Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kasus Penistaan Agama Meiliana, Yenny Wahid: Vonis Tak Adil

Yenny Wahid mengatakan vonis yang dijatuhkan terhadap Meiliana sangat jomplang dengan vonis bagi para perusak vihara dan klenteng di Tanjungbalai.

25 Agustus 2018 | 07.30 WIB

Terdakwa kasus penistaan agama, Meliana (kiri). ANTARA/Irsan Mulyadi
Perbesar
Terdakwa kasus penistaan agama, Meliana (kiri). ANTARA/Irsan Mulyadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Wahid Foundation Zannuba Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid menyayangkan putusan hakim Pengadilan Negeri Medan yang menjatuhkan vonis kepada Meiliana, warga Tanjungbalai, Medan, Sumatera Utara, selama 18 bulan penjara atas kasus penistaan agama. Meiliana divonis karena terbukti melanggar Pasal 156 a KUHP atas perbuatannya memprotes volume suara azan yang berkumandang di lingkungannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Yenny, Meiliana tak seharusnya dihukum. "Sebab, meminta memperkecil volume pengeras suara dari masjid bukanlah penodaan agama sebagaimana dirujuk Pasal 156 a KUHP tersebut," kata Yenny lewat keterangannya pada Jumat, 24 Agustus 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Selain itu, menurut Yenny, hukuman yang dijatuhkan kepada Meiliana sangat jomplang dibandingkan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada delapan orang yang terlibat perusakan vihara dan klenteng di sekitar Kota Tanjungbalai. Sedikitnya tiga vihara, delapan klenteng, dua yayasan Tionghoa, satu tempat pengobatan, dan rumah Meiliana rusak akibat perilaku brutal orang-orang yang tak terima atas sikap perempuan yang memprotes pengeras suara masjid tersebut.

"Vonis Meiliana ini jelas tidak mencerminkan rasa keadilan, sementara para pelaku kerusuhan justru divonis paling tinggi 2 bulan 18 hari," kata Yenny.

Atas nama keadilan, Yenny meminta hakim dalam proses banding untuk membebaskan Meiliana. "Hakim tidak boleh tunduk pada tekanan massa dan semata-mata berpegang pada prinsip kebenaran dan keadilan," ujarnya.

Kasus serupa, kata Yenny, pernah terjadi di Banda Aceh. Seorang warga Banda Aceh bernama Sayed Hasan, 75 tahun, menggugat Kepala Kantor Kementerian Agama dan sejumlah pihak karena merasa terganggu oleh 10 pelantang suara di masjid sekitar rumahnya yang kerap memperdengarkan suara rekaman orang membaca Al Quran. Kasus yang terjadi pada 2013 ini berakhir damai.

"Serupa kasus ini, seharusnya mediasi dapat dilakukan oleh Meiliana dan masyarakat untuk terus membangun rasa saling pengertian dan kesepahaman," ujar Yenny.

Aturan ihwal pengeras suara tempat ibadah sebenarnya telah diatur sejak 1978 melalui Instruksi Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala.

Dalam aturan tersebut tertulis orang yang menggunakan pengeras suara di tempat ibadah haruslah yang bersuara fasih, merdu, enak didengar, tidak cempreng atau sumbang, dan tidak terlalu kecil. Perawatan terhadap penggunaan pengeras suara juga harus dilakukan seorang yang terampil demi menghindari suara bising dan dengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus