Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Setara Institute Hendardi mendesak Komisi Yudisial melakukan pemeriksaan terhadap hakim-hakim Pengadilan Negeri Medan yang menangani kasus Meiliana, warga Tanjung Balai yang divonis atas kasus penistaan agama. Hendardi menyebut adanya dugaan penyimpangan dan tindakan tak profesional dari hakim dalam memutus perkara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dalam waktu yang segera, Komisi Yudisial bisa melakukan pemeriksaan atas dugaan penyimpangan dan unprofessional conduct dari hakim-hakim yang menangani kasus Meiliana," kata Hendardi melalui keterangan tertulis pada Kamis, 23 Agustus 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Selasa, 21 Agustus lalu, Pengadilan Negeri Medan menjatuhkan vonis satu tahun enam bulan kepada Meiliana atas kasus penistaan agama. Hakim ketua Wahyu Prasetyo Wibowo menilai Meiliana terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana atas perbuatannya memprotes volume suara azan yang berkumandang di dekat rumahnya. Buntut dari protes Meiliana adalah kerusuhan di Tanjung Balai yang menyebabkan sejumlah vihara dan klenteng rusak pada 29 Juli 2016.
Hendardi menilai proses hukum atas Meiliana itu sebagai akumulasi penyimpangan kerja aparat penegak hukum. Menurut dia, institusi hukum mulai dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan lemah menghadapi tekanan massa dari kelompok intoleran.
Menurut Hendardi, tekanan massa bermula saat organisasi masyarakat dan kelompok-kelompok intoleran mendesak Majelis Ulama Indonesia Sumatera Utara untuk mengeluarkan fatwa bahwa Meiliana telah melakukan penistaan agama. Selain itu, massa dari ormas Front Umat Islam (FUI) dan kelompok intoleran hadir selama proses persidangan.
Hendardi menyebut kasus protes Meiliana ini serupa dengan penistaan agama yang dituduhkan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. "Peradilan atas Meiliana adalah bentuk trial by the mob yang merusak integritas lembaga peradilan," ujarnya.
Kinerja lembaga peradilan tersebut, kata Hendardi, menggambarkan bahwa intoleransi, cara pikir dan cara kerja diskriminatif melekat dalam institusi peradilan di Indonesia. Intoleransi, kata dia, tidak hanya tumbuh di tengah masyarakat tetapi merasuk ke aparat penegak hukum dan penyelenggara negara.
Selain mendesak pemeriksaan oleh Komisi Yudisial, Hendardi meminta institusi kepolisian dan kejaksaan memastikan agar hal serupa tak terulang. Ia juga menilai perlunya ada panduan bagi aparat penegak hukum dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan keagamaan.