Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perubahan postur APBN lewat Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 menimbulkan riak di parlemen.
Dituding melangkahi hak penganggaran Dewan Perwakilan Rakyat yang dijamin UUD 1945.
Bukan hanya DPR, Badan Pemeriksa Keuangan juga merasa kecolongan.
PERINGATAN yang dilontarkan Dito Ganindito, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, sebelum ia memulai sidang pada Senin, 6 April lalu, tidak mempan. Beberapa anggota Komisi DPR yang membidangi keuangan tersebut tetap saja mempertanyakan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 kepada Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang menjadi tandem dalam rapat kerja virtual tersebut.
Rapat kerja di tengah pandemi Covid-19 itu merupakan kesempatan pertama bagi Komisi Keuangan DPR untuk bertemu dengan KSKK setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan pada 31 Maret lalu. Sadar ada yang bertanya tentang perpu itu, Dito, politikus dari Fraksi Partai Golongan Karya yang memimpin sidang, mengingatkan koleganya agar taat pada agenda rapat. “Perpu akan dibahas di Badan Anggaran. Kita rapat kerja seperti biasa,” kata Dito, Kamis, 16 April lalu, menirukan ucapannya ketika itu.
Mata acara sidang memang hanya membahas perkembangan kondisi perekonomian nasional di tengah wabah Covid-19. Semua anggota KSSK, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Halim Alamsyah, hadir dari tempat masing-masing.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Wimboh Santoso (kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Halim Alamsyah setelah menggelar rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan di Kementerian Keuangan, Jakarta. ANTARA/Hafidz Mubarak A.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun tema rapat virtual itu tidak bisa menghindarkan sorotan anggota Komisi Keuangan terhadap perpu tersebut. Wet itu sudah kadung memanaskan Senayan. Pemicunya bukan lagi soal pasal 27, yang dikritik pegiat antikorupsi lantaran mengecualikan belanja negara untuk penanganan dampak Covid-19 dari kemungkinan tuntutan pidana, melainkan pasal 12.
Ayat 2 pada pasal 12 memberikan landasan perubahan postur atau rincian anggaran hanya lewat peraturan presiden, tanpa persetujuan parlemen. Dengan ketentuan ini, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020 pada 3 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu yang memanaskan ontran-ontran Perpu Nomor 1 Tahun 2020 dan Perpres Nomor 54 Tahun 2020 adalah anggota Komisi Keuangan dari Fraksi Gerindra, Heri Gunawan. Menurut dia, pemerintah harus melibatkan DPR dalam pembahasan APBN dan perubahannya. Kewajiban itu tertuang dalam Pasal 20 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 tentang fungsi anggaran DPR dan Pasal 23 yang mengatur APBN ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang. “Jika Perpres Nomor 54 Tahun 2020 dipaksakan, pemerintah bisa dianggap melakukan pengebirian terhadap hak konstitusional DPR terkait dengan penganggaran,” ucap Heri, Kamis, 16 April lalu.
Polemik tak hanya muncul di komisi yang membidangi keuangan, tapi juga di Komisi Hukum. Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny Kabur Harman, menilai perpu tersebut mengesampingkan hak penganggaran parlemen. Betapapun ada situasi genting, seperti wabah Covid-19, kata Benny, pemerintah tetap harus mengajukan perubahan APBN sesuai dengan amanat konstitusi. “Seminggu bisa selesai pembahasannya. Kalau memang mau diajukan,” tutur Benny, Rabu, 15 April lalu.
•••
PRESIDEN Joko Widodo memutuskan pengalokasian ulang anggaran 2020 buat penanganan wabah Covid-19 dalam rapat kabinet pada Senin, 16 Maret lalu. Jokowi meminta belanja yang kurang penting di masa pandemi, seperti perjalanan dinas dan rapat, dihapus.
Dua hari kemudian, 18 Maret, Menteri Keuangan Sri Mulyani menggelar konferensi. Berdasarkan kalkulasi Kementerian Keuangan, ada anggaran sebesar Rp 5-10 triliun yang bisa direalokasikan untuk penanganan Covid-19. Terdapat pula anggaran hingga Rp 17,7 triliun dari dana transfer daerah yang dapat dialihkan buat penanganan wabah di daerah.
Saat itu, Menteri Sri menyatakan pemerintah akan segera mengabarkan perubahan alokasi anggaran kepada parlemen. DPR memang sedang reses ketika Mulyani menggelar konferensi. “Kita lakukan komunikasi secara informal dulu,” ujar Sri. Parlemen baru memulai masa sidang ketiga 2019-2020 pada 30 Maret lalu.
Pasal 19 Undang-Undang APBN 2020 memang menyebutkan pemerintah dapat mengubah anggaran belanja, antara lain dalam rangka penanggulangan bencana alam. Untuk keperluan yang sama, pemerintah juga bisa menambah pinjaman luar negeri. Namun perubahan tersebut mesti dilaporkan dalam APBN Perubahan.
Tapi, pada 2 April lalu, yang diserahkan Sri Mulyani bukan Rancangan APBN Perubahan 2020. Ditemani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, Sri menyerahkan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 kepada Ketua DPR Puan Maharani. Perpres Nomor 54 Tahun 2020 terbit sehari kemudian.
Perpres sebagai “baju baru” untuk APBN-P 2020 tersebut berisi perubahan anggaran yang cukup signifikan. Proyeksi pendapatan negara turun dari Rp 2.233,2 triliun menjadi Rp 1.760 triliun. Sebaliknya, alokasi belanja negara naik dari Rp 2.540,4 triliun menjadi Rp 2.613,8 triliun. Di antaranya merupakan tambahan belanja Rp 255 triliun buat penanganan Covid-19.
Rapat kerja virtual Menkeu Sri Mulyani, Gubernur BI, Ketua DK OJK dan Ketua DK LPS dengan Komisi XI DPR RI, 6 April lalu./instagram @smindrawati
Turunnya asumsi pendapatan dan naiknya belanja membuat defisit anggaran makin menganga, dari semula Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen dari produk domestik bruto (PDB) menjadi Rp 852,9 triliun atau 5,07 persen dari PDB. Walhasil, proyeksi utang dari Rp 351,9 triliun menjompak hampir tiga kali lebih tinggi menjadi Rp 1.006,4 triliun.
Perpu Nomor 1 Tahun 2020 memang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Keuangan Negara yang sebelumnya membatasi defisit anggaran hanya 3 persen dari PDB. Pelonggaran aturan defisit anggaran tanpa batas ini direncanakan paling lama hingga 2022.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengakui, hingga pertengahan Maret lalu, Kementerian Keuangan masih membuka opsi mengajukan Rancangan APBN-P 2020 kepada parlemen. Namun, pada saat yang sama, gelombang Covid-19 makin buas. Situasi genting itu membuat pemerintah mengubah haluan dan menerbitkan perpu. “Kalau harus pakai undang-undang untuk tiap perubahan, korbannya akan bertambah banyak,” kata Yustinus, Jumat, 17 April lalu. “Butuh respons yang sangat cepat, bahkan dalam hitungan hari.”
Yustinus mencontohkan pelaksanaan program Kartu Prakerja. Awalnya, program itu dibuat untuk melatih para pencari kerja baru. Namun wabah Covid-19 memaksa pemerintah mengubah peruntukannya menjadi buat pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja imbas Covid-19. Anggaran naik dua kali lipat menjadi Rp 20 triliun karena jumlah penerima dan nominal bantuan meningkat. “Kalau menunggu Undang-Undang APBN-P selesai buat melaksanakannya, bisa 30-60 hari,” tuturnya.
Secara teori, menurut dia, undang-undang memang bisa dibahas kilat. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, misalnya, beres dibahas dalam 23 hari kerja. “Tapi sekarang kondisinya berbeda. Ada kebijakan work from home dan lain-lain,” ucap Yustinus.
Di luar soal anggaran, dia menambahkan, pemerintah juga mempertimbangkan kebutuhan memberikan jaminan kepada para pengambil keputusan agar tidak gamang dalam mengeluarkan kebijakan. Karena itu, Pasal 27 Perpu Nomor 1 Tahun 2020 lahir untuk menjamin bahwa biaya penanganan krisis akibat Covid-19 bukan merupakan kerugian negara. Pasal tersebut juga menjamin pejabat yang melaksanakan perpu itu tidak dapat dituntut perdata dan pidana selama beriktikad baik. “Kalau enggak dipagari dengan pasal ini, enggak ada yang berani ambil kebijakan,” tutur Yustinus.
•••
Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tidak hanya memanaskan partai yang berada di luar barisan pendukung pemerintah. Segera setelah parlemen menerima surat perpu pada 2 April lalu, pemimpin Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan—partai terbesar di lingkaran pemerintah Jokowi—menggelar pembahasan khusus di kantor pusatnya di Menteng, Jakarta Pusat. Diskusi itu antara lain dihadiri Ketua Fraksi PDI Perjuangan Utut Adianto dan Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan Bambang Wuryanto.
Menurut seorang peserta diskusi tersebut, kendati pada akhirnya akan mendukung langkah pemerintah, partai banteng menilai penerbitan perpu kurang pas. Dihubungi Tempo pada Jumat, 17 April lalu, Bambang membenarkan adanya diskusi dengan Utut di kantor partai. Namun dia menolak menjelaskan lebih detail.
Gedung Badan Pemeriksa Keuangan di Jakarta. Tempo/Tony Hartawan
Di luar DPR, perpu tersebut juga membuat pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan kaget. Pimpinan BPK sebenarnya telah menerima konsultasi KSSK terkait dengan penanganan potensi krisis akibat wabah Covid-19 pada 30 Maret lalu. Dalam rapat virtual pada Senin siang itu juga dibahas perubahan anggaran, termasuk opsi penerbitan perpu atau Rancangan Undang-Undang APBN-P.
Tanpa pembahasan lebih lanjut, perpu terbit keesokan harinya. Seorang auditor senior mengungkapkan, pimpinan BPK merasa kecolongan. Sebab, beberapa pasal di dalamnya berpotensi mempersulit BPK dalam mengaudit belanja penanganan Covid-19.
Anggota III BPK Achsanul Qosasi membenarkan kabar bahwa rapat konsultasi dengan KSSK tidak membahas substansi perpu. Namun, dia menegaskan, BPK kini berpendapat bahwa selama merupakan bagian dari keuangan negara, belanja dan kebijakan keuangan lain untuk penanganan Covid-19 tetap dapat diperiksa. Apalagi Perpu Nomor 1 Tahun 2020 mengamanatkan penerbitan peraturan pelaksana untuk mengganti aturan teknis sebelumnya. “Apabila ada pelanggaran terhadap aturan teknis yang menyebabkan berkurangnya uang negara yang nyata dan pasti jumlahnya, itu dapat dikategorikan sebagai kerugian negara,” ujar Achsanul.
KHAIRUL ANAM
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo