Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Jaksa penuntut umum (JPU) menolak seluruh novum atau bukti baru yang diajukan salah satu terpidana kasus kematian Vina dan Eky, Sudirman, dalam sidang peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Cirebon, pada Rabu, 2 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan penuturan jaksa, kuasa hukum Sudirman telah mengajukan 12 novum yang menjadi dasar pengajuan PK. Namun, JPU menganggap semuanya tidak terhitung sebagai bukti yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Dalih-dalih peninjauan kembali yang diajukan oleh pemohon tidak beralasan, dan tidak berdasar hukum karena tidak dapat dianggap sebagai bukti baru atau keadaan baru, sehingga sudah sepatutnya permohonan PK ditolak,” ujar salah seorang JPU, Bambang, dikutip dari siaran langsung persidangan.
Jaksa berdalih penolakan novum didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri Cirebon Nomor 4/Pid.B/2017/PN CBN. Putusan yang dikeluarkan pada 26 Mei 2017 itu menetapkan hukuman seumur hidup bagi Sudirman dan 4 terpidana lain yang menurut pengadilan, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan terencana serta memaksa persetubuhan kepada Vina Dewi Arsita.
Putusan itu inkrah atau telah berkekuatan hukum tetap. Setelah 7 tahun berlalu sejak putusan pengadilan, JPU mempertanyakan alasan Sudirman mengajukan peninjauan kembali. Salah satu anggota JPU, Sugeng, mengaitkan pengajuan memori PK Sudirman dengan kemunculan film bertajuk “Vina: Sebelum 7 hari”.
Bagi jaksa, bukti yang diajukan Sudirman tidak memenuhi ketentuan pasal 183 dan 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). “Menunjukkan ketidakpahaman pemohon peninjauan kembali dengan doktrin peradilan pidana dan KUHAP berkaitan dengan keraguan yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan pembuktian,” ujar Sugeng, saat membacakan tanggapan jaksa atas permohonan PK Sudirman.
Jaksa yakin penetapan Sudirman sebagai terpidana berdasarkan alat bukti yang lengkap, sebab karakteristik pembuktian, kehadiran saksi mahkota, dan rangkaian buktinya saling bersesuaian.
“Upaya untuk menegakkan hukum tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, terutama terhadap perkara-perkara pidana yang terdapat saksi mahkota dalam perkara pembunuhan dan persetubuhan yang menarik perhatian masyarakat Cirebon pada waktu itu,” kata Sugeng.