Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketua KPK Firli Bahuri memilih rekan seangkatannya di Akademi Kepolisian, Brigadir Jenderal Karyoto, sebagai Deputi Penindakan.
Karyoto ditengarai pernah membocorkan kasus ke instansi asalnya dan terlibat dalam kriminalisasi pimpinan KPK.
Karyoto diduga dekat dengan perusahaan penambang pasir ilegal di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
DIPIMPIN Komisaris Jenderal Firli Bahuri, acara pelantikan empat pejabat struktural Komisi Pemberantasan Korupsi itu berlangsung sekitar setengah jam pada Selasa, 14 April lalu. Dengan memakai masker, Ketua KPK tersebut menyalami para pejabat baru setelah selesai melantiknya. Mereka lalu bersama-sama menuju lantai 15, ruang pimpinan komisi antikorupsi, untuk beramah-tamah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pejabat baru itu adalah Brigadir Jenderal Karyoto sebagai Deputi Penindakan, Komisaris Besar Endar Priantoro selaku Direktur Penyelidikan, Mochamad Hadiyana sebagai Deputi Informasi dan Data, serta Ahmad Burhanuddin selaku Kepala Biro Hukum. “Mereka telah melalui sejumlah tahapan seleksi. KPK mencari yang terbaik,” kata Firli melalui pesan WhatsApp pada Kamis, 16 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski pelantikan dipandu Firli, surat keputusan pengangkatan empat pejabat itu diteken Sekretaris Jenderal KPK Cahya Harefa. Biasanya surat keputusan pengangkatan pejabat struktural, termasuk pelaksana tugas juru bicara lembaga antikorupsi pada 27 Desember 2019, ditandatangani Ketua KPK.
Proses pemilihan empat jabatan struktural itu dimulai pada 5 Maret dengan diikuti 53 peserta. Seleksi meliputi kelengkapan administrasi, tes potensi, dan asesmen kompetensi. KPK juga menggelar tes kesehatan jasmani dan rohani, presentasi makalah soal visi-misi jabatan, serta wawancara oleh pimpinan.
Hasil akhir dari seluruh proses dibahas oleh lima pemimpin dengan tambahan informasi berupa data laporan harta kekayaan penyelenggara negara dan hasil penelusuran kandidat. Rangkaian yang panjang ini berlangsung selama 14 hari dan tertutup. “Pemilihan calon terbaik untuk jabatan-jabatan itu dilakukan secara kolektif kolegial,” ujar Firli. Biasanya KPK selalu meminta masukan publik dan transparan tiap menggelar seleksi jabatan struktural.
Untuk jabatan Deputi Penindakan, ada 15 orang yang mendaftar dari kalangan internal KPK, Kepolisian RI, dan jaksa. Dalam tahap wawancara, hanya tersisa tiga orang yang semuanya berasal dari Korps Bhayangkara. Mereka adalah Wakil Kepala Kepolisian Daerah Yogyakarta Brigadir Jenderal Karyoto, Kepala Pendidikan dan Pelatihan Reserse Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Polri Brigjen Agus Nugroho, dan Wakil Kepala Polda Sumatera Selatan Brigjen Rudi Setiawan. Dari tiga orang itu, Karyoto paling diunggulkan karena pernah menjadi penyidik KPK pada 2004-2008.
Untuk posisi Direktur Penyelidikan, terdapat 17 pendaftar yang berasal dari Kejaksaan Agung, kalangan internal KPK, Polri, dan instansi lain. Dalam tahap wawancara, tersisa pengajar di Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi Polri, Komisaris Besar Nazirwan Adji Wibowo; pelaksana tugas Direktur Penyelidikan KPK, Iguh Sipurba; Kepala Sub-Direktorat II Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Besar Endar Priantoro; dan Kepala Satuan Tugas XIII Direktorat Penyidikan KPK Afief Yulian Miftach. Pemimpin KPK memilih Endar ketimbang dua pegawai KPK yang lebih berpengalaman itu.
Dari empat pejabat yang terpilih, Brigadir Jenderal Karyoto paling mendapat sorotan. Lulusan Akademi Kepolisian 1990 itu pernah mendaftar sebagai Direktur Monitoring pada 2016. “Dia tak lolos karena tidak hadir dalam rangkaian seleksi,” kata Kepala Biro Sumber Daya Manusia KPK Chandra Sulistio Rekso Prodjo. Lima pemimpin KPK periode 2015-2019 juga menerima informasi dari bagian pengawasan internal KPK. “Keputusan diambil oleh lima pemimpin atas banyak sumber masukan terbuka dan tertutup tentang seorang calon,” ucap Wakil Ketua KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang. Menurut narasumber lain, saat masih menjadi penyidik, Karyoto terdeteksi pernah membocorkan rahasia penting KPK ke kantor asalnya.
Karyoto/Antara
Nama Karyoto juga sempat masuk radar KPK. Ia terdeteksi berkomunikasi dengan seorang petinggi partai politik dalam menyiapkan skenario kriminalisasi terhadap dua pemimpin KPK saat itu, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, pada Januari 2015. Waktu itu lembaga antikorupsi baru saja menetapkan calon Kepala Polri, Komisaris Jenderal Budi Gunawan, sebagai tersangka kasus kepemilikan rekening gendut. Majalah Tempo edisi 13-19 Juli 2015 memuat bukti percakapan rahasia Karyoto dengan petinggi partai itu.
Karyoto, yang saat itu menjabat Direktur Kriminal Umum Polda Yogyakarta, juga mendatangi KPK pada awal Februari 2015. Dia membawa surat panggilan pemeriksaan dari Bareskrim untuk sejumlah pejabat KPK. Rekan seangkatan Firli Bahuri di Akademi Kepolisian ini juga meminta data tiga kasus besar yang ditangani KPK.
Pada 2015 itu juga, kata tiga penegak hukum kepada Tempo, Karyoto diduga pernah meminta rekaman bukti pemeriksaan suatu kasus yang menyangkut koleganya di Korps Bhayangkara yang sedang ditangani lembaga antirasuah. “Dia pernah menyuruh kurir di KPK untuk mengambil CD rekaman pemeriksaan,” ujar salah seorang penegak hukum. Pegawai yang berkontak dengan Karyoto kemudian mendapat sanksi dari Pengawas Internal KPK.
Nama Karyoto juga masyhur dalam bisnis tambang pasir di sekitar Gunung Merapi dan Kali Opak di Yogyakarta. Tiga bulan setelah Karyoto dilantik sebagai Wakil Kepala Polda Yogyakarta atau pada Oktober 2019, Kepolisian Perairan Yogyakarta menormalisasi Kali Opak dengan cara menyedot pasir. Mereka berdalih hal itu untuk kebutuhan membangun dermaga kapal polisi perairan.
Pengerukan pasir di sekitar lokasi proyek dermaga kapal polisi perairan melibatkan PT Surya Karya Setiabudi, yang diduga menambang pasir secara ilegal di Sungai Bebeng, Magelang, Jawa Tengah, pada 2016. Karyoto ditengarai ada di belakang PT Surya Karya sehingga perusahaan itu bebas menambang pasir di kawasan Merapi. Cerita soal Karyoto juga sampai ke telinga warga di sekitar Kali Opak. “Karyoto terkenal di kalangan penambang pasir,” kata Wahyu Setiya Purwanti, warga yang terkena dampak penambangan pasir, Kamis, 16 April lalu.
Pada 2019, PT Surya Karya menjadi pihak ketiga yang disewa Kepolisian Perairan Polda Yogyakarta. Warga menolak pengerukan pasir dengan alat sedot karena merusak kelestarian hutan bakau serta mengganggu usaha peternakan dan pertanian. Kepolisian Perairan Yogyakarta dan PT Surya Karya tidak bisa menunjukkan surat-surat perizinan atas nama normalisasi kepada warga.
Hubungan Karyoto dengan PT Surya Karya pernah diungkap Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Serayu-Opak Tri Bayu Adji. Penambangan pasir oleh perusahaan milik Muhammad Suryo itu tak mengantongi surat rekomendasi teknis dari Balai Besar. Padahal rekomendasi teknis merupakan syarat wajib sekaligus pintu masuk untuk memperoleh izin menambang sebelum diteken Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Jawa Tengah. Artinya, penambangan pasir 200 ribu kubik dalam setahun yang dilakukan PT Surya Karya itu ilegal.
Balai Besar kemudian menerbitkan surat teguran sekaligus meminta perusahaan menghentikan penambangan. Beberapa hari setelah surat itu terbit, Tri Bayu mendapat panggilan telepon dari seorang pria yang mengaku sebagai Direktur Intelijen Bidang Pemberantasan Badan Narkotika Nasional Brigadir Jenderal Karyoto. Karyoto meminta Balai Besar tidak menghalangi PT Surya Karya menambang pasir di Sungai Bebeng. “Saya dua hingga tiga kali ditelepon orang yang mengaku sebagai Brigjen Karyoto,” tutur Tri Bayu.
Pada 27 Maret 2017, Muhammad Suryo datang ke kantor Balai Besar di Yogyakarta bersama seorang pria yang mengaku sebagai Karyoto. Karena Tri Bayu sedang tidak di kantor, mereka diterima sejumlah pegawai Balai. Ketika itu, pria yang mengaku sebagai Karyoto tersebut marah-marah dan mengancam. “Jangan mencari-cari kesalahan. Kalau Anda memang mencari-cari kesalahan, kami juga bisa dua kali lipat mencari kesalahan Anda,” ujar salah seorang pegawai Balai menirukan ucapan pria tersebut.
Kuasa hukum PT Surya Karya, Layung, mengatakan perusahaan memang sempat mengajukan gugatan atas surat teguran Balai Besar. “Kegiatan ini bukan domain Balai Besar,” kata Layung. Belakangan, gugatan tersebut dicabut.
Dimintai konfirmasi mengenai tindakannya di masa lalu terhadap KPK dan soal keterlibatannya dalam penambangan pasir, Karyoto bungkam. Ia awalnya menjawab panggilan telepon, tapi mematikannya setelah mengetahui panggilan itu dari Tempo. Surat permohonan wawancara yang dikirimkan melalui bagian Hubungan Masyarakat KPK juga tak ia tanggapi. “Dijawab oleh juru bicara, ya,” ujar Karyoto merespons surat tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Shinta Maharani dari Yogyakarta berkontribusi dalam penulisan artikel ini.