KASUS SARI DEWI HADIYATI, 1983 PEMBUNUH Nyonya Sari Dewi Hadiyati, selain profesional juga unjuk gigi. Sesudah sukses menghabisi nyawa sekretaris lembaga yang bergerak di bidang riset, International Rice Research Institute (IRRI) lewat bacokan pada tengkuk, punggung, dan perut, si pembunuh seakan-akan menantang polisi. Pelaku tindak kejahatan tadi dengan sengaja meninggalkan golok dan sarung tangannya di wastafel kamar 418-420 di Hotel Sahid Jaya, kantor IRRI, tempat pembantaian itu awal April, tiga tahun silam. Meski barang bukti seperti sengaja diberikan pelaku, hingga kini kasus pembunuhan di siang bolong dan pada sebuah bangunan umum yang ramai orang itu toh belum tersingkap juga. Kecerobohan petugas yang mengakibatkan sidik jari pembunuh teracak-acak memang sangat disesalkan. Inilah contoh pembunuhan yang "berhasil", begitu kesimpulan seorang ahli kriminologi. Pembunuhan Sari Dewi, 32, memang direncanakan dengan teliti. Bajingan itu agaknya tahu persis, kapan saatnya putri Kolonel Purnawirawan Abdul Hadi itu berada sendirian di kantornya. Pada waktu itulah, antara pukul 10.30 dan 14.00, sesudah teman korban, Mulia Hutapea, keluar ruangan, penjahat itu menyelinap masuk. Konon, dengan tenang pembunuh itu sempat meminta api rokok pada petugas hotel. Dan diperkirakan mereka dua orang. Tebasan golok pembunuh yang amat tajam itu diperkirakan diayun dengan keras hingga tulang leher korban patah. Saat korban dihabisi diperkirakan ia sedang berdiri atau duduk dan kepalanya tegak. Ini dilihat dari bekas luka di leher. Berbagai dugaan segera muncul. Awalnya, Yusuf Faisal, suami korban, sempat dilirik sebagai orang yang banyak tahu tentang pembunuhan itu. Soalnya, sejak kelahiran anak mereka yang ketiga, pasangan itu sering cekcok, bahkan belakangan mereka hanya berkomunikasi lewat surat. Keretakan itu makin meruncing sesudah dikabarkan Faisal mempunyai hubungan intim dengan seorang sekretaris di perusahaannya. Belakangan keterlibatan sang suami agaknya mulai dikesampingkan polisi. Rupanya, keretakan rumah tangga itu dimanfaatkan oleh pembunuh untuk mengail di air keruh. Perkiraan lain adalah dihubungkannya kematian Dewi itu dengan "perdagangan gelap emas". Polisi, kabarnya, menemukan dokumen bisnis logam mulia tadi di ruang kerja korban, dan konon Dewi masih punya tagihan Rp 1,1 milyar. Selain menjadi sekretaris, Dewi juga seorang direktris PT Estetika, yang menurut ibunya, perusahaan itu bergerak dalam bidang kontraktor. Kemungkinan lain, karena korban terlibat dalam sindikat narkotik. Delapan bulan sesudah kejadian, polisi toh masih saja menemui jalan buntu. Hinga akhir tahun 1983, Mayjen R. Soedjoko, Kapolda Metro Jaya kala itu, sempat mengumumkan sayembara berhadiah Rp 5 juta bagi siapa yang bisa mengungkap misteri kematian Dewi. Sempat terbetik kabar, ada dua gang terlibat dalam pembunuhan itu, dan salah satu di antaranya, konon, pernah diperiksa Kodam Jaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini