TUJUH partai pemenang pemilihan umum tampaknya sudah bulat tekad untuk mengubah UUD 1945. Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) awal Oktober ini akan menjadi arena bagi proses perubahan itu. Kalau semua lancar, presiden terpilih akan memerintah berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen. Dengan demikian, Indonesia siap memasuki lembaran sejarah baru.
UUD 1945—dulu dibuat tergesa-gesa dan bukan oleh lembaga perwakilan rakyat—memang mengandung banyak kelemahan, sehingga demokrasi amburadul. Tapi produk hukum itu dianggap sebagai benda suci yang harus dikeramatkan. Setiap orang yang melontarkan gagasan untuk mengubah UUD 1945 langsung dituduh subversi. Padahal, jurus mengeramatkan UUD 1945 dimaksudkan agar pemerintah Orde Baru dapat menggunakan kekuasaan sebesar-besarnya, tanpa sistem check and balance. Kekuasaan ini mendapatkan justifikasinya dalam kelemahan UUD 45—yang antara lain tidak menetapkan secara spesifik masa jabatan presiden. Akibatnya, lembaga kepresidenan menjelma menjadi pusat kekuasaan yang besar (executive heavy).
Semasa Orde baru, kekuasaan presiden jauh melampaui kekuasan lembaga tinggi negara seperti Mahkamah Agung (MA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Selain mengendalikan bidang eksekutif, kekuasaannya menyusup ke lembaga legislatif dan yudikatif. Presiden adalah mandataris MPR, kepala pemerintahan, kepala negara, sekaligus pembuat peraturan perundang-undangan. Akibatnya, penyelenggaraan negara semakin jauh dari prinsip kedaulatan rakyat. Presiden Soeharto bahkan bisa menentukan pengangkatan dan pencopotan anggota lembaga tinggi negara yang lain. Sedemikian mutlaknya wewenang presiden sehingga keputusan pemerintah adalah wujud dari hasrat pribadi presiden, bukan kemauan rakyat. Tak aneh bila masa itu dianggap sebagai era kekuasaan raja yang berjubah republik dan berhiaskan kehendak rakyat.
Kalangan perguruan tinggi bukan tidak mengkritik UUD 1945 dan praktek ketatanegaraan Orde Baru. Tapi akibatnya bisa fatal. Sri Bintang Pamungkas dan dua rekannya dari Partai Uni Demokrasi Indonesia, pada 5 Maret 1997, ditangkap lantaran memproduksi konsep penyempurnaan UUD 1945. Sri Bintang memang tak menghiraukan "hukum tak tertulis" yang menetapkan bahwa hanya penguasa yang boleh menafsir dan merekayasa perubahan UUD 1945. Satya Arinanto dari Universitas Indonesia menyatakan—dalam simposium di Jakarta, Sabtu dua pekan lalu—rezim Orde Baru sebenarnya telah berkali-kali mengubah UUD 1945, tapi hanya dengan ketetapan MPR.
Perubahan itu memungkinkan masuknya jajaran kepolisian dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia; selain itu, pemilihan presiden dilakukan melalui musyawarah-mufakat, dan ada wewenang khusus presiden untuk mengamankan pembangunan. Kini, melalui amandemen, UUD 1945 hendak disempurnakan. Wewenang presiden dikurangi dan diimbangi dengan kekuasaan lembaga tinggi negara lainnya. DPR serta MA akan lebih diberdayakan. Wewenang presiden untuk menentukan keadaan bahaya ataupun mengangkat menteri kabinet, menurut Moh. Mahfud, harus disetujui DPR. Dan MA, tambah Mahfud, mesti punya wewenang judicial review (menguji sesuai-tidaknya undang-undang dengan UUD).
Dalam pandangan Mahfud, DPA tak bermanfaat, jadi sebaiknya dihapuskan. Apalagi presiden sudah dibantu menteri dan staf ahli yang dengan cepat memberi saran. Rektor Universitas Gadjah Mada, Ichlasul Amal, mengusulkan ditiadakannya utusan golongan di MPR, sehingga yang ada hanya anggota DPR dan utusan daerah.
Mahfud juga mengusulkan pencantuman masalah fundamental seperti pemilihan umum dan hak asasi manusia. Pemilihan umum menjadi sangat penting karena dasar wewenang penguasa adalah kemauan rakyat. Dengan begitu, semua anggota DPR berasal dari pemilihan dan tak ada lagi yang diangkat, seperti 38 anggota TNI dan kepolisian yang sekarang ada di DPR.
Memang, bila banyak "lubang" UUD 1945 mesti ditambal, tentu perlu waktu lama. Karena itu, tim tujuh partai besar yang dikoordinasi Yusril Ihza Mahendra dari Partai Bulan Bintang merancang agenda MPR yang memungkinkan MPR menyusun perubahan UUD 1945 sampai Februari 2000.
Sampai batas waktu itu, menurut Yusril, setidaknya empat masalah pokok pada UUD 1945 bisa diperbaiki, yaitu pembatasan kekuasaan presiden, pemberdayaan MPR dan DPR, plus kemandirian MA. Sementara proses perubahan UUD 1945 belum rampung, presiden terpilih tetap bertugas menurut UUD 1945. Tapi, begitu MPR menetapkan amandemen UUD, presiden harus bekerja berdasarkan UUD baru tersebut.
Happy Sulistyadi, Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini