Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Umrah Isa Zega Berujung Ancaman Pidana Penistaan Agama

Transpuan Isa Zega terancam pidana setelah mengunggah foto saat beribadah umrah menggunakan busana perempuan.

27 November 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Transpuan Isa Zega terancam menghadapi tuntutan pidana karena umrah memakai pakaian perempuan.

  • Sejumlah ahli hukum menilai penggunaan pasal penistaan agama terhadap Isa Zega tak tepat.

  • Pasal tersebut kerap dipakai untuk mengancam kelompok yang berbeda pendapat dengan penganut paham kelompok mayoritas.

SELEBGRAM Adrena Isa Zega terancam pidana setelah mengunggah foto-fotonya saat menjalani ibadah umrah. Ketua Umum Mualaf Center Indonesia Hanny Kristianto melaporkan transpuan tersebut ke Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan karena beribadah umrah menggunakan baju perempuan. Dalam laporannya, Henny menilai Isa melanggar Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) soal penistaan agama dan/atau Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) soal penyebaran informasi elektronik yang melanggar kesusilaan atau bermuatan penghinaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Polres Jakarta Selatan Ajun Komisaris Nurma Dewi membenarkan bahwa kepolisian menerima laporan itu pada Rabu, 20 November 2024. Dia mengatakan pihaknya akan segera memanggil Isa untuk dimintai keterangan soal laporan tersebut. "Nanti pasti kami memanggil atau mengundang untuk meminta klarifikasi semua yang ada, terutama mendengarkan kejadian yang dilaporkan," katanya tanpa memastikan kapan kepolisian akan memanggil Isa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum dilaporkan ke polisi, Isa mendapat cemooh dari berbagai pihak, di antaranya anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Mufti Anam. Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu menyebutkan tindakan Isa beribadah umrah dengan pakaian perempuan merupakan penistaan agama. "Dia adalah transgender, trans women, atau waria, yang awalnya adalah laki-laki. Dia melakukan ibadah umrah menggunakan hijab syar'i. Ini merupakan bagian dari penistaan agama," ujar Mufti dalam video pernyataannya.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Mufti Anam. ANTARA/HO-Tim Mufti Anam

Bukan kali ini saja seorang transpuan menjalani ibadah umrah. Artis multitalenta Dorce Gamalama, misalnya, tercatat pernah melaksanakan ibadah umrah dan haji beberapa kali. Foto-foto transpuan yang meninggal pada 2022 (58 tahun) itu mengenakan busana muslimah saat menjalani umrah pun tersebar di berbagai media dan tak ada yang mempermasalahkannya. 

Konsultan hak asasi manusia sekaligus mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2017-2022, Ahmad Taufan Damanik, menyayangkan polemik soal Isa Zega ini. Ia menilai kepolisian seharusnya menolak laporan tersebut karena hal yang dilakukan Isa tak termasuk tindak pidana. "Saya tidak melihat Isa menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan rakyat Indonesia," ucapnya saat dihubungi, Selasa, 26 November 2024.

Taufan pun menyatakan ekspresi keagamaan yang dilakukan Isa sebenarnya dilindungi Pasal 28 E ayat 2 serta Pasal 29 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945. Kalaupun ada pihak yang tidak setuju terhadap ekspresi keagamaan Isa, kata dia, sebaiknya diselesaikan melalui dialog, bukan ranah pidana. Alasannya, agama merupakan hal paling mendasar bagi tiap manusia untuk mengenal dan berkomunikasi dengan Sang Pencipta. 

Saat menjabat Ketua Komnas HAM, Taufan pernah mengkritik penerapan Pasal 156 dan 156a KUHP yang kerap dijadikan alat kriminalisasi terhadap kelompok marginal. Pasal tersebut berbunyi, "Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500."

Sementara itu, Pasal 156a KUHP berbunyi, "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun bagi siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia."

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara tersebut menilai hal yang dilakukan Isa Zega tak memenuhi unsur pasal tersebut. Menurut dia, Isa hanya ingin mengekspresikan keagamaannya. Hal yang kemudian menjadi masalah, menurut Taufan, adalah Pasal 156 KUHP kerap ditafsirkan berbeda. "Pasal ini bias tafsir," ujarnya.

Konsultan HAM sekaligus mantan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2017-2022, Ahmad Taufan Damanik. Dok. TEMPO/Febri Angga Palguna

Taufan menilai penggunaan pasal itu telah menelan banyak korban. Ia mencontohkan kasus Meiliana, warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, pada 2016. Meiliana divonis 1 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan karena memprotes volume suara azan yang berkumandang di lingkungannya. Contoh lain, menurut Taufan, kasus mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, yang menyitir Surat Al-Maidah ayat 51. Ia berpandangan bahwa Ahok saat itu sebenarnya hanya memperjuangkan hak politiknya.

Karena itu, Taufan pun menyarankan pemerintah dan DPR merevisi Pasal 156 KUHP.  Dia mengusulkan agar delik ujaran kebencian diperjelas menjadi ujaran atau tindakan yang mengajak pihak lain mendiskriminasi dan mempersekusi pihak lain yang tidak disukai. "Jadi jelas bukan soal perbedaan tafsir atau cara pandang setiap orang terhadap keyakinan agama," ucapnya.

Untuk sementara waktu, Taufan menyarankan aparat penegak hukum lebih progresif dalam menyikapi pelaporan dugaan penistaan agama. Caranya, aparat perlu melakukan pendekatan yang lebih demokratis dan menghormati kebebasan setiap orang sesuai dengan prinsip hak asasi mereka.

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia Julius Ibrani sepakat dengan Taufan. Julius menilai hal yang dilakukan Isa bukan penistaan agama. Menurut dia, Pasal 156 KUHP yang digunakan untuk melaporkan Isa memang multitafsir. Ia menilai tak ada indikator yang jelas untuk menyatakan perbuatan seseorang dikategorikan sebagai penistaan agama. "Ini pasal karet semua, multitafsir. Sifatnya subyektif," katanya. 

Julius berpendapat, jika memang ingin menerapkan Pasal 156 KUHP, pemerintah perlu menentukan indikator yang jelas. "Penerapan pasal ini amburadul, tafsirnya bisa dibikin-bikin, seolah-olah ada kelompok yang merasa terzalimi, akhirnya absurd." Namun ia lebih sepakat jika pasal-pasal karet tersebut dihapus.

Gedung Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan. ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi

Manajer Advokasi Serikat Jurnalis untuk Keberagaman Tantowi Anwari pun sepakat jika masalah keyakinan seperti ini diselesaikan melalui dialog, bukan pidana. Tantowi menilai hal yang dilakukan Isa merupakan ekspresi keyakinannya dalam beragama yang telah dijamin UUD 1945. Apalagi, menurut dia, tindakan Isa tidak mencelakai atau melanggar serta membahayakan kesehatan, nyawa, dan hak-hak warga lain. "Wilayah perbedaan keyakinan atau urusan dosa dan neraka bukan domain negara, bukan urusan aparat kepolisian," ucapnya melalui keterangan tertulis, Senin, 25 November 2024. 

Atas dasar itu, Tantowi meminta aparat penegak hukum tak lagi menggunakan Pasal 156 KUHP. Bahkan dia sepakat jika pasal penistaan agama itu dihapus. Alasannya, pasal tersebut hanya menjadi alat untuk mengistimewakan pandangan atau keyakinan agama kelompok mayoritas dan menyingkirkan praktik pemahaman keagamaan atau kepercayaan dan keyakinan kelompok marginal. Ia berharap rezim Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memulai penegakan HAM dengan menghormati dan melindungi setiap orang yang mengekspresikan keyakinannya dengan cara damai.

Koordinator Tim Penguatan Perlindungan Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Komnas HAM Pramono Ubaid Tanthowi menyarankan aparat penegak hukum tidak terlalu mudah menerapkan pasal pidana penistaan agama. Menurut Ubaid, pelaporan terhadap Isa Zega semestinya bisa diselesaikan dengan cara keadilan restoratif. Ia menilai pasal penodaan agama merupakan pasal yang terlalu mudah digunakan pihak tertentu untuk mempidanakan kelompok rentan. "Apalagi dalam kasus ini, terlapor tidak memiliki intensi melecehkan, menistakan, atau menodai ajaran agama tertentu," ujarnya saat dihubungi secara terpisah.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus