MATEJ Gaspar, bayi berambut pirang yang lahir di Zagreb, Yugoslavia, bulan Juni lalu, mungkin bukan satu-satunya penduduk bumi yang kelima milyar, seperti yang diklaim PBB. Malaysia juga menyatakan telah melahirkan bayi yang kelima milyar. Dan mungkin juga di Indonesia ada satu -- atau lebih -- bayi yang lahir pada jam yang sama dengan Matej. Tapi ini tidak penting. Yang penting adalah bahwa planet kita ini harus menghidupi lima milyar penduduk lebih. Dan jumlah ini masih bertambah dengan 220.000 setiap hari, sekalipun lahirnya ditempat yang salah. Itulah kenapa sekarang ada Siberia yang lengang dan Calcutta yang hiruk pikuk. Dari jumlah 220.000 ini, sebanyak 95.000 bayi lahir setiap hari di Indonesia, di antaranya 5.000 bayi lahir di Jawa. Jawa Barat mempunyai tingkat pertambahan penduduk paling tinggi, disusul oleh Jawa Tengah dan Jawa Timur. Jumlah pertambahan penduduk di DKI lebih besar dari pertambahan penduduk di Kalimantan atau Sulawesi. Malthus ternyata salah. Dia tak pernah membayangkan bahwa sebuah revolusi hijau telah menyelamatkan umat manusia dari bencana kekurangan pangan. Di seluruh dunia -- kecuali di beberapa negara Afrika -- kecepatan pertambahan produksi pangan telah mengalahkan laju pertambahan penduduk. Di Afrika pun yang terjadi sebenarnya bukan tanahnya yang salah. Cara bercocok tanam yang kuno, birokrasi, dan korupsi pada instansi pemerintah telah menghalangi Afrika untuk menikmati panen revolusi pangan. Di bidang pangan ini, masalahnya adalah -- seperti yang dihadapi negara Industri -- justru bagaimana membuang surplus yang sudah menggunung itu. Di Indonesia pun masalah yang timbul dari jumlah penduduk tampaknya tak ada kaitannya dengan jumlah mulut yang harus diberi makan. Produksi berasnya selama beberapa tahun ini naik 6% tiap tahun, tiga kali lipat tingkat kenaikan penduduknya. Yang terdengar sekarang ini adalah bagaimana surplus beras ini akan dikurangi. Lahan untuk sawah akan dikurangi, dan bahwa diversifikasi ke arah tanaman palawija akan digalakkan. Maka, kalau Malthus salah, kalau soal perut lima milyar penduduk sudah tuntas, apa yang menyebabkan orang merasa gelisah dengan penduduk yang terus bertambah itu, sampai mereka merasa perlu menggiatkan program pembatasan kelahiran ? Berbagai cara telah digunakan orang untuk membatasi kelahiran dari cara yang paling halus seperti kondom, sampai cara yang paling brutal dan sadis. Di India, sterilisasi paksaan yang dilakukan Perdana Menteri Mendiang Indira Gandhi membuat program keluarga berencana menjadi mandul. Bukan saja penipuan terjadi sekadar untuk memperoleh hadiah uang dari pemerintah, tapi di beberapa daerah timbul protes yang berakhir dengan kerusuhan berdarah. Di RRC, pada 1979, diperkenalkan kebijaksanaan menunda perkawinan dan keharusan punya anak tak lebih dari satu. Wajar kalau orang tua menginginkan anak satu-satunya itu laki-laki, hingga bisa dibayangkan apa yang terjadi kalau yang lahir ternyata perempuan. Seorang ahli kependudukan AS, Ansley Coale, memperkirakan bahwa tiga tahun setelah kebijaksanaan itu dilakukan dengan menghitung rasio antara anak laki dan perempuan dari sensus 1982 -- sebanyak 250.000 bayi perempuan dibunuh. Dan cerita tentang bayi perempuan yang dibuang ke sungai memang terdengar pada masa itu. Virus AIDS yang ditakuti itu, yang berasal dari Afrika, rupanya punya peranan dalam mengurangi jumlah penduduk Afrika. Di beberapa daerah terpencil benua hitam itu, AIDS tak jarang membunuh sampai 50% penduduknya. Maka, keluarlah ide konyol dari beberapa kalangan: kenapa tak membiarkan AIDS melakukan aksinya? Tapi pada akhirnya, yang akan beroperasi paling efektif dalam pengekangan jumlah penduduk adalah peningkatan taraf hidup yang dimungkinkan dari bertambahnya lapangan kerja. Apalagi, kalau ini mengakibatkan makin banyaknya jumlah wanita yang bekerja. Di negara industri, jumlah wanita yang bekerja terus bertambah dan tampaknya memang ada korelasi positif antara turunnya tingkat kelahiran dan makin banyaknya jumlah wanita yang bekerja. Kesimpulannya barangkali adalah: perbanyaklah jumlah wanita karier. Mereka bukan saja akan meringankan beban para suami, tapi mereka juga bisa berperan sebagai kekuatan yang mengerem pertambahan kelahiran. Biarkan mereka menikmati pakerjaannya dan asyik di kantor. Selama 25 tahun terakhir, Indonesia telah mengalami perubahan struktural dalam komposisi penduduknya. Indonesia ternyata telah menjadi negeri anak sekolah. Mereka adalah yang sekarang berumur antara 5 dan 24 tahun. Pada 1961, mereka merupakan 40% dari jumlah penduduk. Sepuluh tahun kemudian, mereka berkembang dan merupakan 44% penduduk dan meningkat menjadi 46% pada 1980. Bila trend ini terus berlanjut, pada 1990 mereka akan berjumlah 83 juta, yang akan merupakan hampir separuh penduduk Indonesia. Mereka akan merupakan mayoritas, dan akan mempunyai tuntutan yang makin kompleks. Mereka sudah selesai dengan masalah pilihan antara singkong dan keju. Dan karena mereka masih dalam usia sekolah, mereka belum menghasilkan apa-apa. Di samping mereka, ada juga golongan lain yang umumnya tak bekerja, yaitu mereka yang sudah pensiun dan berusia lanjut. Mereka, yang berumur diatas 55 tahun itu, jumlahnya terus meningkat dari 6 juta pada 1961 menjadi 12 juta pada 1980. Dan jumlah ini akan terus meningkat, karena umur rata-rata orang Indonesia kini makin panjang. Siapa yang menanggung hidup kedua golongan ini? Tentunya mereka yang bekerja. Orang Indonesia yang mencapai usia kerja, yang berumur 25-54 tahun, mengalami penciutan relatif. Jumlah mereka sebagai bagian jumlah penduduk turun 35% pada 1961 menjadi 32% pada 1980. Tapi mereka adalah golongan yang bekerja, yang menghasilkan pendapatan nasional. Bila mereka gagal meningkatkan produktivitas, mereka akan sulit sekali memenuhi tuntutan golongan yang tak menghasilkan. Bagi para perencana negeri ini, ini adalah pertanda perlunya tambahan mvestasl di bidang pendidikan dan sosial, investasi yang kurang komersial, yang tak memberi keuntungan ekonomi dengan segera. Sebuah implikasi fiskal yang tidak enak memang, yang mesti muncul pada APBN setiap tahun. Apalagi, yang terlibat di sini bukan sekadar kuantitas fisik, tapi juga mutu: sistem pendidikan yang semrawut hari ini berarti menyerahkan Indonesia pada awal abad 21 nanti kepada sebuah generasi yang juga semrawut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini