Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Jejak-jejak yang menghilang

Korban-korban pembunuhan yang masih gelap siapa pelakunya dan apa motifnya. diantaranya: sari dewi hadiyati, wibowo dan yanti, marsiah, yulie yasin, hasse, mayat terpotong 13. (krim)

27 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KASUS SARI DEWI HADIYATI, 1983 PEMBUNUH Nyonya Sari Dewi Hadiyati, selain profesional juga unjuk gigi. Sesudah sukses menghabisi nyawa sekretaris lembaga yang bergerak di bidang riset, International Rice Research Institute (IRRI) lewat bacokan pada tengkuk, punggung, dan perut, si pembunuh seakan-akan menantang polisi. Pelaku tindak kejahatan tadi dengan sengaja meninggalkan golok dan sarung tangannya di wastafel kamar 418-420 di Hotel Sahid Jaya, kantor IRRI, tempat pembantaian itu awal April, tiga tahun silam. Meski barang bukti seperti sengaja diberikan pelaku, hingga kini kasus pembunuhan di siang bolong dan pada sebuah bangunan umum yang ramai orang itu toh belum tersingkap juga. Kecerobohan petugas yang mengakibatkan sidik jari pembunuh teracak-acak memang sangat disesalkan. Inilah contoh pembunuhan yang "berhasil", begitu kesimpulan seorang ahli kriminologi. Pembunuhan Sari Dewi, 32, memang direncanakan dengan teliti. Bajingan itu agaknya tahu persis, kapan saatnya putri Kolonel Purnawirawan Abdul Hadi itu berada sendirian di kantornya. Pada waktu itulah, antara pukul 10.30 dan 14.00, sesudah teman korban, Mulia Hutapea, keluar ruangan, penjahat itu menyelinap masuk. Konon, dengan tenang pembunuh itu sempat meminta api rokok pada petugas hotel. Dan diperkirakan mereka dua orang. Tebasan golok pembunuh yang amat tajam itu diperkirakan diayun dengan keras hingga tulang leher korban patah. Saat korban dihabisi diperkirakan ia sedang berdiri atau duduk dan kepalanya tegak. Ini dilihat dari bekas luka di leher. Berbagai dugaan segera muncul. Awalnya, Yusuf Faisal, suami korban, sempat dilirik sebagai orang yang banyak tahu tentang pembunuhan itu. Soalnya, sejak kelahiran anak mereka yang ketiga, pasangan itu sering cekcok, bahkan belakangan mereka hanya berkomunikasi lewat surat. Keretakan itu makin meruncing sesudah dikabarkan Faisal mempunyai hubungan intim dengan seorang sekretaris di perusahaannya. Belakangan keterlibatan sang suami agaknya mulai dikesampingkan polisi. Rupanya, keretakan rumah tangga itu dimanfaatkan oleh pembunuh untuk mengail di air keruh. Perkiraan lain adalah dihubungkannya kematian Dewi itu dengan "perdagangan gelap emas". Polisi, kabarnya, menemukan dokumen bisnis logam mulia tadi di ruang kerja korban, dan konon Dewi masih punya tagihan Rp 1,1 milyar. Selain menjadi sekretaris, Dewi juga seorang direktris PT Estetika, yang menurut ibunya, perusahaan itu bergerak dalam bidang kontraktor. Kemungkinan lain, karena korban terlibat dalam sindikat narkotik. Delapan bulan sesudah kejadian, polisi toh masih saja menemui jalan buntu. Hinga akhir tahun 1983, Mayjen R. Soedjoko, Kapolda Metro Jaya kala itu, sempat mengumumkan sayembara berhadiah Rp 5 juta bagi siapa yang bisa mengungkap misteri kematian Dewi. Sempat terbetik kabar, ada dua gang terlibat dalam pembunuhan itu, dan salah satu di antaranya, konon, pernah diperiksa Kodam Jaya. KASUS HASSE, 1979 Ini bukan di Jakarta, tapi di Bone, Sulawesi Selatan. Tubuh perempuan malang yang sedang hamil muda itu ditemukan terbenam di sawah tanpa kepala di Kampung Pinra, Kecamatan Palakka, Bone, Maret 1979. Beberapa hari kemudian, kepala korban ditemukan tidak jauh dari badannya. Yang tetap menjadi misteri, kendati para pelakunya sudah diganjar hukuman, siapa sebenarnya wanita itu. Menurut penyelidikan polisi, korban adalah Hasse alias Hasnah, anak Jumaing Daeng Mattike dari Desa Kompegading, Maros. Di tubuh korban memang ditemukan perhiasan yang bertuliskan "inakke Has", yang artinya: saya Has. Selain itu sidik jari wanita yang terbunuh itu cocok dengan yang dimiliki Hsse yang menghilang dari rumahnya sejak Maret 1979. Keterangan Tike Petta Nisang, bibi tempat Hasse menumpang selama ini, semakin menguatkan dugaan itu. Ketika itu korban pamit untuk menghadiri pesta perkawinan salah seorang pamannya, tapi tak pernah kembali. Rok yang dikenakan korban diakui Tike sebagai yang biasa dikenakan Hasse. Ia yakin betul, karena ia sendiri yang membelikannya. Petunjuk itulah yang dijadikan pegangan bagi pihak kepolisian untuk melakukan penangkapan beberapa tersangka. Dan, konon, P.B. Harahap Bupati Bone saat itu, berdiri di balik pembunuhan keji ini, karena wanita yang kabarnya pernah dikencaninya itu dikhawatirkan bisa menghambat kariernya. Namun, pihak Pom ABRI yang juga melakukan pengusutan berkesimpulan lain: pembunuhan tersebut didalangi Kol (pur) Suaib, bekas Bupati Bone yang berambisi naik lagi. Sedangkan wanita yang terbunuh, menurut versi ini, adalah Sumiaty, karyawati klub malam. Dan entah atas pertimbangan apa versi Pom ABRI inilah yang akhirnya dipakai, dan para pelakunya pun ditangkap. Mula-mula Tahir, La Wali, lalu Abidin. Dari pengakuan mereka terbongkar bagaimana jalannya pembunuhan sejak dari perencanaan di sebuah restoran. Di tempat itu mereka dikenalkan dengan wanita muda bernama Sumiaty, yang kemudian diinstruksikan untuk dibunuh oleh komplotan A Tajuddin dan Koptu (Pol) A Mallaniung. Belakangan ketiga orang itu mcnyangkal melakukan pembunuhan. "Waktu itu saya terpaksa mengaku sebagai pembunuh karena tidak tahan siksaan," kata Tahir. Sementara itu, Tajuddin dan Mallaniung yang baru divonis pada Maret 1984 masing-masing mendapat 4 tahun 3 bulan 16 hari dan 4 tahun 1 bulan 21 hari. Kasus Hasse ini memang ruwet dan masih memendam sejumlah teka-teki. Apalagi kemudian Bupati P.B. Harahap dan istrinya, Sitti Haniah, terbunuh oleh Kaseng, penjaga kebun cengkih keluarga itu, pada Februari 1982. KASUS JULIE YASIN, 1981 Suratan hidup Julie Yasin mirip Dice Budimuljono. Meski tak sepopuler Dice, semasa hidupnya Julie juga dikenal sebagai peragawati, tingkat pemula. Lima tahun lalu wanita yang waktu itu berusia 26 tahun terbunuh di rumah Jalan Gudang Peluru 33A, Jakarta Selatan. Di tubuhnya yang mulus terdapat lima koyakan bekas tusukan sebilah pisau besar dan celurit di leher, dada, punggung, kepala, dan telinganya yang nyaris putus. Menurut visum Dokter Sidhi dari FK UI, meninggalnya Siti Zaenab -- nama asli Almarhumah yang asal Kalimantan ini -- akibat hunjaman benda tajam yang mengenai jantung, paru-paru kanan dan hati. Menjelang magrib, akhir Juni 1981, Julie sempat menerima empat orang tamu, yang konon menagih utang, sebelum ia menemui ajal. Tiga dari empat orang yang bertandang tadi, diduga Jaksa J.R. Bangun, sebagai pelaku pembunuhan itu, karena seorang lagi hingga kini masih buron. Pengadilan memang memeriksa Biru, Marjumin, dan Fauzi, tamu-tamu itu, sebagai tersangka. Dimuka hakim, Biru dan Marjumin menolak bahwa mereka yang membunuh istri Haji Yasin. Padahal, perbuatan itu pernah mereka akui kepada TEMPO. Kedua pria Madura itu membacok korban atas suruhan Fauzi, majikannya. Fauzi sendiri juga diadili. Tetapi pedagang besi tua di Surabaya ini di muka sidang selalu menampilkan dirinya sebagai orang "linglung". Pertanyaan-pertanyaan hakim sering dijawabnya dengan, "Tidak tahu, pusing, ...." Juga tingkah laku seenaknya ia pertontonkan, misalnya tak acuh saja ia tidur di kursi atau bahkan di lantai. Beberapa dokter jiwa dan psikiater memastikan bahwa Fauzi tidak normal alias gila. Memang akhirnya Fauzi dinyatakan bebas murni, sesudah melalui upaya hukum hingga sampai ke Mahkamah Agung, yang total waktunya mencapai lima tahun. Dua tertuduh yang lain juga divonis bebas. Tak jelas, hingga kini, apa dosa Julie sehingga ia dibunuh. Konon, beberapa hari sebelum Almarhumah meninggal, telah terjadi pertengkaran cukup seru antara Julie dan suaminya. Menurut gunjingan, Julie mempunyai hubungan cinta dengan seorang dokter. Dan beberapa saat sesudah pertengkaran, sebelum kejadian itu, Yasin, sang suami, pergi ke Surabaya. Sementara itu, Fauzi dikabarkan kini normal terus. Empat tahun lalu ia sempat mengawinkan anaknya, dan kini lelaki berusia 67 tahun itu memperluas usahanya. Ia membuka jalur perdagangan besi tua Ujungpandang -- Surabaya. KASUS WIBOWO DAN YANTHI, 1979 Tujuh tahun sudah, ketika mayat sejoli Wibowo Daryadi, 32, dan istrinya Yanthi Setiawan, 25, ditemukan dalam mobil Volvo yang terparkir rapi di Jalan Pasar Minggu, Jakarta, enam hari sebelum Natal 1979. Kasus terbunuhnya Direktur PT Rimba Delta dan Salawati Hayu -- perusahaan yang bergerak dalam bisnis perkayuan -- dan istrinya itu tak terungkap hingga kini. Entah di mana macetnya. Padahal, sepuluh bulan sesudah kejadian Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sempat menyidangkan perkara itu dengan menghadirkan tersangka Hasanuddin, yang tak lain adalah karyawan Wibowo sendiri. Justru penyeretan tertuduh itu merupakan bagian dari misteri yang meliputi tewasnya sejoli yang baru setengah tahun menikah itu. Adalah Hasanuddin, yang kala itu berusia 24 tahun, orang yang disangka menyuruh pasangan itu meminum racun hama serangga pada waktu mereka bermobil berkeliling Jakarta-Bogor-Jakarta (yang berakhir di Jalan Pasar Minggu) pada malam kejadian. Konon, korban mau mengikuti keinginan tertuduh karena mereka percaya adanya perintah "Eyang Kian Santang" -- nama panggilan roh halus yang kabarnya bisa menyembuhkan sakit muntah darah bercampur kaca yang sering dialami Wibowo. Penyakit Wibowo yang tak lazim itu diduga di-"kirim" oleh Liem, salah satu direktur Salawati. Antara kedua orang itu, sudah diketahui ada permusuhan pribadi. Menurut pengakuan Hasanuddin dalam sidang, ia memang pernah disuruh Liem untuk membunuh Wibowo. Bahkan ketika ia dalam tahanan, Liem pernah datang dan menjanjikan imbalan Rp 20 juta agar ia mengakui tuduhan polisi bahwa dia yang membunuh Wibowo. Keterangan tertuduh yang menyudutkan polisi itu hingga kini tak bisa dicek, benar atau hanya karangan. Soalnya, minggu ketiga November enam tahun silam, anak muela berkaca mata itu berhasil lolos dari pengawalan alat negara. Tetapi ia masih bisa membuka mulut lewat buku catatan harian yang berjudul Diary San-San: Untuk Dikenang. Tanggal 7 Mei ia menulis pada buku kumal itu: "Saya tak habis pikir .... Liem dan kawannya yang membawa Bowo dan Yanthi. Tapi kenapa dia bebas? Tidak diperiksa?" Enam hari sebelumnya, pada buku yang sama, ia menulis bahwa Liem mempunyai kegiatan gelap seperti menyelundupkan bahan peledak, senjata dan "pengembalian orang-orang Cina di Kalimantan. Wibowo dan orang lain bernama Priambodo, tulisnya, dibunuh karena tahu kegiatan tersebut "Tapi Liem . . . saya juga tahu dan bisa buka suara dalam sidang nanti." Liem hanya sempat diajukan jaksa sebagai saksi. KASUS MARSIAH, 1982 Nasib tragis juga ditemui oleh Marsiah. Tubuh wanita muda yang hanya dibalut pullover, kemeja tebal lengan panjang, berwarna cokelat, tanpa identitas sepotong pun, tergeletak di rawa dekat Pacuan Kuda Pulo Mas, Jakarta Timur. Sekujur badan korban penuh bekas penganiayaan. Yang lebih menyedihkan, selain ada tanda-tanda diperkosa, pada bagian luar dan dalam alat vitalnya ditemukan luka cukup parah bekas sodokan benda keras semacam kayu. Dubur korban pun ada kesan sering "dipakai". Semula dugaan polisi, mayat itu seorang perempuan nakal. Namun, sehari setelah ditemukan ada yang menjemput mayat korban di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan diakui sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Sukro, pejabat di konsulat jenderal RI di Sydney, Australia, 1982-1984 yang waktu itu menjelang pensiun, dan menetap di Jakarta. Dalam laporannya kepada polisi, Sukro menyatakan bahwa Marsiah sudah dua tahun ikut keluarga itu. Waktu itu ia memaksa hendak pulang kampung, meski sudah dibujuk agar bersabar dulu. Tahu-tahu, ia ditemukan tewas secara mengerikan. Pihak kepolisian ketika itu mengesampingkan Marsiah adalah korban perkosaan atau perampokan biasa. Satu-satunya yang mendekati kemungkinan, wanita muda itu telah menjadi korban keganasan atau penyimpangan seks. Namun, ruang gerak penyidikan pihak kepolisian agak terhambat karena sulit memperoleh data lebih banyak. Keluarga Sukro -- masih ada hubungan famili dengan korban -- tampaknya enggan memberikan banyak keterangan. Dan, sejak kejadian itu, Juni 1984, hingga kini belum diketahui siapa pelakunya. Kabarnya, pelacakan polisi tidak hanya di sekitar kejadian, tapi iuga menyeberang ke Australia. KASUS "MAYAT 13", 1981 Ini paling misterius sepanjang yang pernah ditangani oleh kepolisian. Bahkan siapa mayat terpotong 13 ini pun, sampai hari ini, tak jelas. Apalagi motif pembunuhannya. Adalah dua orang gelandangan menemukan dua kardus berisi cacahan daging yang sudah mulai membusuk. Waktunya, November 1981, di dekat halte bis Jalan Sudirman, Jakarta Selatan. Dari hasil penyatuan potongan daging dan tulang oleh Lembaga Kriminologi UI terbentuk sosok seorang laki-laki muda, tidak disunat, tinggi badan sekitar 165 cm, berkulit bersih, dan agak gemuk. Identifikasi lain menunjukkan mayat misterius itu berambut hitam, lurus, dan gondrong. Hidungnya pesek, matanya cokelat kehitaman, ada tahi lalat di dagu dan pipinya. Ciri-ciri korban diumumkan, sejumlah orang yang kehilangan keluarga dipersilakan menjenguk si mayat. Namun, ditunggu sampai seminggu, tidak seorang pun mengakui korban pembunuhan ini sebagai anggota keluarganya. Tentu, ini semakin menyulitkan pihak kepolisian yang sejak semula tidak memperoleh petunjuk secuil pun. Sempat ada dugaan, korban adalah Tjin Liang, jagal babi yang tinggal di bilangan Kapuk, Jakarta Barat. Ciri-ciri Tjin Liang sepintas mirip dengan korban pembunuhan keji itu. Apalagi, sejak sehari sebelum mayat terpotong 13 ditemukan, jagal ini menghilang tanpa berita. Eh, beberapa. hari kemudian, yang menghilang muncul dalam keadaan segar bugar. Alhasil, pihak kepolisian mulai bekerja dari awal lagi. Dan hingga kini mayat yang dipotong-potong secara "ilmiah" -- pemotongnya mengenal anatomi tubuh -- tetap misterius.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus