Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

CAS-CIS-CUS... BERKAT SI ASEP

Guru di Bandung mengembangkan metode pengajaran bahasa Inggris dengan boneka karton. Cara kreatif yang tepat guna.

9 April 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dwi Aria Setiawan bukan siswa sekolah internasional. Sekolahnya terpencil, di kaki Gunung Malangyang, Ujung Berung, sekitar 20 kilometer dari Bandung. Tapi siswa kelas II SMU Negeri 24 Kabupaten Bandung ini berbicara bahasa Inggris selancar anak-anak dari sekolah supermahal di Jakarta.

Remaja laki-laki 16 tahun itu tidak hanya fasih melakukan percakapan sederhana sehari-hari seperti ”my name is Dwi”, ”how are you”, ”it’s nice meeting you”. Dia juga mampu memberikan presentasi pelajaran sains atau men-ceritakan perjalanan ke suatu tempat dalam bahasa Inggris dengan lancar—tapi cengkok Sunda masih terdengar di sana-sini.

Kemampuan Dwi berbahasa Inggris tidak diragukan lagi. Nilainya 9 di rapor. Dwi juga punya sahabat pena di sejumlah negara. Pada Februari lalu, dia bersama adik kelasnya, Vernida Rosida, diundang ke Kuala Lumpur, Malaysia, mengikuti konferensi siswa se-kolah kelas menengah negara anggota ASEAN dan Inggris. Dalam pertemuan itu, Dwi bertukar pengalaman dengan siswa sekolah negara lain. Dia juga ditunjuk sebagai panitia pelaksana olimpiade mini siswa SD se-Malaysia.

Dwi mampu bercas-cis-cus dalam bahasa Inggris setelah bersekolah di SMU Negeri 24 itu. Dan orang yang paling berjasa adalah guru bahasa Inggris sekolah tersebut, Dedeh Suatini dan ”teman kecilnya” Flat Asep, boneka karton berkostum tradisional Jawa Barat. Dalam dua tahun ini, Dedeh bersama si Asep mengajari siswa-siswi SMU 24 bahasa Inggris, dengan gembira. Hasilnya oke.

Semua itu bermula pada kerisauan ibu guru berusia 47 tahun itu ketika melihat kemampuan dan nilai ujian bahasa Inggris para siswanya yang terus turun. Menurut lulusan Universitas Pendidikan Indonesia Bandung ini, para murid rata-rata bisa membaca dan menulis, tapi lemah dalam speaking dan listening. ”Padahal di era MTV ini, kemampuan berbahasa Inggris amatlah penting,” ujar Dedeh. Menurut dia, jika tetap menggunakan model pembelajaran bahasa Inggris yang ada, sampai kapan pun muridnya tak akan berprestasi.

Bu Guru Dedeh terus memutar otak. Dia mencari literatur model pengajaran bahasa yang efektif. Sampailah Dedeh membaca artikel tentang Dale Hubert, guru sekolah dasar di Ontario, Kanada. Hubert sukses mengajar menulis bahasa Inggris dengan menggunakan Flat Stanley, boneka anak lelaki gepeng—terbuat dari kertas karton—berkemeja, berdasi, dan mengenakan celana panjang, sejak 1995. Flat Stanley, yang bersumber dari serial cerita anak-anak sejak 1964, menjadi alat bantu dalam membuat tulisan, dengan cara menjadikannya sebagai tokoh cerita. Hubert pun mendapat penghargaan dari pemerintah Kanada sebagai guru kreatif pada 2001. Metode ini sekarang sudah dipakai di 47 negara.

Nah, Dedeh pun ”mengganti” nama Stanley menjadi Asep, sebutan bocah lelaki khas Sunda. Pada 2005, Flat Asep mulai masuk kelas bersama murid-murid kelas I SMU Negeri 24. Asep menjadi media Dedeh memancing kemampuan muridnya berbicara dalam bahasa Inggris. Bersama para muridnya, Dedeh mengajak Asep piknik ke luar kota, ke pasar, mal, atau ikut dalam program penelitian siswa.

Semua pengalaman bersama Asep ditulis dalam bahasa Inggris dan diceritakan siswa di depan kelas. Dedeh kemudian membukukan kegiatan itu dalam buku The Adventure of Flat Asep. Semula, buku itu hanya diedarkan di Jawa Barat, tapi belakangan dikirim pula ke luar negeri. Dedeh juga membuka blog tentang dirinya dan memasukkan Flat Asep dan karya siswanya. Tak ketinggalan, Dedeh memasukkan ”petualangan Flat Asep” dalam situs pendidikan internasional.

Ternyata mereka kebanjiran email dari berbagai negara. Dedeh pun mulai menawarkan kepada siswanya untuk membalas surat-surat yang masuk. Kemampuan murid dalam menulis dan bercerita meningkat. Prestasi akademis bahasa Inggris terdongkrak. Dulu, ponten ujian anak-anak itu paling tinggi 6. Namun sejak 2006 nilai rata-rata mereka sudah 8. ”Klub bahasa Inggris yang dulunya hanya diikuti puluhan orang, kini anggotanya 300 orang,” ujar Dedeh.

Seperti Dale Hubert, Dedeh juga memperoleh penghargaan. Dedeh menjadi pemenang kompetisi guru berkreasi yang digelar sebuah bank swasta pada 2006. Ia juga terpilih sebagai Guru Teladan Jawa Barat dan diundang ke Istana Merdeka, bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Agustus 2006. Dedeh pun terbang ke Amerika Serikat, diundang East Wet Center, lembaga pemberi beasiswa untuk penelitian guru. Beberapa guru di Australia dan Jepang juga mengundangnya untuk berbagi pengetahuan tentang sistem pengajaran bahasa Inggris dengan menggunakan ”flat”.

Kesuksesan Dedeh juga memberikan inspirasi guru-guru bahasa Inggris lain di Bandung, untuk membuat ”Asep” lainnya. Misalnya, ada Flat Angela di SMU St. Angela Bandung atau Flat Ujang di SMU Negeri 5 Bandung. Setidaknya ada sembilan sekolah menggunakan metode ini. ”Kami berencana membuat program bersama,” kata Dedeh.

Menggunakan alat bantu boneka karton adalah satu cara kreatif mengajar bahasa Inggris. Di Yogyakarta, ada metode kreatif lainnya, yaitu dengan simulasi tematis berupa permainan, yang dikembangkan Noordin Somantri, guru SMU Negeri 8 Yogyakarta, sejak 2003.

Permainannya sederhana. Bisa berbentuk monopoli atau ular tangga, leng-kap dengan kartu instruksi dan soal yang dibuat sendiri dari papan atau kertas karton. Permainan dilakukan berkelompok, 2-6 siswa. Para siswa diminta menjawab atau mengikuti instruksi menurut tema yang ditentukan, seperti culture and art, work, tourism, dan my country.

Awalnya pratek permainan ini susah, karena bahasa Inggris mereka belepotan. Namun kemampuan para murid berangsur membaik. Guru dan teman saling membantu. ”Yang penting keberanian mereka muncul,” kata Noordin.

Model ”flat” atau ”simulasi tematis” ha-nyalah dua dari beberapa metode kreatif pengajaran bahasa Inggris di sekolah yang kini berkembang. Bukan zamannya lagi guru hanya mengikuti cara mengajar yang konvensional.

Namun, apa pun metode dan ragamnya, menurut Tim Leader Creative Learning British Council, Mia Annisa, semua-nya bergantung pada guru dan murid. Kurikulum telah membuka kesempatan untuk menerapkan proses pembelajaran kreatif. ”Nah, apakah guru dan murid punya keinginan membekali diri lebih banyak untuk maju dan menang dalam kompetisi global,” kata Mia.

Memang, yang mendapat manfaat nya-ta adalah orang yang mau kreatif seperti Dedeh, Dwi dan kawan-kawan, Noordin beserta muridnya. Sedangkan Asep, Ujang, Angela, atau bahkan Stanley tetap menjadi boneka kertas karton yang selalu tersenyum.

Widiarsi Agustina dan Rinny Srihartini (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus