BERITANYA biasa saja: Haryono Suyono naksir Bank Duta. Yang tak biasa: manuver Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan Pemberantasan Kemiskinan itu bukan mengatasnamakan diri sendiri, melainkan demi yayasan Soeharto. "Saya mengajak orang-orang dari Yayasan Dharmais, Dakab, dan Supersemar ikut serta," katanya. Lo, Pak Harto akan come back menguasai Bank Duta?
Bank Duta merupakan salah satu bank yang tak lolos program rekapitalisasi. Tapi, karena nasabahnya banyak, lebih dari 400 ribu rekening, Bank Duta tidak ditutup. Bank yang semula dikuasai oleh ketiga yayasan yang diprakarsai Pak Harto itu tetap dibiarkan hidup, tapi kepemilikannya diambil oper pemerintah sejak Maret lalu.
Walau tak ikut program rekapitalisasi, Bank Duta tentu tetap membutuhkan tambahan modal—agar bertahan hidup. Bedanya, sementara di bank-bank peserta rekapitalisasi para pemiliknya ikut menambah modal, di Bank Duta (sebagai bank take-over) 100 persen injeksi modalnya ditanggung pemerintah.
Nah, persis pada tahap ini, ketiga yayasan yang diprakarsai Pak Harto itu rupanya ingin mengubah sejarah. Sementara pemilik bank lain sudah pasrah total menyerahkan injeksi modalnya kepada pemerintah, yayasan Soeharto tidak. Menurut Haryono, ketiga yayasan ini sudah mengumpulkan uang dan siap untuk menanggung seluruh tambahan modal yang dibutuhkan Bank Duta.
Pendek kata, pemerintah tak perlu lagi ikut campur. Soal Bank Duta 100 persen akan diurus oleh pemilik lamanya. "Kalau duitnya kurang," kata Haryono, "kami yang akan mengajak investor lain." Kabarnya, Induk Koperasi Unit Desa alias Inkud, bersama Nurdin Halid sebagai bos, sudah siap mengucurkan Rp 200 miliar bagi Bank Duta.
Bolehkah? Itu pertanyaan pertama. Bisakah? Itu persoalan berikutnya.
Selama ini, bank-bank diambil alih pemerintah, dijadikan bank take-over alias BTO, karena mereka punya handicap. Bank Danamon dan BCA, misalnya, diambil alih karena terlalu banyak menarik kasbon dari Bank Indonesia. Bank Nusa Nasional, Bank Pos, dan Bank Risjad Salim dijadikan BTO lantaran pemiliknya tak mampu menyetor modal atau masa depannya terlampau suram.
Pada Bank Duta, pengambilalihan dilakukan, selain karena masalah modal, juga lantaran soal khusus. "Karena kepemilikannya mengandung unsur kroni," kata seorang pejabat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), lembaga yang menangani Bank Duta. Pejabat itu mengakui, rencana yayasan Soeharto kembali ke Bank Duta cukup menyulitkan BPPN. Lembaga ini yakin, kroni Soeharto tetap beroperasi di belakang layar. "Bagaimana kalau para kroni kembali?" katanya agak khawatir.
Disadari atau tidak, kekhawatiran pejabat BPPN itu agak kelewatan. Tenang saja, ketiga yayasan Soeharto ini toh bukan lagi milik bekas presiden itu, tapi sudah diserahkan kepada pemerintah. Selain itu, pejabat BPPN tersebut agaknya lupa, Bank Indonesia sudah dilengkapi dengan saringan bernama uji kelayakan alias fit and proper test. Kalau orang-orang tersebut dianggap punya catatan buruk, tak layak memimpin bank, tentu saja mereka tak boleh kembali mengelola Bank Duta. Itu kalau uji kelayakan ini andal dan kebal dari tekanan politik, lo.
Dari kepentingan yang lain, langkah yayasan-yayasan Soeharto itu justru perlu disambut. Keinginan mereka untuk menutup seluruh kebutuhan modal Bank Duta, entah dengan modal sendiri atau mengajak investor lain, tentu akan meringankan beban pemerintah. Untuk merekapitalisasi semua bank, pemerintah membutuhkan dana sekitar Rp 600 triliun. Sebagian besar sumber dananya digali dari anggaran pendapatan dan belanja negara. Di tengah paceklik duit seperti sekarang, bisa dibayangkan bagaimana sulitnya mencari dana segede itu.
Karena itu, semakin banyak yang mau ikut menyetor modal ke bank, mestinya, semakin baik—semakin ringan beban yang ditanggung anggaran sekaligus beban rakyat. Asalkan, ini penting, duit yang dibawa masuk itu bukan duit pinjaman (yang akan membebani neraca bank dan negara di kemudian hari), bukan pula uang mudah hasil kejahatan atau korupsi. Kalau yayasan-yayasan itu mampu menggali sumber dana, mengapa tidak?
Persoalannya sekarang: mampukah ketiga yayasan itu menginjeksi kebutuhan modal Bank Duta? Atau, yang lebih gampang, bisakah mereka mengajak investor lain memodali Bank Duta atas dasar pertimbangan bisnis? Di kertas, rasanya kok tidak gampang. Posisi keuangan Bank Duta makin memburuk. Kinerja bank papan tengah ini boleh dibilang merosot.
Ini tampak pada posisi kredit macet yang makin berlipat. Ketika diambil alih pemerintah, Maret lalu, kredit macet (yang tak membayar bunga lebih dari sembilan bulan) Bank Duta cuma Rp 1,1 triliun. Tapi kini, menurut laporan keuangan tengah tahunan yang diterbitkan awal September lalu, kredit yang mogok total di Bank Duta membengkak hampir dua setengah kali lipat menjadi Rp 2,6 triliun. Agar terbebas dari belenggu kredit macet, Bank Duta harus membuang sedikitnya Rp 2,75 triliun kekayaannya.
Besarnya kredit macet tentu akan mencekik pendapatan bank. Menurut laporan keuangan terbaru itu, pendapatan bunga Bank Duta hingga semester pertama 1999 cuma Rp 230 miliar. Ini hanya lima persen dari total kredit yang dicairkan. Tentu saja pemasukan seupil ini sangat tak berimbang dengan biaya bunga yang dibayar Bank Duta. Diperkirakan, rata-rata tertimbang biaya bunga deposito dan tabungan di bank yang memiliki 83 cabang ini masih sekitar 20 persen.
Dalam hal menggalang dana publik, harus diakui, Bank Duta cukup sukses. Maret lalu, dana masyarakat yang tersimpan di bank papan tengah ini tinggal Rp 3,9 triliun, sementara akhir Juni lalu sudah menggelembung menjadi Rp 5,1 triliun. Tapi, ini sayangnya, banjir dana masyarakat—bukannya berkah bagi Bank Duta—justru menjadi beban yang merepotkan.
Soalnya, likuiditas yang berlebih ini tak bisa diputar untuk menghasilkan uang. Kecilnya pendapatan yang masuk ke kas memaksa Bank Duta menggunakan sebagian dana publik ini untuk membayar bunga deposito atau menomboki gaji pegawai. Dalam laporan keuangan tengah tahunan itu tampak jelas bahwa Bank Duta mengalami kerugian operasional Rp 580 miliar lebih. Dari mana lagi kerugian ini ditambal kalau bukan dari dana publik?
Apa yang kemudian terjadi? Gampang ditebak. Modal Bank Duta terkikis habis. Akhir tahun lalu, modal Bank Duta cuma minus ratusan miliar rupiah, tapi kini sudah minus Rp 2,9 triliun. Rasio kecukupan modalnya (terhadap aset) juga terus merosot, dari minus 16 persen menjadi minus 80 persen kini. Akibatnya, tambahan modal yang dibutuhkan Bank Duta membengkak dari Rp 1,2 triliun menjadi sekitar Rp 3,5 triliun. Belum lagi kalau ini dihitung: ada pinjaman kasbon ke Bank Indonesia senilai Rp 950 miliar lebih yang juga harus segera diselesaikan.
Bagi para calon investor, pertanyaannya menjadi sederhana: untuk apa bela-belain merawat Bank Duta kalau mesti menyetor dana sebanyak itu? Kalau memang mau berbisnis bank, dana segede itu bisa untuk membeli saham bank lain yang masih moncer. Apa sajalah, bisa Panin, BNI, Lippo, Danamon, atau bahkan BCA, yang kabarnya akan segera memasuki pasar modal.
Kecuali, ini dia, kalau daripada Saudara-Saudara punya mangsud-mangsud yang khusus.
Dwi Setyo, M. Taufiqurohman, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini