimbulkan rasa bersalah, diinjak-injak, takut tak dapat proyek, takut tak dapat untung, dan lain-lain," ujar Loekman. Di lain pihak, para eksekutif juga harus berhadapan dengan sistem ekonomi yang makin terbuka. Maka, situasi ekonomi global punya pengaruh langsung terhadap kondisi ekonomi dalam negeri. "Ini berarti dunia usaha harus terus berhadapan dengan sistem ekonomi dan keuangan yang tidak menentu," ujar Tanri Abeng, Presiden Direktur PT Multi Bintang, dalam seminar kedua. Lebih kepepet lagi, mereka yang bisnisnya bergantung pada anggaran belanja pemerintah: makin dag-dig-dug menghadapi pesaing. Ini akibat lain makin tipisnya "kue" dari pemerintah yang tak punya lagi cukup dana. Apalagi bila si pesaing bisa mengandalkan hubungan keluarga dengan kalangan pucuk aparatur negara. "Ini menimbulkan iri dan stres bagi mereka yang kalah," ujar Rosita Noor, Direktur Utama PT Noor Rekanindo. Dapat ditebak, seminar tentang stres itu akhirnya bisa jadi tempat keluhan para eksekutif juga. Nah, dalam situasi banyak keluh itu, eksekutif macam apa yang berhasil di Indonesia? "Petualang dan suka judi," ujar M.A.W. Brouwer, ahli psikologi tenar yang banyak menulis problem orang modern itu. Yang menarik pada Brouwer, ia berpendapat bahwa orang Jawa dan Sunda sulit bisa sukses sebagai eksekutif, lantaran suka bermain aman. Sedangkan yang paling cocok adalah peranakan Cina, karena mereka suka berjudi. Bagi mereka ini, kata Brouwer, jatuh bangun soal biasa. Sekarang hilang segalanya, besok mulai lagi dari nol. Tapi soalnya tentu memang bukan sekadar "suku bangsa", melainkan jenis kepribadian. Brouwer mengingatkan adanya teori yang membagi manusia dalam dua tipe Tipe A, yang agresif dan ambisius dan tipe B yang lebih rileks. Tipe A bisa sukses mencapai puncak, tapi dalam soal stres, harap ingat: manusia tipe A lebih cepat kena serangan jantung. Resepnya? Brouwer, yang biasa tajam pandangannya, kontroversial pendapatnya, dan segar pemaparannya, menjawab, "Aktivitas seks mungkin bisa mengobati." Pastor Katolik itu mengacu pada kasus Jepang. Di sana para eksekutif dianjurkan mempertinggi aktivitas seksual. Tapi awas: mereka yang sudah benar-benar stres malah bisa impoten. Impotensi cuma satu indikasi. Di tingkat paling parah, Psikiater Mikail Bharja punya contoh. "Kalau ratanya melihat ke bawah terus selama tiga hari, itu sudah tanda tidak beres," ujarnya. Kalau terlambat diobati, stresnya memang bisa hilang sendiri. Tentunya kalau dia hilang ingatan. Praginanto, Moebanoe Moera (Jakarta), Slamet Subagyo, Hedy Lugito, Nanik Ismaini (Semarang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini